Kesepakatan hitam di atas putih.
Sebuah Kafe, Sore Hari Kafe itu terletak di sudut kota yang tidak terlalu bising, agak tersembunyi di balik deretan pohon angsana dan bangunan-bangunan bercorak kolonial yang telah direstorasi menjadi tempat usaha. Dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tua yang hangat, dengan jendela-jendela besar berbingkai putih dan pintu kayu yang dicat cokelat gelap. Di terasnya, ada beberapa kursi rotan dan meja bundar, dihiasi tanaman gantung yang menggantung lembut, menari pelan bersama semilir angin senja. Di dalam, suasana terasa jauh berbeda dari dunia luar yang hiruk-pikuk. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning lembut yang menciptakan nuansa hangat dan intim. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara. Beberapa pengunjung duduk diam, larut dalam bacaan atau obrolan pelan. Musik jazz instrumental mengalun sayup dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan eksklusif namun menenangkan. Ayudia duduk di salah satu sudut ruang kafe, kursi empuk berlapis beludru biru laut menopang tubuhnya yang tegang. Di hadapannya, duduk seorang pria dengan wajah tenang dan tatapan menusuk yang memancarkan kekuasaan yang tak perlu diumbar. Ardhan. Nama itu baru saja dikenalnya beberapa hari yang lalu, melalui kartu nama yang diberikan seorang kenalan jauh. Tapi dalam waktu singkat, nama itu kini terasa seperti sebuah gerbang—entah menuju keselamatan, atau justru ke jurang tak terduga. Pria itu menatapnya, matanya tajam seperti bilah kaca yang baru diasah. Wajahnya rupawan, namun tidak muda. Ada kematangan yang kentara dari garis rahang tegas, alis yang nyaris selalu terlipat serius, dan sorot mata yang menyiratkan bahwa ia bukan pria yang mudah didekati. Dibalut kemeja putih berkerah tinggi dan jas gelap yang rapi tanpa cela, ia menyeruput kopinya dengan tenang, seolah tak terburu waktu. “Aku tidak ingin kau bermimpi tentang pernikahan yang penuh cinta,” ucap Ardhan, suaranya dalam dan berat, terdengar sangat logis namun dingin seperti batu. Dia jelas memberikan peringatan untuk sosok gadis dihadapannya, jangan pernah bermimpi dan dia tidak akan pernah memberikan mimpi. Ini sekedar kesepakatan yang dibuat dan harus ditandatangani. Hitam di atas putih, tidak lebih. Hanya berdasarkan waktu yang di tandatangani dan semua usai. Ayudia terdiam. Ia tidak kaget, hanya menundukkan kepala sedikit, menerima pernyataan itu tanpa keberatan. Ia tahu apa yang ia masuki bukan kisah romansa dalam novel, melainkan perjanjian bisnis yang menyamar sebagai pernikahan. Cinta tidak termasuk dalam klausulnya. “Ini adalah kesepakatan. Kita hanya akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk keuntungan masing-masing. Tidak lebih.” Kalimat itu menghujam seperti palu, tapi Ayudia tidak menggigil. Ia sudah mempersiapkan diri untuk segala bentuk penolakan terhadap romantisme. Ardhan, dengan segala ketampanan dan wibawanya, bukan pria yang bisa dia dekati dengan emosi. Bukan pula sosok yang mengizinkan perasaan mengaburkan tujuan. Ayudia duduk lebih tegak, menyembunyikan kegugupan di balik tatapan matanya yang tampak kokoh. Ia tahu posisinya dalam percakapan ini: bukan sebagai calon istri, tapi sebagai calon "rekan kontrak"—seorang perempuan yang diminta untuk meminjamkan rahimnya, melahirkan seorang anak, dan kemudian menghilang dari kehidupan Ardhan begitu tugasnya selesai. Ardhan. Nama itu terus terngiang-ngiang di benaknya. Lelaki yang konon kehilangan istri tercintanya dalam kecelakaan tragis bertahun-tahun lalu. Sejak itu, menurut cerita, Ardhan menutup hatinya, menolak cinta dalam bentuk apa pun. Namun kini, di tengah tekanan keluarganya yang terus mendorongnya untuk menikah lagi dan memiliki keturunan, ia memilih jalan pintas: pernikahan kontrak. Dan Ayudia… entah bagaimana, menjadi salah satu pilihannya. Mereka bertemu karena sebuah perkenalan yang disengaja. Seorang kenalan mempertemukan mereka, menyebut Ayudia sebagai gadis yang bisa dipercaya dan tidak akan membawa keributan emosional ke dalam hidup Ardhan. Terlebih, Ayudia membutuhkan uang dalam jumlah besar. Cepat. Untuk menyelamatkan nyawa ayahnya. Kesepakatan ini, walaupun terasa gila, tetap saja sebuah jalan. “Setelah kamu melahirkan anakku,” Ardhan kembali membuka suara, kini sorot matanya lebih tajam, “kita akan menciptakan konflik kecil yang berujung perceraian. Entah kamu yang menggugat, atau aku. Itu akan kita bicarakan nanti. Tapi tujuannya jelas—kita akan berpisah dengan alasan yang disepakati. Kita hanya perlu terlihat ‘sah’ dalam pernikahan, hingga anak itu lahir.” Ayudia masih diam. Ia menatap pria itu dalam-dalam. Ardhan memang jauh lebih matang darinya, mungkin usianya sudah menyentuh pertengahan tiga puluhan. Tapi justru itulah yang membuatnya tampak lebih mapan, lebih memikat, dan lebih… tidak tersentuh. Ada jarak yang sengaja ia ciptakan dengan semua orang, termasuk dengan dirinya. Namun Ayudia tidak sedang mencari cinta. Ia mencari solusi. Tatapannya bergerak ke dokumen yang tergeletak di atas meja di antara mereka. Tumpukan kertas tebal itu adalah kontrak yang telah disiapkan oleh tim hukum Ardhan. Berisi pasal demi pasal yang merinci kesepakatan mereka—tentang durasi pernikahan, larangan untuk jatuh cinta, kerahasiaan identitas, hak asuh anak, hingga kompensasi finansial. “Apa kamu sudah membaca dan memahami semua isi kontraknya?” Ardhan bertanya datar, tangannya menggulirkan pena ke arahnya. Ayudia mengangguk pelan. Ia tidak banyak bicara, hanya memberikan isyarat bahwa ia telah membaca dan menyetujui. Meski jantungnya berdetak cepat, tidak ada keraguan dalam tatapannya. Ia tahu risikonya. Tapi ia juga tahu, inilah satu-satunya jalan yang tersisa untuk menyelamatkan ayahnya dari maut. Ardhan menatapnya sejenak, mencoba membaca sesuatu di balik wajah tenang Ayudia. Namun ia tak menemukan apa-apa. Gadis itu tak memperlihatkan kelemahan. Hanya tekad. “Kalau ada yang ingin kamu tambahkan, atau tanyakan…” ucap Ardhan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, “...ini waktunya. Setelah ini, semuanya akan resmi.” Ayudia terdiam sejenak. Ia menatap mata Ardhan, mencoba menembus lapisan emosi di balik ketenangan pria itu. Tapi ia tahu itu sia-sia. Ardhan tidak akan membuka diri. Tidak akan membiarkan siapa pun masuk. Akhirnya, dengan suara pelan namun tegas, ia bertanya satu hal. “Bolehkah aku meminta uang muka?” Kalimat itu meluncur begitu saja. Sederhana, namun membawa beban yang besar. Ayudia tahu ia terdengar seperti perempuan materialistis, tapi kenyataannya, ia hanya butuh biaya rumah sakit. Malam ini juga. Waktu terus berjalan dan ayahnya menunggu di meja operasi. Ia tidak punya waktu untuk menunda. Ardhan tidak langsung menjawab. Ia menatap Ayudia beberapa saat, seolah sedang menilai apakah permintaan itu tulus atau bagian dari permainan. Tapi kemudian ia menarik ponselnya, membuka layar, dan mulai mengetik. “Aku akan transfer ke rekeningmu sekarang juga,” ucapnya datar. Ayudia menahan napas, dadanya terasa sesak karena lega sekaligus perih. Ia tahu, sejak saat itu hidupnya tidak akan sama lagi. Tapi demi ayahnya, demi keluarganya… Ia akan menjalaninya.“Lihatlah pilihan Ardhan itu.”Suara Mama Niar terdengar lagi, kali ini dengan nada kesal yang menusuk telinga, ditujukan kepada putri tertuanya, Vivi.Perempuan bernama Vivi itu hanya terdiam di kursi makan, menunduk sembari memotong buah semangka di hadapannya. Telinganya sudah terbiasa dengan ocehan ibunya yang tak pernah berhenti jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sejak kecil ia sudah kenyang mendengar suara bernada tinggi dari ibunya, jadi ia sama sekali tidak heran ketika ocehan itu kembali meluncur sekarang.Memang sudah begitulah watak Mama Niar, pikir Vivi. Wanita itu jarang sekali merasa cocok dengan sesuatu atau seseorang. Bahkan dulu ketika ayah menikahi Mama Niar, kabarnya hubungan mereka pun penuh pertentangan di awal. Namun pada akhirnya, setelah waktu berjalan dan mereka saling mengenal lebih dalam, semua berubah. Sekarang justru ayah menjadi kebanggaan di mata Mama Niar. Itulah yang Vivi yakini: pada dasarnya sifat seorang ibu memang selalu menola
Ayudia hanya bisa menghela napas panjang, dada terasa penuh sesak oleh luka yang baru saja digoreskan. Kata-kata pedas yang meluncur begitu lancang dari bibir wanita itu—wanita yang kini ia tahu adalah ibu kandung Ardhan—masih berputar-putar di telinganya, menggema tanpa henti, seakan-akan diputar ulang dalam kepalanya. Setiap kalimat, setiap intonasi, setiap tatapan penuh penghinaan, bagaikan paku yang ditancapkan satu per satu ke dalam hatinya yang rapuh.Ia berusaha menegakkan tubuh, namun gemetar halus di tangannya tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang tadi berusaha ditahan tetap tenang, perlahan terasa panas. Rasa malu, sakit hati, sekaligus marah yang tak berdaya bercampur menjadi satu.Sebelum ia sempat benar-benar menguasai dirinya, pandangan matanya masih mengikuti sosok wanita itu—wanita yang dengan segala wibawa dan otoritasnya melangkah naik ke lantai atas. Gaun elegan yang dipakainya berayun lembut mengikuti gerakannya. Tumit stiletto yang menghantam lantai marmer meningg
Bab — Tamu yang Tak DiundangAyudia menatap tanpa berkedip, seolah tubuhnya membeku dalam waktu yang mendadak melambat. Pandangan matanya terpaku pada dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu rumah besar itu, sosok yang kehadirannya bagai badai dingin yang menerobos masuk tanpa peringatan.Wanita berusia setengah abad itu melangkah masuk tanpa diminta. Gerakannya menunjukkan keanggunan yang tidak dibuat-buat, tapi dibalut dengan aura otoritas yang kental. Setiap langkah tumit stiletto-nya menghantam lantai marmer dengan dentuman yang tegas, suara yang cukup untuk menggetarkan dada Ayudia yang sedang dilanda kecemasan. Wajah wanita itu terawat rapi—garis-garis usia memang tampak jelas, namun bukan kelemahan yang tercermin darinya, melainkan justru kekuatan, wibawa, dan otoritas. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah Ayudia dengan dingin, sinis, dan tanpa berusaha menyamarkan rasa tidak suka yang terpancar begitu terang dari dalam dirinya.Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda
Hari Kedua yang Tak Baik-Baik SajaHari kedua seharusnya memberi ruang untuk beradaptasi, atau setidaknya membuat Ayudia sedikit lebih tenang. Namun begitu matanya terbuka pagi itu, yang ia rasakan justru kekosongan yang semakin menyesakkan.Cahaya matahari menyusup masuk dari balik tirai tipis jendela besar di kamar itu, menari lembut di lantai marmer. Tapi sinar pagi yang biasanya membawa harapan, kini tak lebih dari cahaya asing di ruang asing. Ayudia membuka matanya perlahan, menoleh ke sekeliling. Sunyi. Kosong. Hening. Ia sendirian.Tak ada suara langkah kaki di lorong. Tak ada suara napas berat seorang laki-laki di ruangan lain. Ia tahu… Ardhan sudah pergi.Entah sejak jam berapa.Entah ke mana.Dan, entah mengapa, fakta bahwa pria itu pergi tanpa satu pun kabar atau sekadar catatan di meja membuat hatinya terasa makin beku. Tapi Ayudia tidak terkejut. Ia bahkan tidak kecewa. Ini justru sesuai dengan apa yang ia harapkan—sejauh mungkin dari hubungan fisik atau kedekatan emosion
Kediaman ArdhanSehari Setelah PernikahanMobil hitam berkelas dengan desain elegan itu meluncur pelan di jalanan kawasan elit yang sunyi dan terawat sempurna. Sorot lampunya yang tajam menyapu jalanan beraspal mulus yang dibingkai deretan pohon kamboja dan bougenville, memberikan nuansa yang hampir seperti lukisan—indah tapi dingin, jauh dari kehangatan. Di dalam kabin yang senyap itu, hanya terdengar desiran lembut dari AC dan dengungan mesin yang nyaris tak terdengar.Ayudia duduk di bangku belakang, tubuhnya kaku dan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terlipat di atas pangkuan, jemarinya saling menggenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan yang masih ia miliki di dunia baru yang belum sepenuhnya ia pahami. Wajahnya menunduk sedikit, namun sesekali ia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya.Ardhan. Lelaki itu masih dengan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak kemarin sore—sejak mereka meninggalkan kafe tempat perjanjian hidup mereka ditandatangani. Tidak sepa
Kesepakatan hitam di atas putih.Sebuah Kafe, Sore HariKafe itu terletak di sudut kota yang tidak terlalu bising, agak tersembunyi di balik deretan pohon angsana dan bangunan-bangunan bercorak kolonial yang telah direstorasi menjadi tempat usaha. Dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tua yang hangat, dengan jendela-jendela besar berbingkai putih dan pintu kayu yang dicat cokelat gelap. Di terasnya, ada beberapa kursi rotan dan meja bundar, dihiasi tanaman gantung yang menggantung lembut, menari pelan bersama semilir angin senja.Di dalam, suasana terasa jauh berbeda dari dunia luar yang hiruk-pikuk. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning lembut yang menciptakan nuansa hangat dan intim. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara. Beberapa pengunjung duduk diam, larut dalam bacaan atau obrolan pelan. Musik jazz instrumental mengalun sayup dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan eksklusif namun menenangkan.Ayudia duduk di salah satu s