"Kamu meninggalkan Wulan apa karena Silvia? Sehebat apa dia? Sampai kamu tidak sabar menunggu kepulangan Eyang!" tanya eyang dengan suara yang pelan tapi penuh penekanan.Wulan? Siapanya mas Abian? "Dari dulu Bian tidak pernah mau dijodohkan dengan cucu angkat Eyang. Waktu nikahnya Bian, Eyang sedang di rumah istri muda — di Banten. Seandainya eyang diberitahu pun pasti tidak mengizinkan pernikahan ini terjadi. Bian khawatir eyang akan melakukan hal-hal yang bisa merusak acara perkawinan kami," jawab mas Abian dengan tegas.Aku masih menguping di balik tembok. Ingin mendengar obrolan mereka lebih lanjut. Tahu, mencuri dengar pembicaraan orang lain itu tidak boleh. Tetapi jiwa kepoku menginginkannya. "Apa kurangnya Wulan sampai kamu menolaknya? Dia sudah berusaha keras memantaskan diri agar bisa menjadi menantu orang tuamu. Kamu malah memutuskan pertunangan kalian secara sepihak! Kamu telah mencoreng nama baik eyang, Bian!" Eyang menaikkan volume suaranya beberapa oktaf. Padahal ini
"Kamu mau kemana? Kenapa barang ini kamu kembalinya? Ini hadiah dari aku." "Aku tidak butuh hadiah dari kamu. Jangan pernah mencari keberadaanku setelah ini. Kalau kamu tidak mau menjatuhkan talak biar aku yang menggugat kamu di pengadilan agama. Permisi!" Aku melangkahkan meninggalkan rumah besar nan megah itu. Rumah Eyang."Apa yang kamu lakukan? Kamu kenapa? Cerita padaku? Kamu tidak boleh pergi dengan keadaan seperti ini." Abian menarik tanganku. Aku berhasil melepaskan cengkeramannya."Sudahlah, Mas. Jangan terus-terusan membodohi aku. Capek dengan semua ini. Aku lelah dengan kamu, Mas. Lepaskan aku." Dering ponsel dari saku celana Abian menyelamatkan aku. Dia sibuk menerima telepon. Aku segera berlari ke arah jalan besar. Beruntungnya ada bis yang sedang melintas. Aku segera menyetopnya. Abian berusaha mengejar, tapi sia-sia. Aku tahu harus turun di mana. Kini tujuanku bukan lagi ke rumah ibu atau paman. Terlalu mudah Abian menemukan aku bila tetap di sana. Sesekali aku me
Aku harus melakukan tindakan sebelum eyang pulang. Aku tak mau beliau menaruh curiga atas pernikahan kami. Segera ku hubungi nomor eyang. "Assalamualaikum, Eyang." "Waalaikummussallam, ada apa, Bian?" "Yang, Bian mau pamit pulang. Ada hal yang harus diurus di sana." Aku terpaksa berbohong."Sana pulang! Kamu memang tidak pernah betah di rumah eyang." Suara kakekku terdengar kesal."Bukan begitu, Eyang. Bian ada urusan mendadak yang harus diselesaikan sekarang. Nanti kalau sudah ada waktu luang kami ke sini lagi, Yang.""Kamu selalu bilang begitu. Nanti kalau ke sini bawa cicit eyang sekalian." Aku menelan ludah. Cicit? Bagaimana mau ngasih cicit kalau kami saja belum pernah memproduksinya. "Doakan semoga cepat jadi cicit, Eyang. Bian pamit, Yang"Doakan semoga cepat jadi cicit, Eyang. Bian pamit, Yang. Assalamualaikum." Aku segera menutup sambungan telepon setelah eyang menjawab salam. Segera kukemasi barang bawaan. Rencana mau liburan beberapa hari di sini terpaksa batal kare
Mataku menyapu sekeliling. Semua orang sedang memandangku. Ada yang bergidik, ada yang menatap tak suka, ada pula yang geleng-gelengkan kepalanya. Mereka semua menelan mentah-mentah ucapan Anggraini.Wanita di depanku merasa telah menang. Dia melipatkan kedua tangannya di depan dada. Tersenyum sinis ke arahku.Gegas, aku berdiri. Berjalan mendekati Anggraini yang masih mematung di tempat."Pilihannya ada di tanganmu. Antara meminta maaf padaku di sini atau aku bongkar semua kartumu saat ini? Atau memilih dipecat dari tempat ini?" bisikku tepat di telinganya. Wajah Anggraini pias.Padahal aku tidak kenal siapa pemilik restoran ini. Bagaimana mungkin aku meminta untuk memecat Anggraini. Pasti tidak akan terpikir olehnya tentang ucapanku. Dia terlihat kaget. Masih bagus, aku memberikan pilihan daripada membongkar semuanya di depan umum. Di restoran ini.Anggraini karyawan di sini. Aku tahu dari baju seragam yang ia kenakan. Dia terlalu gegabah. Mengurusi masalah pribadi di jam kerja. A
"Mas. Boleh aku minta nomor WhatsAppnya?" tanyanya lirih."Aku lupa dengan nomorku sendiri." Aku menjawab asal sembari menyuap makanan. Terlihat gurat kecewa di wajahnya.Aku tidak tega melihat wajah yang sedih begitu."Begini saja. Kamu ada kartu nama?"Senyumnya merekah setelah mendengar pertanyaanku. Hanum segera melambaikan tangan pada karyawannya. Memerintahkan pada salah satu karyawannya. "Tolong ambilkan kartu nama di meja saya.""Ini restoran kamu yang keberapa?" tanyaku kepo. Aku tahu orang tuanya memiliki beberapa cabang rumah makan. Mungkin saat ini sudah menjadi restoran. Belum sempat menjawab karyawan tadi sudah kembali ke sini. Cepat juga dia! "Kamu boleh pergi," ucap Hanum pada karyawannya, setelah menyerahkan kartu nama tersebut. "Ini, Mas. Tolong hubungi aku segera, ya. Aku sudah lama mencari kontakmu tapi tidak ketemu. Mencari akun media sosialmu pun tidak berhasil." Tangan kiriku segera mengambil kartu nama tersebut. Entah untuk kepentingan apa aku menghubun
"Astaghfirullah … Bian! Alangkah menjijikkan perbuatan bekas istrimu!" Aku kehabisan kata-kata untuk membantah ucapan ibu. Toh memang benar adanya. Aku sudah melihat adegan yang memalukan di galeri Silvia. "Firasat ibu tidak salah. Anggraini bukan wanita baik-baik. Ini buktinya."Untung saja sudah aku ceraikan.Aku merasa jijik setelah melihatnya adegan itu. Membayangkan tubuhnya sudah dijamah oleh lelaki lain selain suaminya. Mual pun tiba-tiba menyerangku. Zaman sekarang banyak wanita yang covernya gadis tapi isinya sudah tak perawan. Bagaimana bisa dahulu, aku jatuh cinta pada wanita itu? Aku terpesona dengan cantiknya. Memang benar apa kata orang tua, cantik rupa belum tentu hatinya."Benar-benar menjijikkan! Kamu harus segera memeriksakan diri, Bian! Ibu tidak mau kamu terkena penyakit kelamin!" "Bian belum pernah menyentuhnya, Bu," jawabku jujur. Ibu mengernyitkan dahinya. Pasti beliau tak percaya. Tapi itu kenyataannya."Apa kamu tidak normal, Bian?" Pertanyaan ibu absurd. R
Ternyata selama ini ibu dan Silvia memiliki komunikasi yang bagus. Ibu sepertinya sengaja membuat aku tersiksa karena mencari keberadaan menantunya. Tiba-tiba hatiku panas saat melihat Silviatersenyum ramah dan sesekali melihatnya tertawa pada seorang pria yang sedang duduk manis di depan warungnya."Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain." ucapku setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Bikin malu saja. Memang kamu siapa?" tantang Silvia dengan mata menatap nyalang ke arahku. ***POV 3"Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain," ucap Abian setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Biki
"Saya tidak perlu menjelaskan mengapa istri saya menyendiri di sini. Jangan berasumsi sendiri. Istri saya wanita baik-baik, Istri yang sholehah. Tidak perlu kalian korek informasi tentangnya terlalu dalam." Darini melengos pergi begitu saja setelah Abian berhasil membungkam mulutnya.Merasa kesal wanita beranak dua itu segera pergi dari warung Silvia tanpa pamit. Sebenarnya karedok Darini sudah dibungkus dari tadi. Wanita itu sengaja berlama-lama karena ingin ngerumpi di situ. Mencari bahan ghibahan."Mbak Silvia. Punya hutang penjelasan sama kami. Yuk, Ningsih kita pulang dulu!" "Mbak kami pulang dulu, ya," pamit keduanya. Marini dan Ningsih pun meninggalkan warung itu.Kini tinggal "Mbak. Pesanan saya sendiri sudah selesai?" Darsono merasa tak nyaman berlama-lama di warung Silvia, padahal biasanya tempat itu menjadi candu untuknya. "Ini, Mas." Silvia menyerahkan dua puluh bungkus karedok pada Darsono."Terima kasih. Ini uangnya." Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Abian menangk