Pernikahan antara Shania dan Steven terjadi sekelip mata. Kini mereka telah pulang dari pemberkatan oleh pendeta di gereja.
Shania tidak bisa berkata apa-apa, entah kenapa dia hanya diam dan mengikuti saja ucapan kedua beradik tersebut. Sementara, Stella pula terlihat begitu puas."Oh ya, Kak Shania. Sekarangkan, Kakak sudah menjadi seorang istri. Jadi aku harap, Kakak bisa memutuskan hubungan Kakak dengan pacar Kakak karena status Kakak bukan lagi lajang," saran Stella yang penuh dengan maksud tersirat."Maaf, tetapi aku tidak punya pacar," jawab Shania."Le-- err maksud aku, benarkah?" tanya Stella lagi.Shania hanya mengangguk saja untuk membenarkan kata-katanya, sedangkan Steven hanya diam menatap ke arah jalan raya yang penuh dengan kenderaan.Tiba-tiba Shania teringat dengan kejadian 2 minggu yang lalu dan ternyata ini bukanlah kali pertama dia bertemu dengan Steven dan Stella.'Ck, ternyata waktu itu ya! Pantas saja dia tahu tentang ibu,' batin Shania sambil dalam diam mencuri pandang ke arah Steven.Kini mereka telah sampai di apartemen milik Steven, sedangkan Stella pamit untuk pergi ke kantor dan memberikan waktu untuk Shania dan Steven bersama."Uang 1 miliar yang kau janjikan?" tanya Shania.Steven menoleh ke arah Shania lalu tersenyum miring. Dia pun berjalan ke arah Shania dan ketika mereka telah berhadapan, Steven mencengkaram dagu Shania dengan kuat."Wanita matre! Ternyata kau sengaja menjebakku," ucap Steven. "Aku akan memberimu uang, tetapi aku harus tahu dulu. Uang itu untuk apa?" lanjut Steven."Kau sudah sepakat denganku dan jangan masuk campur urusanku!" jawab Shania ketus.Steven berdecih, dia melepaskan cengkeram tangannya pada dagu Shania dengan kasar. Dia membalikkan tubuhnya lalu mengeluarkan kartu atm dan dilemparkan ke atas lantai."Di dalam itu ada uang 1 miliar dan pinnya 000000. Silakan ambil," ucap Steven.Steven dengan jalan santainya meninggalkan Shania di ruang tamu sendiri. Sebenarnya dia sendiri merasa pusing dengan keputusan yang dia ambil.Shania langsung saja mengambil kartu atm itu lalu keluar dari apartemen Steven. Dia tidak peduli dengan dirinya yang direndahkan karena yang penting dia mendapatkan uang biaya pengobatan sang ibu.Setelah tiba di rumah sakit, Shania langsung melunasi biaya pengobatan sang ibu dan biaya untuk operasi pengangkatan kanker.Mahen mengatakan pada Shania bahwa operasi akan dijalankan besok malam dan meminta Shania berdoa untuk kelancaran dan keselamatan sang ibu.Saat ini, Shania sedang duduk di sisi ranjang brankar ibunya. Dia tersenyum sembari mengusap tangan milik ibunya."Ibu, Nia sudah mendapatkan uang. Ibu akan sembuh dan Nia berjanji akan terus berusaha dan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik kita," ucap Shania.Tiba-tiba pintu ruang inap ibu Shania terbuka dan muncullah Leonard."Shania ...," panggil Leonard."Ibu, Nia keluar sebentar ya. Nanti Nia akan kembali menemani Ibu," pamit Shania pada ibunya.Shania keluar dari ruang inap sang ibu dan disusuli oleh Leonard."Shania, apa maksud pesanmu? Aku tidak mengerti," ucap Leonard."Kita bicara di kafe depan saja, Leo," jawab Shania.Leonard dengan wajah yang khawatir pun mengikuti saja ucapan Shania karena dirinya memang butuh penjelasan dari Shania tentang pesan yang dikirim oleh Shania tadi pagi.Di kafe depan rumah sakit."Apa maksudmu kau sudah menikah? Menikah dengan pria mana? Apa jangan-jangan kau menjual diri kau ke om-om biar bisa dapat uang?" tanya Leonard dengan beruntun."Bisa tidak tanya tu cukup satu soalan saja," jawab Shania."Tidak-tidak! Aku sudah diberi tanggungjawab untuk menjaga kau, Shania dan kau tiba-tiba memberiku kabar yang aku sendiri tidak mengerti maksudnya," protes Leonard."Apa yang kau tidak mengerti, semuanya sudah aku katakan dalam pesan tadi pagi. Aku sudah menikah dan mendapatkan uang untuk pengobatan ibu," jelas Shania."Tapi alasannya apa? Kenapa kau tiba-tiba menikah?" tanya Leonard masih tidak puas.Shania menatap Leonard dengan tatapan sendu, dia menghela napas panjang lalu menceritakan semua yang terjadi dan kenapa begitu cepat."Tapi kau menikah dengan orang yang kau tidak kenal dan sama sekali tidak mencintainya. Apa kau bisa? Pernikahan bukan hal main-main Shania," ucap Leonard setelah mendengar semua penjelasan Shania."Aku tahu, Leo. Aku tidak jamin pernikahan ini akan bertahan atau tidak tapi yang penting ibu sudah terselamatkan," jawab Shania."Maafkan aku, aku telah gagal menjaga kau ... Nia," sahut Leonard dengan lirih dan mulai menunduk karena merasa bersalah."Bukan salah aku, Leo. Anggap saja ini adalah takdir. Kau juga belum gagal, Leo. Kau sedang berusaha membantu aku mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik aku dan ibu," kata Shania.***"Apa! Natalia akan dioperasi? Tapi dari mana mereka mendapatkan uang?" tanya Johnsen pada anak buah yang selalu memberi laporan tentang Shania dan ibunya."Maaf Tuan, saya belum bisa pastikan karena sudah 3 hari ini Shania tidak bisa ditemukan, tetapi ketika dia datang ke rumah sakit dia langsung melunaskan biaya pengobatan dan biaya operasi ibunya," jelas anak buah itu."Ck, jangan sampai mereka punya rencana kalau Natalia kembali sembuh, apalagi Shania sudah hampir genap berumur 19 tahun," ujar Johnsen yang terlihat khawatir.Johnsen mulai mencari ide untuk menggagalkan rencana operasi Natalia berjalan lancar karena bisa saja setelah Natalia sembuh mereka menuntut hak milik mereka. Apalagi, dalam beberapa bulan lagi Shania akan genap berumur 19 tahun seperti di dalam surat wasiat yang pernah ditulis oleh mendiang ayah Shania.Entah apa yang akan dilakukan oleh Johnsen, karena dia tidak akan membiarkan hal ini terjadi."Pah, kenapa tidak kita bunuh saja keduanya," ucap Calista yang merupakan istri Johnsen."Jika kita hendak melakukan itu, kita harus ada rencana yang mantap Sayang, jangan sampai bertindak gegabah," sahut Johnsen."Kita bisa lakukannya seperti 5 tahun yang lalu," ujar Calista memberi ide.Johnsen melihat sang istri lalu tersenyum. Ada benarnya juga, kenapa tidak melakukan rencana seperti 5 tahun yang lalu. Johnsen memuji Calista karena sarannya sungguh masuk akal.Untuk saat ini mereka akan berdiam saja karena Johnsen ingin melenyapkan sekaligus dua orang yang bisa menggugat posisinya di perusahaan yang dikendali oleh Johnsen saat ini.'Cristo, maaf! Tapi perusahaan kau harus menjadi milikku,' batin Johnsen.**Steven membaca dokumen yang telah dia minta untuk ditandatangani oleh Shania. Sudut bibirnya terangkat."Bagus Sean! Semua ini akan memudahkan aku untuk membalas dendam 5 tahun lalu," ujar Steven.'Shania, Shania ... aku akan membuat kau hidup menderita dan berakhir dengan tragis seperti yang dirasakan oleh Melinda,' ucap Steven dalam hati.Steven meletakkan dokumen itu di atas meja lalu memasang wajah yang menakutkan. Rasa marah masih saja membuncah di dalam hatinya karena kematian mendiang tunangan yang sangat dia cintai."Kau tunggu giliranmu!"Bersambung..."Memangnya aku sakit apa?" tanya Shania setelah meminum obat yang diberikan oleh Mikael. Mikael menatap Shania dengan raut intens. Dia menghela napas panjang. "Kau tidak tahu?" Mikael kembali bertanya. Shania mengerutkan dahinya, sejak kapan dia sakit. Kemarin dan beberapa hari yang lalu, dia masih merasa sehat-sehat saja. "Sudahlah, kau hanya perlu makan dan minum obat secara rutin," imbuh Mikael lagi. Pria itu membantu Shania kembali ke kamar yang sempat dia tempati tadi. Dia terlihat begitu misterius sebenarnya, tetapi perlakuannya terkesan tulus. "Mikael, kenapa tidak kau memberitahuku saja? Aku sakit apa sebenarnya?" tanya Shania yang masih saja penasaran dan merasa sedikit bingung. Mikael diam, dia terus saja mengandeng tangan Shania hingga mereka tiba di dalam kamar. Setelah memastikan Shania bisa duduk dengan tenang. Barulah, Mikael menunjukkan raut wajah tersenyum tipis. "Kamu keguguran dan rahimmu bermasalah," jelas Mikael. "Keguguran?" ulang Shania tampak begitu kag
Cristo pulang ke rumah dengan terburu-buru, ketika dia sampai di rumah dia langsung mencari sang istri."Natalia?" Suara Cristo menggema ketika memanggil nama sang istri."Ada apa?" sahut Natalia yang datang dari ruang baca.Cristo menatap Natalia, dia segera mendekati sang istri. Lalu, perlahan menarik tangan sang istri dan membawanya masuk kembali ke ruangan membaca."Ada apa sebenarnya? Kenapa wajahmu terlihat khawatir?" tanya Natalia ketika telah duduk di sofa dalam ruang baca itu.Cristo diam, dia hanya mengeluarkan beberapa dokumen dan kotak kecil. Lalu, diserahkannya pada Natalia."Sayang, aku mempercayaimu untuk menyimpan kedua barang-barang ini. Jangan sampai ada orang merampasnya darimu," ungkap Cristo."Tapi ini apa?" tanya Natalia lagi."Ini adalah dokumen kepemilikan perusahaan dan kotak kecil ini adalah kunci brankas," jelas Cristo.Natalia memasang raut bingung, terus ada apa dengan dokumen dan kunci ini. Kenapa harus diserahkan padanya?"Aku belum mengerti, jika ini pe
Gadis ini aneh menurut Mikael, namun sudut bibirnya terangkat. Merasa Shania sedikit menarik, selama ini banyak gadis berusaha mendekatinya dan sanggup melemparkan diri kepadanya.Akan tetapi, berbeda dengan Shania yang menolak dirinya mentah-mentah tanpa ingin berkenalan terlebih dalam."Apa yang aku dapat jika aku bekerjasama dengan kau?" tanya Mikael.Shania tampak berpikir, sebuah ide terlintas dan langsung saja Shania katakan tanpa ada rasa ragu."Hubungan pertemanan, tapi tergantung sih bagaimana sikap kau terhadapku," jelas Jessi.Mikael tersenyum sungging, dia pun mengangguk mengerti. Sebenarnya, bukan berarti bersetuju, tetapi dia ingin melihat sampai mana Shania bisa menolak dirinya."Terus sekarang kau mau ke mana? Mau kabur?" tanya Mikael lagi dengan raut penasaran."Sangat tepat!" jawab Shania penuh bersemangat."Hm, bagaimana kalau kita kabur bersama saja?" Mikael menawarkan untuk melarikan diri bersama Shania.Shania terkejut, dia kembali berpikir. Sungguh, tidak mungki
"Shania, bangunlah. Kau harus pergi, dengarkan ibu. Jangan percaya mereka yang berada di sekitarmu kecuali ....""Ibu!" pekik Shania, dia terbangun dengan napas yang memburu. Keringat telah membasahi kulit wajah Shania. Dia belum sadar sepenuhnya, hingga masih terdengar helaan napas yang coba diatur perlahan. Air mata, Shania juga terlihat mengalir tanpa ada isak tangisan."Kau sudah bangun?" Suara seorang pria memberi Shania kesadaran penuh. Shania langsung mengambil posisi duduk, dia mencari asal suara tadi. Sehingga, netra mata Shania menangkap satu sosok yang sedang duduk bersilangkan kaki.Ingatan tentang 6 tahun sebelum sang ayah meninggalkan, kembali berputar pada benak Shania. Wajah yang dia lihat kembali membuka masa lalu yang seharusnya dia lupakan.***"Nia malam ini kita ada tamu, ayah harap kau tidak memasang wajah cemberut," ucap Cristo, sang ayah yang berpesan pada putri semata wayangnya."Kalau begitu, Nia tidak perlu turun dari kamar sekalian saja," jawab Shania."H
Shania terkejut ketika pria asing itu menggerakkan tangannya yang memengang pisau. Lengan Steven tergores oleh senjata tajam itu."Stev!" pekik Shania.Steven lantas menendang pria tadi dengan tendangan berputarnya, darahnya terlihat semakin banyak mengalir. Pria asing tadi, sempat tersungkur ke atas jalan raya itu. "Steven! Masuk mobil!" pekik Shania yang telah berada di luar mobil.Steven menoleh, raut wajahnya berubah mendadak, dia tahu pria di hadapannya ini cuma untuk memancing Steven dan Shania keluar. Apalagi, sedari tadi Steven menunggu musuh yang lain keluar, namun hingga saat ini belum ada satu pun yang terlihat dan hanya ada satu pria asing itu saja."Shania, masuk! Ini je--"Dor..dor..Bunyi tembkan membuat Steven berhenti memekik, dua kali tembakan dari arah belakang lalu mengenai Shania, mata Shania terlihat melebar dan akhirnya terjatuh di atas aspal jalan itu."Sha-- Shania!" pekik Steven.Steven coba berlari ke arah Shania yang telah tergeletak di atas jalan di sampi
Steven pulang ke rumah utama dengan raut lesu, dia sedikit merasa kesal dengan Bernard dan Gerald yang sedikitpun tidak menaruh curiga pada Carry.Namun, jika dipikirkan, itu juga bukan salah keduanya yang memilih tidak percaya. Hanya saja, Carry yang terlalu licik dalam menutupi sisi jahatnya.Semakin hari, dia semakin yakin ada yang disembunyikan oleh Carry dan Carry juga berkaitan dengan teror beberapa hari yang lalu."Stev," tegur Nikel.Steven menoleh, dia lantas mengukir senyuman tipis untuk diperlihatkan."Kau melamun, apa ada masalah?" tanya Nikel kemudian."Tidak, hanya saja masih terpikir tentang teror hari itu," jawab Steven dengan jujur."Tenang saja, Oma dan paman sudah mengerahkan orang-orang untuk mengawasi sekitar kalian," jelas Nikel sembari menepuk pundak Steven.Steven mengangguk, dia hanya tersenyum tipis. Berharap, suatu saat nanti akan ada hasil dari pencarian mereka. "Oh iya. Malam ini jamuan makan, keluarga besar Smith semuanya akan datang," beritahu Nikel."M