“Cukup!” ucap Oma, suaranya terdengar agak tinggi. “Baiklah, kalian tidak perlu berdebat lagi karena apa yang dituduh oleh Leo … itu benar! Tapi, untuk masalah Shania menghilang, Oma benar-benar tidak tahu.”Penjelasan Oma cukup membuat anak muda—cucunya itu tampak begitu kaget. Terutama Steven, ia seperti tak percaya bahwa Oma yang sangat ia cintai malah melakukan sesuatu yang tidak baik.“Oma … Steven tidak … tidak percaya! Jangan hanya mengiyakan agar kami tidak berdebat,” protes Steven, wajahnya telah memerah.Oma menggelengkan kepala, kemudian menjelaskan apa yang pernah ia lakukan terhadap Shania. Ia juga mengatakan secara jujur bahwa, ia ingin Steven dan Shania berpisah karena Shania merupakan anak dari pria yang telah ia bu-n-uh.“Kenapa harus Shania? Kenapa Oma melakukan hal keji itu?!” Steven terdengar kecewa.“Jawabannya adalah saingan bismis! Wanita itu sengaja menyingkirkan paman Cristo dan memberikan perusahaan paman Cristo pada Johnsen. Semuanya berada di bawah kendalin
"Memangnya aku sakit apa?" tanya Shania setelah meminum obat yang diberikan oleh Mikael. Mikael menatap Shania dengan raut intens. Dia menghela napas panjang. "Kau tidak tahu?" Mikael kembali bertanya. Shania mengerutkan dahinya, sejak kapan dia sakit. Kemarin dan beberapa hari yang lalu, dia masih merasa sehat-sehat saja. "Sudahlah, kau hanya perlu makan dan minum obat secara rutin," imbuh Mikael lagi. Pria itu membantu Shania kembali ke kamar yang sempat dia tempati tadi. Dia terlihat begitu misterius sebenarnya, tetapi perlakuannya terkesan tulus. "Mikael, kenapa tidak kau memberitahuku saja? Aku sakit apa sebenarnya?" tanya Shania yang masih saja penasaran dan merasa sedikit bingung. Mikael diam, dia terus saja mengandeng tangan Shania hingga mereka tiba di dalam kamar. Setelah memastikan Shania bisa duduk dengan tenang. Barulah, Mikael menunjukkan raut wajah tersenyum tipis. "Kamu keguguran dan rahimmu bermasalah," jelas Mikael. "Keguguran?" ulang Shania tampak begitu kag
Cristo pulang ke rumah dengan terburu-buru, ketika dia sampai di rumah dia langsung mencari sang istri."Natalia?" Suara Cristo menggema ketika memanggil nama sang istri."Ada apa?" sahut Natalia yang datang dari ruang baca.Cristo menatap Natalia, dia segera mendekati sang istri. Lalu, perlahan menarik tangan sang istri dan membawanya masuk kembali ke ruangan membaca."Ada apa sebenarnya? Kenapa wajahmu terlihat khawatir?" tanya Natalia ketika telah duduk di sofa dalam ruang baca itu.Cristo diam, dia hanya mengeluarkan beberapa dokumen dan kotak kecil. Lalu, diserahkannya pada Natalia."Sayang, aku mempercayaimu untuk menyimpan kedua barang-barang ini. Jangan sampai ada orang merampasnya darimu," ungkap Cristo."Tapi ini apa?" tanya Natalia lagi."Ini adalah dokumen kepemilikan perusahaan dan kotak kecil ini adalah kunci brankas," jelas Cristo.Natalia memasang raut bingung, terus ada apa dengan dokumen dan kunci ini. Kenapa harus diserahkan padanya?"Aku belum mengerti, jika ini pe
Gadis ini aneh menurut Mikael, namun sudut bibirnya terangkat. Merasa Shania sedikit menarik, selama ini banyak gadis berusaha mendekatinya dan sanggup melemparkan diri kepadanya.Akan tetapi, berbeda dengan Shania yang menolak dirinya mentah-mentah tanpa ingin berkenalan terlebih dalam."Apa yang aku dapat jika aku bekerjasama dengan kau?" tanya Mikael.Shania tampak berpikir, sebuah ide terlintas dan langsung saja Shania katakan tanpa ada rasa ragu."Hubungan pertemanan, tapi tergantung sih bagaimana sikap kau terhadapku," jelas Jessi.Mikael tersenyum sungging, dia pun mengangguk mengerti. Sebenarnya, bukan berarti bersetuju, tetapi dia ingin melihat sampai mana Shania bisa menolak dirinya."Terus sekarang kau mau ke mana? Mau kabur?" tanya Mikael lagi dengan raut penasaran."Sangat tepat!" jawab Shania penuh bersemangat."Hm, bagaimana kalau kita kabur bersama saja?" Mikael menawarkan untuk melarikan diri bersama Shania.Shania terkejut, dia kembali berpikir. Sungguh, tidak mungki
"Shania, bangunlah. Kau harus pergi, dengarkan ibu. Jangan percaya mereka yang berada di sekitarmu kecuali ....""Ibu!" pekik Shania, dia terbangun dengan napas yang memburu. Keringat telah membasahi kulit wajah Shania. Dia belum sadar sepenuhnya, hingga masih terdengar helaan napas yang coba diatur perlahan. Air mata, Shania juga terlihat mengalir tanpa ada isak tangisan."Kau sudah bangun?" Suara seorang pria memberi Shania kesadaran penuh. Shania langsung mengambil posisi duduk, dia mencari asal suara tadi. Sehingga, netra mata Shania menangkap satu sosok yang sedang duduk bersilangkan kaki.Ingatan tentang 6 tahun sebelum sang ayah meninggalkan, kembali berputar pada benak Shania. Wajah yang dia lihat kembali membuka masa lalu yang seharusnya dia lupakan.***"Nia malam ini kita ada tamu, ayah harap kau tidak memasang wajah cemberut," ucap Cristo, sang ayah yang berpesan pada putri semata wayangnya."Kalau begitu, Nia tidak perlu turun dari kamar sekalian saja," jawab Shania."H
Shania terkejut ketika pria asing itu menggerakkan tangannya yang memengang pisau. Lengan Steven tergores oleh senjata tajam itu."Stev!" pekik Shania.Steven lantas menendang pria tadi dengan tendangan berputarnya, darahnya terlihat semakin banyak mengalir. Pria asing tadi, sempat tersungkur ke atas jalan raya itu. "Steven! Masuk mobil!" pekik Shania yang telah berada di luar mobil.Steven menoleh, raut wajahnya berubah mendadak, dia tahu pria di hadapannya ini cuma untuk memancing Steven dan Shania keluar. Apalagi, sedari tadi Steven menunggu musuh yang lain keluar, namun hingga saat ini belum ada satu pun yang terlihat dan hanya ada satu pria asing itu saja."Shania, masuk! Ini je--"Dor..dor..Bunyi tembkan membuat Steven berhenti memekik, dua kali tembakan dari arah belakang lalu mengenai Shania, mata Shania terlihat melebar dan akhirnya terjatuh di atas aspal jalan itu."Sha-- Shania!" pekik Steven.Steven coba berlari ke arah Shania yang telah tergeletak di atas jalan di sampi