Home / Young Adult / Istri kontrak om duda / Kesepakatan hitam di atas putih

Share

Kesepakatan hitam di atas putih

Author: Tiffany
last update Huling Na-update: 2025-07-27 21:18:04

Kesepakatan hitam di atas putih.

Sebuah Kafe, Sore Hari

Kafe itu terletak di sudut kota yang tidak terlalu bising, agak tersembunyi di balik deretan pohon angsana dan bangunan-bangunan bercorak kolonial yang telah direstorasi menjadi tempat usaha. Dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tua yang hangat, dengan jendela-jendela besar berbingkai putih dan pintu kayu yang dicat cokelat gelap. Di terasnya, ada beberapa kursi rotan dan meja bundar, dihiasi tanaman gantung yang menggantung lembut, menari pelan bersama semilir angin senja.

Di dalam, suasana terasa jauh berbeda dari dunia luar yang hiruk-pikuk. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning lembut yang menciptakan nuansa hangat dan intim. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara. Beberapa pengunjung duduk diam, larut dalam bacaan atau obrolan pelan. Musik jazz instrumental mengalun sayup dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan eksklusif namun menenangkan.

Ayudia duduk di salah satu sudut ruang kafe, kursi empuk berlapis beludru biru laut menopang tubuhnya yang tegang. Di hadapannya, duduk seorang pria dengan wajah tenang dan tatapan menusuk yang memancarkan kekuasaan yang tak perlu diumbar.

Ardhan.

Nama itu baru saja dikenalnya beberapa hari yang lalu, melalui kartu nama yang diberikan seorang kenalan jauh. Tapi dalam waktu singkat, nama itu kini terasa seperti sebuah gerbang—entah menuju keselamatan, atau justru ke jurang tak terduga.

Pria itu menatapnya, matanya tajam seperti bilah kaca yang baru diasah. Wajahnya rupawan, namun tidak muda. Ada kematangan yang kentara dari garis rahang tegas, alis yang nyaris selalu terlipat serius, dan sorot mata yang menyiratkan bahwa ia bukan pria yang mudah didekati. Dibalut kemeja putih berkerah tinggi dan jas gelap yang rapi tanpa cela, ia menyeruput kopinya dengan tenang, seolah tak terburu waktu.

“Aku tidak ingin kau bermimpi tentang pernikahan yang penuh cinta,” ucap Ardhan, suaranya dalam dan berat, terdengar sangat logis namun dingin seperti batu. Dia jelas memberikan peringatan untuk sosok gadis dihadapannya, jangan pernah bermimpi dan dia tidak akan pernah memberikan mimpi. Ini sekedar kesepakatan yang dibuat dan harus ditandatangani. Hitam di atas putih, tidak lebih. Hanya berdasarkan waktu yang di tandatangani dan semua usai.

Ayudia terdiam. Ia tidak kaget, hanya menundukkan kepala sedikit, menerima pernyataan itu tanpa keberatan. Ia tahu apa yang ia masuki bukan kisah romansa dalam novel, melainkan perjanjian bisnis yang menyamar sebagai pernikahan. Cinta tidak termasuk dalam klausulnya.

“Ini adalah kesepakatan. Kita hanya akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk keuntungan masing-masing. Tidak lebih.”

Kalimat itu menghujam seperti palu, tapi Ayudia tidak menggigil. Ia sudah mempersiapkan diri untuk segala bentuk penolakan terhadap romantisme. Ardhan, dengan segala ketampanan dan wibawanya, bukan pria yang bisa dia dekati dengan emosi. Bukan pula sosok yang mengizinkan perasaan mengaburkan tujuan.

Ayudia duduk lebih tegak, menyembunyikan kegugupan di balik tatapan matanya yang tampak kokoh. Ia tahu posisinya dalam percakapan ini: bukan sebagai calon istri, tapi sebagai calon "rekan kontrak"—seorang perempuan yang diminta untuk meminjamkan rahimnya, melahirkan seorang anak, dan kemudian menghilang dari kehidupan Ardhan begitu tugasnya selesai.

Ardhan. Nama itu terus terngiang-ngiang di benaknya. Lelaki yang konon kehilangan istri tercintanya dalam kecelakaan tragis bertahun-tahun lalu. Sejak itu, menurut cerita, Ardhan menutup hatinya, menolak cinta dalam bentuk apa pun. Namun kini, di tengah tekanan keluarganya yang terus mendorongnya untuk menikah lagi dan memiliki keturunan, ia memilih jalan pintas: pernikahan kontrak.

Dan Ayudia… entah bagaimana, menjadi salah satu pilihannya.

Mereka bertemu karena sebuah perkenalan yang disengaja. Seorang kenalan mempertemukan mereka, menyebut Ayudia sebagai gadis yang bisa dipercaya dan tidak akan membawa keributan emosional ke dalam hidup Ardhan. Terlebih, Ayudia membutuhkan uang dalam jumlah besar. Cepat. Untuk menyelamatkan nyawa ayahnya.

Kesepakatan ini, walaupun terasa gila, tetap saja sebuah jalan.

“Setelah kamu melahirkan anakku,” Ardhan kembali membuka suara, kini sorot matanya lebih tajam, “kita akan menciptakan konflik kecil yang berujung perceraian. Entah kamu yang menggugat, atau aku. Itu akan kita bicarakan nanti. Tapi tujuannya jelas—kita akan berpisah dengan alasan yang disepakati. Kita hanya perlu terlihat ‘sah’ dalam pernikahan, hingga anak itu lahir.”

Ayudia masih diam. Ia menatap pria itu dalam-dalam. Ardhan memang jauh lebih matang darinya, mungkin usianya sudah menyentuh pertengahan tiga puluhan. Tapi justru itulah yang membuatnya tampak lebih mapan, lebih memikat, dan lebih… tidak tersentuh. Ada jarak yang sengaja ia ciptakan dengan semua orang, termasuk dengan dirinya.

Namun Ayudia tidak sedang mencari cinta. Ia mencari solusi.

Tatapannya bergerak ke dokumen yang tergeletak di atas meja di antara mereka. Tumpukan kertas tebal itu adalah kontrak yang telah disiapkan oleh tim hukum Ardhan. Berisi pasal demi pasal yang merinci kesepakatan mereka—tentang durasi pernikahan, larangan untuk jatuh cinta, kerahasiaan identitas, hak asuh anak, hingga kompensasi finansial.

“Apa kamu sudah membaca dan memahami semua isi kontraknya?” Ardhan bertanya datar, tangannya menggulirkan pena ke arahnya.

Ayudia mengangguk pelan. Ia tidak banyak bicara, hanya memberikan isyarat bahwa ia telah membaca dan menyetujui. Meski jantungnya berdetak cepat, tidak ada keraguan dalam tatapannya. Ia tahu risikonya. Tapi ia juga tahu, inilah satu-satunya jalan yang tersisa untuk menyelamatkan ayahnya dari maut.

Ardhan menatapnya sejenak, mencoba membaca sesuatu di balik wajah tenang Ayudia. Namun ia tak menemukan apa-apa. Gadis itu tak memperlihatkan kelemahan. Hanya tekad.

“Kalau ada yang ingin kamu tambahkan, atau tanyakan…” ucap Ardhan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, “...ini waktunya. Setelah ini, semuanya akan resmi.”

Ayudia terdiam sejenak. Ia menatap mata Ardhan, mencoba menembus lapisan emosi di balik ketenangan pria itu. Tapi ia tahu itu sia-sia. Ardhan tidak akan membuka diri. Tidak akan membiarkan siapa pun masuk.

Akhirnya, dengan suara pelan namun tegas, ia bertanya satu hal.

“Bolehkah aku meminta uang muka?”

Kalimat itu meluncur begitu saja. Sederhana, namun membawa beban yang besar. Ayudia tahu ia terdengar seperti perempuan materialistis, tapi kenyataannya, ia hanya butuh biaya rumah sakit. Malam ini juga. Waktu terus berjalan dan ayahnya menunggu di meja operasi. Ia tidak punya waktu untuk menunda.

Ardhan tidak langsung menjawab. Ia menatap Ayudia beberapa saat, seolah sedang menilai apakah permintaan itu tulus atau bagian dari permainan. Tapi kemudian ia menarik ponselnya, membuka layar, dan mulai mengetik.

“Aku akan transfer ke rekeningmu sekarang juga,” ucapnya datar.

Ayudia menahan napas, dadanya terasa sesak karena lega sekaligus perih. Ia tahu, sejak saat itu hidupnya tidak akan sama lagi.

Tapi demi ayahnya, demi keluarganya…

Ia akan menjalaninya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri kontrak om duda   Di atas meja makan

    Kembali ke rumah utama Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan menanjak menuju kediaman besar keluarga Gunawan benar-benar menguras tenaga. Jalan yang menukik perlahan dari bawah terasa panjang dan melelahkan, apalagi setelah mobil yang mereka tumpangi mengalami kendala dan terpaksa berhenti di ujung jalan. Ardhan berjalan di depan, langkahnya cepat, mantap, dan terkesan tidak peduli dengan orang lain, sementara Ayudia harus berusaha keras menyesuaikan langkahnya di belakang.Keringat dingin sudah mulai membasahi pelipisnya. Helaan napasnya makin berat, seolah paru-parunya menolak bekerja sama. Yang paling menyiksa sebenarnya bukan hanya rasa lelah pada tubuhnya, melainkan perih yang menjalar di kedua kakinya. Sepasang sepatu hak tinggi yang baru pertama kali ia kenakan sore ini terasa seperti alat penyiksa. Heels berwarna krem yang harganya mahal itu memang tampak anggun, tetapi bagian dalamnya yang masih kaku menusuk tumitnya hingga terasa lecet.Ayudia sempat ingin mengeluh, setidak

  • Istri kontrak om duda   Insiden tak terduga

    Beberapa waktu sebelumnya,sebelum mereka benar-benar tiba di rumah besar Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan yang semula terasa mulus dan lancar itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Begitu mobil yang ditumpangi Ardhan dan Ayudia hampir mencapai kediaman rumah utama keluarga Gunawan, mendadak kendaraan yang mereka gunakan bertingkah aneh. Tanpa tanda apa pun, mesin mobil berhenti begitu saja, mogok seketika. Peristiwa itu jelas membuat suasana di dalam mobil terasa hening, hanya tersisa desah napas keduanya yang saling bersahut.Ardhan yang duduk di kursi pengemudi langsung mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka akan mengalami kejadian semacam ini, apalagi mobil yang ia gunakan masih tergolong sangat baru, bahkan belum genap setahun sejak pertama kali dibawa keluar dari dealer. Selama ini tidak pernah ada masalah berarti, mesin selalu bekerja dengan baik, performanya prima. Namun, anehnya, malam ini justru terjadi hal yang di luar perkiraannya."Tumben?" gumamnya pelan, suara r

  • Istri kontrak om duda   Penantian di meja makan

    Rumah Keluarga Utama ArdhanKediaman Papa Gunawan dan Mama Niar selalu menjadi tempat yang penuh dengan aturan dan tata krama. Sebuah rumah besar bergaya modern klasik, dengan dinding bercat putih yang selalu tampak bersih berkilau meskipun sudah bertahun-tahun berdiri. Di bagian dalamnya, setiap sudut ruangan dipenuhi dengan perabotan yang tertata rapi, seolah ada garis tak kasatmata yang melarang benda-benda itu bergeser dari tempatnya. Aroma kayu manis bercampur harum masakan dari dapur tercium samar, menandakan bahwa jam makan malam sudah semakin dekat.Di tengah suasana rumah yang tenang itu, suara Mama Niar tiba-tiba pecah. Nada suaranya meninggi, terdengar jelas dari arah tangga menuju ke dapur.“Mereka terlambat?” ucapnya dengan nada tak sabar.Langkahnya cepat, seolah setiap hentakan tumitnya adalah pelampiasan kekesalan. Ia berjalan melewati ruang tengah dengan gaun rumah panjang berwarna krem yang membalut tubuhnya, kainnya bergerak mengikuti irama langkah. Sesekali tangann

  • Istri kontrak om duda   Seribu kecurigaan

    Mendengar pertanyaan dari kakak perempuannya, Ardhan sama sekali tidak segera membalas ucapan itu. Lelaki itu memilih untuk tetap diam, menahan segala sesuatu yang mungkin akan meluncur dari bibirnya. Ia hanya berdiri tegak di tempatnya, mengatur napas, lalu perlahan mengalihkan pandangannya pada sosok Ayudia. Tatapan yang ia berikan bukanlah tatapan biasa. Ada ketegasan yang samar-samar terbaca, ada pesan tersembunyi yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Sorot matanya seolah hendak berkata: “Hati-hati dengan ucapanmu, jangan sembarangan memilih kata di hadapanku maupun di hadapan keluargaku.”Ayudia merasakan sorot itu menghujam, namun ia sama sekali tidak bergeming. Tubuhnya tetap tegak di tempatnya, kedua tangannya ia rapatkan di depan, jemarinya saling menggenggam erat seperti mencari pegangan. Gadis itu tahu betul apa yang tengah melintas di kepala Ardhan. Ia bisa membaca maksud dari tatapan itu, bisa menebak dengan jelas bahwa Ardhan ingin menekannya dengan isyarat diam-di

  • Istri kontrak om duda   Tatapan dalam kebisuan

    Rumah Utama ArdhanJelang Makan Malam KeluargaBegitu Ardhan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah besarnya, sejenak pandangan mata laki-laki itu menangkap sosok dua orang yang tengah bergerak menuruni anak tangga. Gerakan itu begitu anggun dan tertata, seakan setiap pijakan kaki mereka memiliki ritme tertentu yang mengisi keheningan rumah pada sore itu. Tatapan mata Ardhan langsung tertuju pada Vivi, kakak perempuannya, lalu bergeser ke arah gadis muda yang berjalan di sisi Vivi, yaitu Ayudia.Ardhan terdiam di tempatnya untuk beberapa waktu. Ada sesuatu yang menghentikan gerak tubuhnya, membuat langkah yang semula ingin segera dipercepat menuju ruang makan itu tertahan begitu saja. Pandangannya terpaku pada sosok Ayudia yang perlahan menuruni anak tangga, mengikuti setiap gerakannya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.Laki-laki itu menelisik penampilan Ayudia dengan mata yang tajam namun penuh perhitungan. Ia memperhatikan dandanan yang telah dipoles dengan sentuhan tangan ahli

  • Istri kontrak om duda   Kenangan yang terlalu sulit dilupakan

    Gunawan GroupRuang kerja Ardhan.Ardhan memejamkan kedua matanya rapat-rapat, jari-jarinya yang kokoh menekan pelipisnya yang sejak pagi terasa berdenyut. Pekerjaan yang menumpuk di atas meja besar berlapis kayu jati itu belum juga selesai, sementara tubuhnya masih terasa letih akibat urusan pernikahannya beberapa hari yang lalu. Tumpukan dokumen, agenda rapat yang tertunda, serta dering telepon yang tak kunjung berhenti membuat pikirannya semakin berat. Rasa letih itu tidak hanya melekat di tubuh, tetapi juga menyeret batinnya ke dalam kelelahan yang lebih dalam. Setiap kali ia mencoba menghela napas panjang, yang hadir justru rasa sesak, seakan ruangan itu terlalu sempit untuknya.Jam pulang kerja semakin dekat. Namun, anehnya, ini kali pertama Ardhan enggan untuk bergegas pulang. Biasanya, meski lelah, rumah tetap menjadi tempat istirahat baginya. Tapi kali ini, entah mengapa, ada sesuatu yang menahannya. Ia tahu pasti apa alasannya. Saat ia kembali ke rumah, ia akan berhadapan de

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status