"Tidur denganku?"
Oliver mengerutkan keningnya dengan kepala sedikit miring menatap Alesha yang terdiam seperti anak kecil menanti jawaban."Kalau kau tidak mau juga tidak papa, aku tidak memaksamu. Dengan kau bermalam di rumah, aku sudah senang," ujar Alesha tersenyum.Helaan napas terdengar dari bibir Oliver, dia mengangguk pelan dan melangkah mendekati ranjang dengan sprai merah muda, warna kesukaan Alesha.Oliver melepaskan manset lengan seragamnya, ia melepaskan dengan santai atasannya di depan Alesha."Aku akan tidur di sini," ujar Oliver melangkah masuk ke dalam kamar mandi."Iya, kalau begitu aku siapkan pakaian gantimu sebentar."Alesha melanggang keluar dari dalam kamar. Gadis itu melangkah ke lantai satu menuju kamar Oliver.Di sana, Alesha mengambil satu stelan piyama hitam milik Oliver, namun sesuatu terjatuh saat Alesha menarik pakaian itu dan selembar kertas kecil membuat perhatian Alesha teralihkan."Kertas apa ini?" gumam Alesha meraihnya.Kedua mata gadis itu melebar, melihat foto yang ia pegang."I-ini kan fotoku?! Satu tahun yang lalu, saat aku ikut Ayah upacara," gumam Alesha dengan penuh kebingungan. "Bagaimana bisa Kapten Oliver mempunyai fotoku?"Alesha masih diselimuti rasa bingung, dia meletakkan kembali fotonya di tempat semula dan mungkin nanti Alesha bisa tanyakan langsung pada Oliver tentang foto itu.Sedangkan Oliver, ia kini berada dalam kamar mandi. Laki-laki itu melepaskan pakaiannya dan mengguyur sekujur tubuhnya dengan air dingin.Oliver merasakan sesuatu yang berdesir di hatinya saat melihat Alesha menangis dan tersenyum di saat bersamaan.'Sulit diterima, gadis yang sempat aku cintai, direnggut kesuciannya oleh laki-laki lain. Brengsek...' batin Oliver terasa kesal. 'Alesha Alister... Apa yang harus aku lakukan pada wanita sepertimu!'Telapak tangan Oliver menyunggar rambutnya dan laki-laki itu mendongakkan kepalanya dan membiarkan air dingin memercik di atas wajah tampannya."Apa yang aku pikirkan?!" Oliver membenturkan pelan keningnya di dinding. "Tidak, aku tidak akan mencintai gadis itu lagi... Tidak akan!"Suara ketukan pintu kaca buram membuat Oliver menoleh. Pintu masih tertutup."Oliver, aku letakkan pakaianmu di sini," ujar Alesha berdiri meletakkan pakaian Oliver di ruang ganti.Tidak ada jawaban dari laki-laki itu, Alesha pun segera keluar dan berjalan mendekati ranjang. Dia duduk diam di sana menunggu Oliver.Alesha masih terus kepikiran tentang apa yang baru saja dia temukan di kamar suaminya.'Kalau aku tanyakan sekarang, apakah dia akan marah?' batin Alesha dengan perasaan tak menentu."Ya Tuhan, tolong... Semoga kedepannya nanti, aku bisa lebih bahagia." Alesha mengusap perutnya. "Aku bingung, harus aku apakan anak ini. Aku bahkan kadang tidak suka dengannya."Alesha meringkuk, ia menggigit ujung ibu jarinya dan termenung resah.Iris cokelat mata Alesha bergerak terkejut saat mendapati Oliver yang kini muncul di hadapannya. Laki-laki itu naik ke atas ranjang tepat di samping Alesha."Kapten Oliver...""Oliver," tegas laki-laki itu menyerukan dirinya."Em ada yang ingin aku tanyakan, aku barusan tidak sengaja menemukan sesuatu di kamarmu," ujar Alesha masih di posisi menatap Oliver yang berbaring di sampingnya."Apa lagi yang kau temukan, di dalam kamarku hanya ada barang-barang yang tidak penting!" seru Oliver kini berbaring dan menyilangkan kedua lengannya dijadikan bantal."Aku menemukan fotoku di bawah piyamamu di dalam lemari. Kenapa kau menyimpan fotoku diam-diam?" tanya Alesha pada laki-laki itu dengan perasaan cemas.Oliver tersenyum miring. "Itu bukan urusanmu, kan? Lagipula kau tidak usah besar kepala," jawab Oliver memejamkan kedua matanya."Tapi Oliver, bukankah kalau kita menyimpan sesuatu yang berikatan dengan orang lain itu artinya kita menyukainya?" Alesha kini mendekat, dia meletakkan dagunya di atas kepala boneka rusa miliknya."Tidak denganku, Alesha" jawab Oliver santai. "Aku terpaksa menyimpan barang-barang milik orang yang aku benci! Termasuk fotomu dari Ayahmu si pembohong licik itu!"Alesha terdiam beberapa detik, ia mengangguk dan perlahan bergerak memunggungi Oliver.Perasaan sedih menjalar dalam hati Alesha seketika. Rupanya benar kalau dia memang terlalu percaya diri."Maafkan aku, sudah lancang bertanya." Alesha menarik selimutnya dengan posisi masih memunggungi laki-laki itu. "Selamat malam, Kapten Oliver."Oliver menoleh dan menatap punggung gadis itu. Ia tersenyum kecil sebelum Oliver kembali memejamkan kedua matanya.'Selamat malam, Alesha... Vorgath.'**'Apa yang harus aku lakukan, mualku tidak berhenti-henti. Kalau Oliver bangun dia pasti akan marah.'Pagi ini Alesha mual lagi dan lagi, ia berusaha menahannya namun tidak bisa.Bahkan kadua kakinya terasa sulit untuk berdiri tegap. Alesha diam menyandarkan punggungnya di dinding dan mengunci pintu kamar mandi."Aduhh... Perutku nyeri," keluh Alesha memegangi perutnya dan membungkuk kesakitan."Alesha, kau di dalam?! Kenapa lama sekali?! Buka pintunya!"Suara Oliver mengetuki pintu dengan sedikit menggebrak kasar.'Kan, apa kubilang, gara-gara aku terus mual-mual dia sampai terbangun,' batin Alesha ketakutan."Ah iya, aku di dalam. O-Oliver, aku tidak bisa membuka pintunya. Aku sedang mual," sahut Alesha dari dalam sana."Buka pintunya, kubilang!" teriak Oliver lagi.Laki-laki itu awalnya mengabaikan Alesha yang mual-mual, namun setelah dirasa cukup lama gadis itu di dalam kamar mandi. Jangan sampai Alesha pingsan di sana."Alesha! Bukan pintunya atau aku tendang-"Ucapan Oliver terhenti, pintu itu terbuka dan nampak Alesha menatapnya dengan wajah pucat.Oliver benci dengan wajah itu, pucat dan membuat Alesha sakit. Dia juga benci dengan bayi sialan di perut Alesha."Aku tidak papa," ucap Alesha.Gadis itu membungkukkan badannya dan meremas perutnya."Ck! gadis bodoh," sinis Oliver mendekatinya.Tanpa banyak cakap, laki-laki itu mendekat dan mengangkat tubuh Alesha. Dalam dekapan Oliver, gadis itu diam dan berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.Baru saja mereka keluar satu langkah, perut Alesha sudah kembali bergejolak. Ia hendak jatuh dalam gendongan Oliver sebelum akhirnya Alesha memuntahkan cairan bening di piyama yang Oliver pakai."Aahhh... Maaf," lirih Alesha membekam mulutnya.Oliver hanya berdecak, dia menurunkan Alesha dari gendongannya di atas sofa kamar.Gadis itu meringkuk kesakitan, wajahnya basah berkeringat, dan tubuhnya menggigil. Bajunya pun sampai basah karena berkali-kali Alesha membasuh wajahnya dengan air."Tubuhku lemas, dingin sekali, perutku nyeri dan sakit... Oliver, tolong peluk aku," pinta Alesha dengan nada lirih dia bergetar kedinginan.Oliver merangkul pundaknya hingga gadis itu duduk di atas pangkuannya. Perasaan berlawanan menyerang Oliver, tapi tidak bisa. Dia akan tetap kalah, tidak mungkin dia akan meninggalkan gadis ini dalam keadaan lemah tak berdaya."Alesha, kau bisa mendengarkanku? Alesha buka matamu... Alesha!" Oliver menepuk pipi Alesha dengan lembut.Alesha tiba-tiba sangat lemas. Harusnya jika Oliver membencinya, dia tidak akan secemas ini."Astaga, dia pingsan," desis Oliver lagi.Dengan cepat laki-laki itu menyahut mantel dan kunci mobilnya, ia menyelimutkan mantel tebalnya pada tubuh Alesha.Langkah lebarnya mengantarkan Oliver menuruni anak tangga, dia melirik wajah pucat Alesha dalam dekapannya."Sungguh sangat menyebalkan! Kau selalu merepotkan... Istriku."Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak