Enam tahun menikah, badai pernikahan itu datang juga. Anak menjadi salah satu masalah yang membuat hubungan Carla dan Abi menjadi renggang. Ini bukan salah mereka, ini hanyalah permainan takdir.
Sudah dua malam Abi tidur tanpa pelukan Carla. Istrinya itu memilih diam dan terkadang membalikkan tubuhnya. Ia tak mau menatap wajah Abbi sedetikpun. "Sayang, kamu kenapa?" Abi mengusap punggung Carla perlahan. Tangan Carla menepisnya. "Ada yang salah dengan aku?" Carla membalikkan tubuhnya. Tatapan sendu terlihat jelas di matanya. "Mas tahu apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga kita?" Abi terdiam tak menjawab. "Mas harusnya sadar, kalau rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja!" "Aku tahu. Ini semua karena kata-kata ibu beberapa hari lalu. Iya, kan?" "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak cari jalan keluar?" Carla menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Hawa di dalam kamar sangat panas dan ia ingin sekali menghirup udara segar dari balik balkon kamar. "Kita sudah dewasa, harusnya tahu cara bersikap yang benar. Aku sebagai suami, sudah mencoba menegur ibu." Abi berteriak lantang pada Carla yang kini berdiri di luar sana. Angin dingin semilir menerpa wajah Carla dan sedikit masuk ke dalam kamar pasangan suami istri itu. Keduanya terdiam beberapa saat. Air mata Carla jatuh membasahi pipinya yang lembut. Dalam keadaan terisak ia mengatakan sesuatu yang membuat rumah tangga mereka hancur di malam itu. "Mas, mari kita bercerai." Abi membelalakkan matanya. "Apa? Apa katamu? Kamu ingin bercerai?" Carla mengangguk. "Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan kamu!" "Mas tidak dengar kata-kata yang keluar dari mulut ibu?" teriak Carla. "Mas dengar tidak?" "Carla, aku mohon jangan seperti ini. Aku sayang sama kamu, sama Adam juga. Kita satu keluarga." "Tapi aku mandul, Mas!" Carla begitu frustasi dengan keadaan dirinya. Tubuhnya lemas setelah semua yang ia rasakan selama ini keluar lewat tangisannya. Kamar yang sebelumnya syahdu dan damai kini berubah seperti neraka. Carla menangis sejadinya, meluapkan semuanya dalam kelamnya malam. Kemarin lusa, saat Riandari datang menghubungi anak semata wayangnya suasana rumah yang tenang tiba-tiba berubah. Wajahnya yang dulu ramah seketika menjadi penuh kebencian. Terlebih saat melihat wajah Carla di depannya. "Kamu itu sudah enam tahun menikah, Adam juga sudah mulai besar. Lalu, kapan dia akan punya adik?" sindir Riandari. Carla tentu saja terhenyak mendengar kalimat itu. "Ditunggu saja bu, sabar. Insya Allah secepatnya," sahut Carla dengan suara lembut. "Abi itu sudah terbukti sehat, lha wong buktinya dia punya anak. Berarti kamu tuh yang tidak sehat. Coba kamu periksa ke rumah sakit. Ibu tidak mau kalau sampai Abi hanya punya satu anak. Keluarga besar kami, harus punya anak lebih dari satu. Kamu mengerti, kan?" Ketus Riandari. Abi merampas ponsel Carla dan mendengarkan kata-kata ibunya di telpon. Abi geram, ia ingin berkata kasar tapi tak mungkin. Ini ibunya. "Bu, kalau ibu tidak bisa berkata baik mohon ibu lampiaskan pada Abi. Bukan dengan istri Abi. Ibu tahu, perkataan ibu sangat menyakiti hati Carla." kata-kata Abi terdengar penuh emosi namun terarah. Ia membela Carla. Biar bagaimanapun, Carla adalah istrinya. Ia pantas dibela. "Kamu harusnya tahu, ibu sama ayah inginnya kamu punya anak banyak. Kalau memang Carla tidak bisa memberi kamu keturunan, ceraikan saja dia atau kamu cari istri lagi. Punya istri kok gabuk." Cukup sudah. Perkataan sang ibu sudah membuat hati Abi panas. Carla masih menangis, sepertinya ia mendengar perkataan ibu barusan. Abi memeluknya dengan posisi berdiri, ia pun mengusap kepalanya. "Bu, sudah malam. Abi mau tidur. Selamat malam." Abi mematikan sambungan telpon. Tangisan Carla semakin menjadi. Abi duduk berjongkok di hadapan Carla, ia menengadahkan kepalanya dan menghapus air mata istrinya dengan tangan. "Mas, ibu benar. Aku wanita gabuk, tidak bisa punya anak." tangis Carla bertambah. Abi semakin merasakan betapa tersiksanya Carla dengan ucapan ibunya. "Maafkan ibu, ya. Aku sayang sama kamu. Jangan hiraukan ucapan ibu." Carla mengangguk. Keduanya pun berpelukan. Abi ingin memberikan kenyamanan untuk istrinya. Setelah pertengkaran semalam, Carla dan Abi terlibat perang dingin. Abi berangkat lebih dulu ke kantor sedangkan Carla menyusulnya siang nanti. Namun saat Carla membuka pintu, wajah sinis ibu mertuanya menyapa paginya yang sendu. "Ibu? Datang kesini tidak memberitahu Carla?" Carla segera mencium tangan ibu mertuanya serta mempersilakannya masuk. "Ibu apa kabar?" tanya Carla yang tak ditanggapi oleh Riandari. Carla mengembangkan senyum getir melihat perlakuan ibu mertuanya. Ia masih ingat pertengkaran semalam dengan Abi dan ia bertekad untuk memendamnya dalam hati. Riandari membuka tas yang ia bawa dan menyerahkan satu lembar brosur yang entah isinya apa. "Baca. Kamu sepertinya sangat membutuhkan itu." Carla membaca perlahan isi brosur tersebut. Matanya terbelalak, bibirnya termangu tak percaya. Dengan mata berkaca-kaca ia bertanya pada Riandari, "Tapi, Bu Mas Abi...." "Carla, ibu malu sama orang sekitar. Sudah enam tahun kalian menikah, belum juga ada momongan. Ibu percaya kalau Abi sehat, tapi kamu?" Riandari menarik napas panjang. Lalu kembali menatap menantunya. "Carla, ibu ingin kamu cek kesehatan di klinik itu. Kata tetangga ibu, kliniknya dijamin bagus. Kamu harus coba." Carla tersenyum kecut. Sudah dapat diduga sebelumnya, ibu mertuanya pasti ingin dirinya segera memiliki anak. Dengan suara parau Carla membalasnya, "Saya omongin sama mas Abi dulu, Bu." "Tidak perlu. Karena ibu sudah hubungi dia, kamu hanya tentukan tanggal datangnya saja." "Iya, bu." **** Sepulangnya sang ibu mertua, Carla segera pergi ke kantor. Tujuannya adalah bertanya pada Abi tentang brosur yang kini ada di tangannya. Ia hanya ingin tahu, apakah Abi menyetujui keinginan ibunya atau tidak. Berdua saja di dalam ruangan sepi membuat sepasang suami istri itu dilanda kegelisahan. Imbas dari pertanyaan Carla membuat Abi marah. Dirinya masih lelah dengan peristiwa tadi malam tapi mengapa timbul permasalahan baru yang membuatnya kembali geram. "Ibu datang ke rumah hanya untuk memberikan brosur ini?" Abi membanting kasar brosur dan merematnya lalu membuangnya ke tempat sampah. Matanya menatap Carla yang tertunduk di sofa ruangan kantornya. Ia tahu, Carla pasti menangis. "Ibu benar, Mas. Aku harus ikut pengobatan. Lagipula, siapa tahu jika ternyata memang benar terbukti aku mandul. Mas pasti malu punya istri seperti aku. Mas pasti—" "Stop! Cukup! Aku kepala keluarga, aku yang berhak menentukan. Kalau sudah saatnya, kita akan diberikan amanah seorang anak, Carla." Abi menaikkan suaranya beberapa oktaf. Carla terdiam. Sejenak ia menghapus airmatanya lalu berdiri. "Mas, kalau ternyata aku mandul bagaimana?" Abi yang tadinya terdiam malah menaikkan tensi emosinya. Ia berjalan bolak balik mengitari ruangannya sambil meremas rambutnya. Udara di sekitarnya mendadak menjadi panas. "Kamu tuh ngomong apa sih?" "Mas, kita buktikan dulu hasil tesnya. Kalau memang aku mandul, aku tidak akan bisa melanjutkan kembali pernikahan kita." Carla berteriak dengan lantang. Beberapa orang yang melintas depan ruangan Abi menengok, mereka sempat kaget dengan suara Carla. Abi mengguncang bahu Carla. Ia menajamkan pandangannya. Ia menatap mata Carla yang sama tajam menatapnya. Dada Abi bergerak naik turun. "Tidak ada perpisahan. Kita tetap suami istri, apapun hasilnya!" tegas Abi. Ia mencengkeram bahu Carla. "Kalau begitu, Mas harus menikah lagi." Apa? Menikah? Tidak. Tidak ada di kamus Abi, menikahi wanita diatas pernikahannya sendiri. Ini tidak adil untuk Carla dan juga wanita itu. "Kita bicarakan lain kali." "Mas, sekarang juga harus kita bicarakan. Kita harus ambil keputusan segera." Carla menarik lengan kemeja Abi yang berjalan menjauhinya. "Aku mohon, Mas." "Kita pikirkan ini dengan keputusan yang matang. Jangan ambil tindakan gegabah." "Aku selalu dipojokkan, Mas. Ibu selalu memojokkan aku." **** Sepulang kerja, Abi menyempatkan diri untuk berbincang bersama sahabatnya di pendopo dekat rumah. Seperti biasa, sehabis makan malam mereka sering berkumpul. Terkadang membicarakan masalah rumah tangga, game atau apapun hal yang sedikit absurd. Bimo dan Kuncoro seperti biasa main game, Hadi dan Abi malah lebih senang mencari teman chatting di aplikasi media sosial. Abbi tadinya bersemangat, namun anehnya tiba-tiba ia teringat istrinya dan permasalahan rumah tangganya. "Kenapa Bi? Kok bengong?" tanya Kuncoro. Ia ternyata ikut memperhatikan perubahan wajah Abi tadi. Abi hanya menggeleng ringan. Ia terdiam. "Bi, jangan terlalu banyak dipikir ya. Kehidupan pernikahan memang begitu," ujar Bimo. "Kalian tahu, dokter ginekologi yang terkenal? Aku mau periksa kesuburan." Pernyataan Abi membuat syok beberapa orang yang duduk di pendopo. Mereka saling berpandangan. Mungkin, hal inilah yang membuat Abi dari tadi terdiam. "Aku punya, nanti aku kirim alamatnya," ujar Hadi. Dulu, Hadi punya masalah yang sama dengan dirinya. Mungkin inilah solusinya. "Thanks, No." **** "Besok sabtu kita ke ahli ginekologi. Kita lihat, apakah bisa kita mendapatkan momongan secepatnya. Supaya kita bisa membungkam mulut orangtua kita." Abi dengan terburu-buru masuk kedalam rumah dan memberitahukan perihal pemeriksaan ini. Carla tersentak kaget. Hampir saja buah yang ia makan terlempar dari tangannya. "Serius, mas? Kalau hasilnya buruk?" Carla ketakutan. Ia takut kalau hasilnya tak sesuai dengan keinginan mereka. Carla takut jika ternyata Abi lebih memilih mendengarkan perkataan ibunya. "Aku akan terima semuanya. Kamu jangan takut." Carla tak habis pikir, kenapa Abi tetap bersikeras mempertahankan egonya. Kalaupun benar ia mandul, apa kata orangtua mereka? Pasti akan terjadi huru-hara. Iya, mereka pasti bertengkar hebat.. "Tapi, mas....." "Keputusanku tetap bulat. Mau tidak mau, kita harus tetap test. Apapun hasilnya." ****Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera