"Memangnya aku sakit apa?" tanya Shania setelah meminum obat yang diberikan oleh Mikael.Mikael menatap Shania dengan raut intens. Dia menghela napas panjang."Kau tidak tahu?" Mikael kembali bertanya.Shania mengerutkan dahinya, sejak kapan dia sakit. Kemarin dan beberapa hari yang lalu, dia masih merasa sehat-sehat saja."Sudahlah, kau hanya perlu makan dan minum obat secara rutin," imbuh Mikael lagi.Pria itu membantu Shania kembali ke kamar yang sempat dia tempati tadi. Dia terlihat begitu misterius sebenarnya, tetapi perlakuannya terkesan tulus."Mikael, kenapa tidak kau memberitahuku saja? Aku sakit apa sebenarnya?" tanya Shania yang masih saja penasaran dan merasa sedikit bingung.Mikael diam, dia terus saja mengandeng tangan Shania hingga mereka tiba di dalam kamar. Setelah memastikan Shania bisa duduk dengan tenang. Barulah, Mikael menunjukkan raut wajah tersenyum tipis."Kamu keguguran dan rahimmu bermasalah," jelas Mikael."Keguguran?" ulang Shania tampak begitu kaget.Shan
"Kamu harus melunasi biaya pengobatan dan rawat berjalan, kalau tidak kami tidak bisa merawat ibumu di rumah sakit ini dan dengan terpaksa kami harus mengeluarkan ibu kamu dari sini!" ucap Mahen."Tapi, Dok. Aku belum mendapatkan uang sebanyak itu. Tidak bisakah, biarkan ibuku di sini dulu dan beri aku waktu untuk mencari uang?!" pinta Shania dengan tatapan memohon. Air mata Shania tidak berhenti mengalir karena khawatir akan nasib sang ibu jika harus dikeluarkan dari rumah sakit ini. Dia belum sanggup kehilangan wanita yang satu-satunya dia miliki itu. 'Tapi aku harus ke mana? Leonard saja tidak bisa membantuku,' batin Shania. "Secepatnya ya, agar kami bisa melanjutkan perawatan seperti biasa," ucap Carl menatap gadis malang itu. Shania mengangguk lalu meninggalkan ruangan Carl dengan cepat. Dia mencoba memikirkan cara agar bisa mendapatkan uang ratusan dolar dengan cepat.Shania Zeeburgh, gadis berumur 19 tahun. Saat ini sedang menjaga ibunya yang telah didiagnosa mengidapi kank
Teman-teman Steven hanya menatap kepergian Steven bersama gadis yang menurut mereka sangat berani."Apa kau yakin Steven bakal meniduri gadis itu?" tanya Gerald pada Bernard dan Carry."Mungkin saja hal itu akan terjadi. Lihat saja wajah Steven begitu serius, aku yakin dia dan gadis itu bakal melewati malam panas malam ini," sahut Bernard.Carry hanya diam dan masih menatap ke arah pintu. Sebenarnya, dia merasa sedikit familiar dengan wajah gadis itu, tetapi dia tidak yakin di mana dia pernah menemukan gadis itu.Sementara, di tempat Steven pula. Kini, mereka telah sampai di parkiran mobil. Steven telah melepaskan pegangan tangannya pada Shania dan menatap Shania dengan tatapan tajam."Kenapa kau bisa berada di tempat ini?" tanya Steven, "bukankah kau seharusnya berada di rumah sakit. Menjaga ibumu?" lanjut Steven lagi.Shania langsung mengerutkan dahinya. Dari mana pria ini tahu? Begitulah pikirnya. Ternyata benar dugaannya bahwa dia pernah bertemu dengan pria ini karena tahu tentang
Pernikahan antara Shania dan Steven terjadi sekelip mata. Kini mereka telah pulang dari pemberkatan oleh pendeta di gereja.Shania tidak bisa berkata apa-apa, entah kenapa dia hanya diam dan mengikuti saja ucapan kedua beradik tersebut. Sementara, Stella pula terlihat begitu puas."Oh ya, Kak Shania. Sekarangkan, Kakak sudah menjadi seorang istri. Jadi aku harap, Kakak bisa memutuskan hubungan Kakak dengan pacar Kakak karena status Kakak bukan lagi lajang," saran Stella yang penuh dengan maksud tersirat."Maaf, tetapi aku tidak punya pacar," jawab Shania."Le-- err maksud aku, benarkah?" tanya Stella lagi.Shania hanya mengangguk saja untuk membenarkan kata-katanya, sedangkan Steven hanya diam menatap ke arah jalan raya yang penuh dengan kenderaan.Tiba-tiba Shania teringat dengan kejadian 2 minggu yang lalu dan ternyata ini bukanlah kali pertama dia bertemu dengan Steven dan Stella.'Ck, ternyata waktu itu ya! Pantas saja dia tahu tentang ibu,' batin Shania sambil dalam diam mencuri
Operasi pengangkatan kanker pankreas pada sang ibu sedang berjalan. Shania di temani oleh Leonard di ruang luar ruang operasi."Shania, ibu pasti baik-baik saja. Percayalah," ucap Leonard mencoba menengkan Shania.Shania hanya mengangguk dan mulai bersandar pada dada bidang Leonard. Sembari Leonard mengusap kepala Shania, jika dilihat mereka persis seperti sepasang kekasih.Tanpa keduanya sadar, Steven telah berdiri tidak jauh dari mereka. Dia melihat posisi romantis itu dengan matanya sendiri. Steven pun mengepalkan tangannya lalu meninggalkan rumah sakit itu dalam keadaan marah.Sementara Shania masih bersandar, tiba-tiba ponselnya kentangnya itu berbunyi. Nama Steven tertera pada layar ponsel.Shania menjawab tanpa mau bergerak seinci pun dari dada bidang Leonard."Aku masih menunggu ibu ku operasi," ucap Shania lebih dulu."Iya, sambil bermesraan bersama kekasihmu!" sahut Steven dari seberang sana."Aku tidak ada kekasih, jangan membual sembarangan," jawab Shania polos."Terus yan
Shania mengirim pesan pada Leonard agar tidak mendatangi rumah sakit untuk seminggu terakhir ini karena dia takut Steven nekad mengganggu Leonard.Apalagi, yang paling Shania takuti adalah rencananya bersama Leonard terbongkar dan Steven yang mengacaukannya. Oleh itu, Shania memilih untuk lebih baik berhati-hati.Sementara, di tempat Leonard. Dia mulai merasa pusing, bagaimana harus menjalani tanggungjawabnya terhadap Shania jika dia tidak menemui Shania."Tuan Cristo, maaf kali ini mungkin aku sedikit gagal tapi ke depannya aku akan menjaga dan melindungi Shania sesuai dengan janji dan sumpah yang pernah aku katakan," ucap Leonard.Seminggu tidak menemui Shania adalah waktu yang sangat lama. Dia masih ingat ketika dirinya dikirim ke luar negara untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah Leonard berhasil, dia dikagetkan dengan berita bahwa mendiang ayah Shania sedang sekarat di rumah sakit. Setelah itu, Leonard benar-benar seperti orang yang hilang arah tuju apalagi mendiang ayah Shania la
Leonard masih terdiam karena terkejutannya. Baginya, Shania benar-benar dalam masalah besar kali ini. Istri Steven? Yang benar saja. "Ternyata kau yang menikah dengan seseorang yang sangat aku cintai," ucap Leonard.Masih saja Leonard teringat permainan aktingnya bersama Shania. Walaupun, terdapat gurat khawatir pada wajahnya, Leonard coba senatural mungkin menghadapi Steven."Segera lupakan Shania! Dia telah menjadi milikku dan kau tidak wajar untuk mencintainya lagi," tegas Steven.Leonard tersenyum lalu berkata, "Milikmu? Apa kau yakin, Shania benar-benar milikmu?"Raut wajah Steven mendadak memerah, dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Leonard. Namun, Steven juga tidak bisa mengakui bahwa Shania benar-benar miliknya."Ck, untuk sekarang mungkin dia masih mencintai kau, tetapi ke depannya, aku adalah rumahnya dan satu-satunya pria yang telah menempati hatinya," ucap Steven dengan begitu yakin."Stev, aku tahu kau hanya memanfaatkan Shania. Kau menikahinya karena uang dan beberapa pe
"Sssh." Shania membuka matanya yang terasa begitu berat dan kepala masih terasa pusing."Kau sudah bangun? Kepala kau masih sakit?" tanya Leonard yang sedari tadi berada di sisi Shania."Leo, aku kenapa?" Bukan menjawab, Shania malah kembali bertanya."Kau pingsan karena terlalu banyak menangis, mungkin juga tertekan," jawab Leonard.Shania langsung mengangkat pandangannya menatap Leonard. Wajah Leonard terlihat lesu dan khawatir. Matanya juga terlihat merah.Deg!Ibu! Shania teringat akan Natalia sang ibu kandungnya. Dia lantas menoleh ke arah sekitarnya. Di mana Natalia? Dia tidak melihatnya."Leo, Leo, ibu di mana? Aku tadi bermimpi ibu ..., meninggalkan kita." Shania menggoyangkan lengan Leonard dengan tangisan yang kembali pecah.Leonard hanya diam dan tidak menjawab, hanya saja matanya jelas terlihat berkaca-kaca. Sungguh miris, gadis yang berjuang hingga mengorbankan diri demi sang ibu yang sekarat berakhir begini.Leonard lantas menarik Shania dan membawa masuk ke dalam peluka