Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya.
Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "Silakan diminum pak Ardian," ujar Carla. Senyuman manisnya membuat Ardian salah tingkah. Oh, tidak Ardian ini masih single. Jangan sampai ia tertarik dengan sosok Carla yang sudah bersuami. "Ah, iya kedatangan saya kesini ingin membicarakan bisnis yang sudah kita bicarakan minggu kemarin. Bagaimana kalau kita realisasikan?" "Bisa saja. Apakah anda masih tetap tertarik dengan prospeknya?" "Masih. Dan saya tetap tertarik jika itu menyangkut tentang anda sebagai pemiliknya." Ardian mengedipkan matanya, itu sukses membuat Carla menjadi sedikit tertarik tapi kesan selanjutnya sedikit risih untuk dikatakan. Pesona Ardian tidak main-main. Ia adalah seorang jenius bisnis yang mempunyai banyak sekali rekan bisnis dari berbagai bidang. Sekalinya bisa bermitra dengannya, otomatis namanya ikut melambung. "Benarkah?" "Ehhmm...bagaimana?" Carla berpikir sejenak, penawaran Ardian memang cukup menarik. Carla dan Ardian bisa jadi pemain tunggal dalam bisnis yang akan mereka kerjakan. "Baik, bisa saya proses segera." "Bagaimana kalau bicarakan ini sambil makan malam?" "Maaf, saya sudah harus di rumah setelah jam kerja." terlihat wajah kecewa Ardian setelah penolakan halus oleh Carla. "Ehm, kalau makan siang? Saya yakin anda tidak akan menolak," ujar Ardian dengan kepercayaan dirinya. "Baiklah. Saya bisa." Ardian berdiri sambil menepuk jasnya yang terlihat kusut. Ia mengulurkan tangannya sebagai tanda persetujuan dengan Carla. "Well, saya tunggu di cafe Ox jam makan siang." "Baik. Nanti saya akan datang." "Terima kasih." Ardian pamit undur diri. Carla pun segera memberitahu Abbi untuk tak menunggunya makan siang karena ia sudah lebih dulu janji dengan Ardian. **** "Carla, nanti aku akan menjemputmu." Abi menghubungi Carla setelah tiba di kantornya. Ia sedikit terlambat karena jalanan kota Jakarta sedikit padat pada pagi hari. Setelah mengantar Carla, ia melajukan kendaraannya menuju kantor yang berjarak sedikit jauh. Carla mendengus pelan. Ia tak ingin dijemput oleh suaminya. Carla tak ingin pulang terlalu cepat hari ini. Salahkan mobilnya yang mogok dan harus menginap di bengkel lebih dari seminggu lamanya. "Tidak usah, Mas. Aku—" "Jangan membantah," tegas Abi. "Baiklah. Jemput aku jam tiga sore," jawab Carla malas yang diangguki oleh Abi di ujung sana. Memenuhi janji makan siang bersama Ardian, Carla datang ke sebuah kafe terkenal dekat dengan kantornya. Ia meminta diantarkan oleh salah satu stafnya hingga ke depan pintu kafe. Di salah satu sisinya, ada Ardian yang sedang menunggunya sambil melambaikan tangan memanggil Carla yang masih berdiri di kejauhan. "Carla!" suara antusias Ardian terdengar. Carla berjalan mendekat. "Menunggu lama?" Ardian menggelengkan kepalanya. Ia berdiri sejenak lalu menarik kursi untuk Carla. "Aku baru saja tiba. Ini menunya, silakan pesan." "Hari ini siapa yang traktir?" tanya Carla sambil membolak-balik buku menu. Ardian tertawa melebarkan senyumannya. "Aku yang mengajakmu, jadi aku yang traktir." Carla menutup buku menunya. Untuk memecah keheningan, ia kembali bertanya pada Ardian,, "Kamu tahu apa yang aku suka?" "Iya. Bahkan aku juga tahu segalanya tentang kamu. Well, asistenku sudah datang ke kantormu untuk membawakan berkas yang kita butuhkan." "Ok, lusa kita meeting." Suasana hening kembali. Carla menikmati makan siangnya, sementara pria di seberangnya justru sebaliknya. Tatapannya tertuju pada wajah cantik Carla yang begitu ia kagumi. "Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi, biasanya aku mimpi buruk tapi ini mimpi yang indah. Sangat indah." Ardian membuka percakapan kembali. Senyumnya mengembang, menciptakan suasana nyaman untuk keduanya. "Mimpi apa?" tanya Carla penasaran. "Bertemu bidadari." suara Ardian pelan namun berhasil membuat Carla terlarut. Pipinya memerah malu, seakan dirinya yang sedang dirayu oleh pria itu. "Pasti menyenangkan," ucapnya. "Sangat." Akhirnya, makan siang pun selesai dengan aman. Pembicaraan yang mengarah ke ranah pribadi berhasil Carla alihkan. Ia tahu dan ia merasakan sinyal aneh yang Ardian kirimkan padanya. Semacam, pendekatan lebih dalam. "Ah, bagaimana kalau aku antar ke kantor lagi? Kebetulan searah," tawar Ardian. Sangat bisa ditebak oleh Carla bagaimana antusiasnya Ardian ingin mendekatinya. Kebetulan, Abi mengatakan jika ada di sekitar lokasi cafe. Hari ini mereka berencana akan bertemu dengan dokter kandungan yang telah dijadwalkan minggu lalu. "Ehm, suami saya jemput. Sebentar lagi sampai," jawab Carla. Carla lebih dulu berdiri dan berjalan keluar dari cafe. Ardian mengikutinya dari belakang, ia hanya ingin tahu bagaimana penampilan suami Carla yang katanya terlalu posesif pada istrinya. "Carla....." teriak Abi dari kejauhan disertai lambaian tangannya ke arah Carla. "Mas...." Carla membalasnya. Ardian menahan rasa yang aneh di dalam dadanya. Seperti, perasaan cemburu. Ah, Carla kan istri orang. "Dokter Din sudah menunggu. Ayo." Carla menoleh pada pria di sebelahnya lalu berpamitan. Ardian sempat berkenalan dengan Abi tadi. Sorot mata mereka menampilkan perasaan saling menarik satu sama lain. Sorot mata cemburu dan memuja akan kehadiran Carla di sebelah mereka. "Aku duluan, sampai jumpa." Carla melambaikan tangannya, Ardian membalasnya. 'Sampai jumpa bidadari.' lirih Ardian. Abi menoleh lalu menatap Ardian dengan tatapan menantang, Ardian mengeluarkan smirknya. Pria itu menangkap sinyal aneh, ia tahu Ardian tertarik pada Carla. **** Setengah jam menunggu, akhirnya mereka berdua pun masuk kedalam ruangan dokter Din, dokter ahli kandungan yang sudah mereka percaya. Abi dan Carla sudah melakukan tes beberapa hari sebelumnya, berharap hasilnya menggembirakan. "Pak Abi sehat, bu Carla sebenarnya sehat hanya saja ada beberapa hal yang mesti ibu ketahui. Ehm, ini sangat sensitif tapi harus saya beritahukan semuanya," ujar dokter dengan nada seriusnya. Wajah Abi dan Carla terlihat tegang. Aura mereka berubah. Bahkan bisa dibilang Carla yang paling tidak bisa menahannya. Ia berulang kali menggertakkan giginya. "Maksud dokter?" tanya Abi penasaran. "Bu Carla, sabar ya. Kita akan bantu sebisa mungkin. Ada semacam kelainan di rahim bu Carla. Saya belum bisa pastikan, tapi saya akan bantu carikan dokter yang lebih kompeten dan mengetahui hal ini lebih baik dari saya." Degg.. Jantung Carla seperti berhenti berdetak. Rasanya tidak mungkin. Ia memiliki kelainan rahim? Lalu bagaimana dengan pernikahannya?. "Apa saya tetap bisa punya anak, dok?" "Kemungkinannya 50:50. Bu Carla sabar ya, bu." Dokter Din berusaha menguatkan Carla. Ia ikut merasakan apa yang Carla rasakan. Pasti sulit bagi seorang perempuan jika melewati hari-hari pernikahannya tanpa buah hati. "Terima kasih dok, kami permisi." Di dalam kendaraan, keduanya terdiam. Carla memikirkan hal terburuk dalam pernikahannya. Sementara Abi, memikirkan cara bagaimana ia akan mengatakan hal ini pada orangtuanya. Mereka tak mungkin berbohong. Orangtuanya pasti akan memaksa lebih dari ini. "Bagaimana kalau ibu tahu? Apakah kita akan...." "Jangan berpikiran yang aneh. Kita jalani semua dengan sabar. Pasti ada jalan terbaik." Abi menggenggam tangan Carla dan meremasnya pelan. Ia ingin berbagi kegelisahan yang sama. "Bagaimana kalau mas Abi menikah lagi? Aku siap dimadu." "Jangan berpikiran aneh." Abi mengusap rambut Carla dan mencium tangannya serta menaruhnya di wajahnya. "Tapi...." "Carla, aku sangat mencintaimu. Jadi, jangan buat aku memilih." "Baiklah...." *****Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera