Share

Bab 2

Teman-teman Steven hanya menatap kepergian Steven bersama gadis yang menurut mereka sangat berani.

"Apa kau yakin Steven bakal meniduri gadis itu?" tanya Gerald pada Bernard dan Carry.

"Mungkin saja hal itu akan terjadi. Lihat saja wajah Steven begitu serius, aku yakin dia dan gadis itu bakal melewati malam panas malam ini," sahut Bernard.

Carry hanya diam dan masih menatap ke arah pintu. Sebenarnya, dia merasa sedikit familiar dengan wajah gadis itu, tetapi dia tidak yakin di mana dia pernah menemukan gadis itu.

Sementara, di tempat Steven pula. Kini, mereka telah sampai di parkiran mobil. Steven telah melepaskan pegangan tangannya pada Shania dan menatap Shania dengan tatapan tajam.

"Kenapa kau bisa berada di tempat ini?" tanya Steven, "bukankah kau seharusnya berada di rumah sakit. Menjaga ibumu?" lanjut Steven lagi.

Shania langsung mengerutkan dahinya. Dari mana pria ini tahu? Begitulah pikirnya. Ternyata benar dugaannya bahwa dia pernah bertemu dengan pria ini karena tahu tentang ibunya.

"Sebenarnya kau siapa?" tanya Shania merasa aneh.

"Kau benar-benar melupakanku?" Steven kembali bertanya sambil menghidupkan rokok cerutunya.

Shania diam dan coba memikirkan lagi, di mana dia pernah bertemu dengan pria ini. Namun, hasilnya masih sama dia tidak bisa mengingatnya.

"Sudahlah, kalau kau tidak bisa mengingatku, kita lanjut saja ke tujuan utama." Steven membuka pintu mobilnya lalu menyuruh Shania masuk.

Sepanjang perjalanan Shania terlihat gelisah, apa dia bakal kehilangan sesuatu yang dia jaga selama ini, sedangkan Steven yang memiliki rasa benci terhadap Shania sangat puas bisa mendapatkan kesempatan untuk merusakkan Shania.

Singkatnya, kini mereka telah berada di apartemen Steven. Shania memasang wajah begitu santai walaupun dia sedang berperang dengan pikirannya sendiri.

"Masuk ke kamar itu dan bersihkan dirimu," perintah Steven.

Shania mengangguk dan mengikuti saja ucapan Steven. Setelah memasuki kamar, Shania langsung berlari memasuki kamar mandi. Jantungnya berdebar dengan kencang.

'Hanya ini caranya! Shania, hanya malam ini kau bisa mendapatkan uang karena besok belum tentu bisa!' batin Shania sembari menatap wajahnya pada cermin kamar mandi.

30 menit telah berlalu, Shania telah selesai membersihkan dirinya. Dia pun keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk kimono yang tersedia di dalam kamar mandi itu.

Ketika kakinya melangkah menuju ke arah ranjang, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan muncul pula Steven dari balik pintu itu.

Shania terkaku di tempat, dia menatap Steven dengan wajah yang sudah berubah warna menjadi semerah tomat. Tubuhnya tiba-tiba saja gementar dan dia mulai merasa panas dingin.

Steven pula terus saja berjalan ke arah Shania dengan wajah yang terlihat begitu santai, namun sudut bibirnya sedikit terangkat.

Saat mereka telah berhadapan, Steven pun mulai menarik pinggang Shania agar lebih merapat pada tubuhnya.

"Aroma kau sangat wangi, aku suka!" Steven mengendus ceruk leher Shania tanpa permisi.

Sementara, Shania masih merasa kaku dan geli. Apalagi, ini baru pertama kali ada yang mendekati dirinya dengan begitu intens.

"Aku akan membayarmu lebih kalau kau benar masih perawan," bisik Steven.

"1 miliar dollar," sahut Shania dengan berani.

"Baiklah!" Steven menerima ucapan Shania.

Walaupun, sebenarnya Steven tidak yakin sama sekali bahwa Shania masih gadis yang belum pernah disentuh. Hanya saja dalam hati dia mengejek Shania dan jika benar Shania sudah tidak perawan lagi, dia akan menambah beban hidup Shania dengan lebih banyak lagi.

"Kita mulai dan jangan pernah menyesalinya!" bisik Steven lagi.

Shania pun mengangguk, dia telah memantapkan hatinya demi mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit sang ibu. Shania sangat rela berkorban!

Steven perlahan membawa Shania ke arah atas ranjang. Sentuhan demi sentuhan pada tubuh Shania sama sekali tidak dia lepaskan.

Awalnya, Shania hanya memejam matanya dan memaksa dirinya untuk bekerjasama demi uang. Hingga akhirnya, bunyi lenguhan mulai lolos dari bibir Shania ketika Steven meremas kedua gunung berkembarnya dengan begitu ganas.

'Sial, payudaranya sangat kecil dan imut!' gerutu Steven dalam hati.

Semakin lama suasana kamar menjadi semakin panas, Steven mulai menelanjangi Shania dengan begitu bernafsu. Ketika tubuh Shania terpempang jelas di hadapan Steven, dia sempat kagum karena tubuh dan kulit Shania sangat mulus dan bersih juga tidak memilik lecet sedikit pun.

"Tolong, jangan tatap aku seperti itu," pinta Shania dengan lirih.

Steven hanya diam, dia juga melepaskan pakaiannya dan mulai menaiki Shania. Tidak ingin menunggu dengan lama, jari tangan Steven mencoba mencari celah untuk memasuki mahkota Shania.

"Kau sudah begitu basah dan ... licin," goda Steven.

Shania menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya, merasa malu dengan ucapan Steven setelah menyentuh mahkota miliknya.

Tiba-tiba bunyi teriakan suara Shania menggema di dalam kamar Steven. Air mata Shania pecah dan mulai membasahi wajahnya.

"Ssst, sakit tolong aku tidak mampu! Hentikan tolong hentikan," pinta Shania.

Steven pula kaget karena merasa sesuatu telah pecah dan mengalir ke atas ranjang miliknya. Dia coba meraba menggunakan tangan dan mendapati warna merah telah melekat pada telapak tangannya.

"Sial! Kau benaran perawan!" ucap Steven dengan sedikit beremosi.

Akan tetapi, Steven tidak.mampun untuk berhenti dan terus saja melanjutkan kegiatan berbagi keringat di atas ranjang miliknya.

'Aku sudah melampaui batas!' batin Steven.

Malam panas tetap saja berlanjutan dan pekikan yang awalnya terdengar sumbang kini terdengar indah. Kedua manusia itu saling memenuhi satu sama lain tanpa mereka sadar.

***

"Aku tidak menyangka Kak Stev, diam-diam tidur bersama gadis malang ini!" ucap Stella dengan marah.

"Jangan salahpa--" ucapan Steven terhenti ketika Stella kembali menyela.

"Aku tidak mau tahu! Aku hanya mau Kak Stev bertanggungjawab dan tolong jangan jadi pria brengsek! Kau masih memilik seorang adik perempuan!" sela Stella.

"Stella, aku akan bertanggungjawab membayarnya. Kau tidak perlu khawatir," sahut Steven santai.

Bugh!

Tiba-tiba bantal sofa melayang ke arah Steven dan tepat mengenai wajah Steven.

"Bukan dengan membayar berarti bertanggungjawab, tetapi nikahi dia!" tegas Stella.

Steven membulatkan matanya, dia menatap wajah Stella dengan seksama lalu menoleh ke arah Shania yang dari tadi hanya tertunduk dan membisu.

"Kalau Kak Stev, tidak menikahi gadis malang ini berarti Kak Stev merelakan karma mengenai diriku," ancam Stella.

Steven selalu saja kalah jika berdebat dengan Stella adik kesayangannya itu. Hingga akhirnya dia hanya bisa menghela napas panjang dan menuruti ucapan Stella.

Mana mungkin Steven rela karma itu terjadi pada Stella, sedangkan yang berbuat adalah dirinya.

"Baiklah, sekarang kami akan menikah! Kau, cepat bersiap kita ke biro catatan sipil untuk menjelaskan status kita. Setelah itu kita ke gereja untuk menemui pendeta," jelas Steven.

"Hah?"

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status