Share

Meminta Perhatianmu

"Kasihan Nyonya, setiap malam tidak pernah ditemani oleh Tuan."

"Kalau aku menjadi Nyonya, aku akan pulang. Di sini juga tidak dihargai, kan?!"

Langkah kaki Oliver terhenti begitu mendengar gunjingan keras dari dua wanita tukang kebun di rumahnya yang tidak sadar dengan keberadaan Oliver yang berdiri hendak masuk ke dalam rumah.

Seperti biasa, dia selalu pulang beberapa hari sekali dan memang tidak pernah ada waktu untuk Alesha, apalagi setelah terjadi keributan dengan Alesha dua hari yang lalu.

"Oliver," sapa Alesha, wanita itu berdiri menyambutnya, seperti tak ada masalah apapun.

Alesha memberikan senyuman sembari menyambut kepulangannya, dia sungguh berharap Oliver tak lagi marah-marah lagi.

Begitu pula dengan Alesha yang berusaha melupakan kemarahan Oliver kemarin dan kembali menjalani perannya sebagai seorang istri.

"Kau pasti lelah ya, aku sudah siapkan sa-"

"Ayo masuk," ajak Oliver, dia menyela ucapan istrinya.

Alesha terpaku saat telapak tangan Oliver melingkar di pinggangnya. Oliver tak ingin lebih lama lagi mendengar ocehan Alesha dan gunjingan orang lain.

Mereka berjalan masuk ke dalam rumah, Alesha berdiri di sampingnya dengan wajah berseri-seri menyambut kedatangan Oliver.

"Aku sudah membuatkan sarapan kesukaanmu, mari sarapan bersama," ajak Alesha, tatapannya penuh harap.

"Aku sudah kenyang," jawab laki-laki itu tak peduli.

Senyuman di bibir Alesha pun pudar perlahan.

"Kau masih marah kepadaku?"

"Apa kau tidak bisa diam?! Aku lelah, jangan berisik!" serunya dengan nada sarkastik.

Alesha tertunduk, langkahnya mundur begitu Oliver berlalu lewat di hadapannya begitu saja. Alesha sama sekali tidak dihargai, sedikitpun.

Sementara Oliver berjalan masuk ke dalam ruangan kerjanya. Hanya satu tempat itu yang paling nyaman di dalam rumahnya setelah Alesha datang.

Oliver menyalakan cerutunya dan duduk bersandar. Jadwal-jadwalnya akan padat, acara-acara penting dengan beberapa rekannya, juga jadwal tugas hingga ke luar kota. Dia akan ditugaskan menjaga wilayah perairan utara, itulah perintah jelas dari Laksamana Fredrick, Ayah Alesha.

"Permisi Tuan," sapa Bibi Ruitz, wanita itu adalah pembantu yang lama menjadi bawahan keluarga Vorgath.

"Ada perlu apa?" Oliver menjawabnya dingin.

Wanita setengah baya itupun melangkah masuk. Dia memperhatikan sikap Oliver yang bertambah dingin dan tidak peduli.

"Apa Tuan membiarkan Nyonya sarapan sendirian?" tanya Bibi Ruitz dengan berani.

"Aku tidak lapar, pergilah!" usir Oliver. "Aku tidak peduli dengannya!"

"Tuan, kali ini saja... Tolong berikan sedikit saja perhatian pada Nyonya. Sedikit saja." Bibi Ruitz sampai menundukkan kepalanya.

Oliver menatap wanita yang merawatnya sejak kecil itu dengan tatapan tak percaya, dia bahkan sampai menundukkan kepalanya meminta pada Oliver, hanya demi Alesha.

"Kau bersekutu dengannya, heh?" Oliver tersenyum miring.

Oliver segera mematikan cerutunya. Laki-laki itu beranjak keluar dari dalam ruangan kerjanya seketika.

"Kali ini saja, Bibi Ruitz. Lain waktu jangan bersikeras membuatku peduli dengannya!" seru Oliver berjalan menjauh.

Di ruang makan, terlihat Alesha yang sedang menatapi makanan hasil jerih payahnya dengan sangat sedih.

Alesha selama ini hidup dalam berkelimpahan sebagai anak yang manja, putri keluarga terpandang. Tapi kini kehidupannya menjadi terbalik, dia harus diperlakukan dengan begitu rendah oleh suaminya sendiri.

"Sebanyak ini makanannya, kerja kerasku sia-sia," gumam Alesha lirih dan kecewa.

Namun tiba-tiba manik mata cokelat Alesha terangkat. Dia tak percaya melihat suaminya berada di seberang meja makan, menarik kursi dan duduk membuka piring di hadapannya.

"Oliver, ka-kau mau sarapan denganku?!" pekik Alesha tersenyum senang.

"Cepat, sebelum aku berubah pikiran."

"Ya, baiklah! Tunggu sebentar!"

Alesha langsung mengambilkan nasi untuknya. Dia benar-benar cekatan dan berusaha untuk tidak membuat kekacauan.

Mereka berdua untuk pertama kalinya makan bersama dalam satu meja makan.

"Aku yang memasak semuanya, semoga kau menyukainya," ujar Alesha berbinar.

Tidak ada reaksi apapun dari suaminya, Oliver pun menikmati makanan itu tanpa protes dan komplain.

Perhatikan Oliver tertuju pada piring Alesha yang kosong, hanya ada sedikit olahan kentang. Paham arti tatapan Oliver, Alesha langsung tertunduk.

"I-itu, aku... Aku takut perutku bergejolak dan mual kalau aku makan," ujar wanita itu tiba-tiba.

Oliver mengembuskan napasnya pelan. "Oh, baguslah!"

Bibir Alesha cemberut dengan jawaban Oliver, tapi perasaannya sedikit senang. Setidaknya usahanya sejak subuh tadi tidak sia-sia.

Dia akan terus berusaha untuk menjadi istri yang baik, Alesha akan memperlakukan Oliver seperti dia memperlakukan mendiang suaminya, meskipun Oliver tidak mencintainya.

**

Sore ini Alesha merasa menyesal setelah memakan sebuah sup daging buatan sang pembantu. Pasalnya dia langsung mual-mual tak berhenti hingga beberapa menit lamanya.

Alesha meremas perutnya. "Ya Tuhan, kenapa sampai begini?"

Wanita itu menyeka air matanya, kakinya terasa lemas tak bertenaga untuk berdiri.

"Bibi," panggil Alesha sedikit mengeraskan suaranya. "Bi, aku minta tolong..!"

Beberapa detik Alesha berhenti berteriak sampai terdengar suara langkah kaki dan Oliver muncul di hadapan Alesha.

Dengan kedua alis bertaut, Oliver menatap Alesha yang duduk di lantai kamar mandi. Wanita itu mengganggu kerjanya karena teriakan Alesha yang gaduh.

"Oliver, tolong," pinta Alesha mengulurkan kedua tangannya.

Bibir Alesha memucat, wajahnya basah dan napasnya terengah-engah. Dia setia menunggu dengan tangan terulur meminta bantuannya.

"Tolong, tubuhku dingin," ulang Alesha tak berbohong.

Bibir tipisnya bergetar. Alesha sungguh tidak kuat untuk sekedar berdiri dan berjalan keluar menuju ke kamar.

Oliver pun segera melangkah masuk, dia mendekati Alesha dan menatap wajah pucat berkeringat itu. Entah dorongan dari mana, ia mengusap wajah putih wanita itu dengan ibu jarinya.

"Anakmu itu sama merepotkannya sepertimu!" desis Oliver.

Namun tak seperti umpatannya yang kesal, dia langsung mengangkat tubuh Alesha dan menggendongnya, membawa Alesha menuju kamar tamu di lantai satu.

Dia membaringkan Alesha di atas ranjang dengan perlahan-lahan. Wajah Alesha yang pucat dan berkeringat, napasnya juga terengah membuat Oliver merasakan sesuatu yang janggal di hatinya.

"Ya Tuhan, kepalaku pusing sekali," keluh Alesha.

"Diamlah sampai Bibi kembali." Oliver menyentuh kening Alesha, dia sungguh menyentuhnya.

"Tolong, selimuti aku, Oliver," pinta Alesha menatap laki-laki yang kini berdiri cukup berjarak darinya.

Tangan Oliver hendak meraih selimut, namun urung saat pembantunya datang.

Laki-laki itu langsung berjalan pergi begitu saja tanpa mengabulkan permintaan Alesha.

"Hubungi Dokter Ruby," bisik Oliver pada sang pembantu.

Wanita setengah baya itu mengangguk.

Alesha menatap nanar punggung Oliver yang menjauh.

"Oliver," lirih Alesha miris.

Akhirnya Bibi lah yang menyelimuti tubuh Alesha, padahal tadi dia meminta tolong pada sang suami. Rupanya Alesha terlalu banyak berharap.

Alesha menatap nanar langit-langit kamarnya, jemarinya meremas selimut.

"Bibi, apa menurut Bibi suamiku bisa berubah?" tanya Alesha begitu menyedihkan.

"Nyonya..."

"Apa karena aku hamil anak yang bukan darah dagingnya membuat Oliver semakin membenciku?" Alesha meneteskan air matanya.

Tangis Alesha memecah keheningan di dalam kamar itu. Selama ini dia hidup dipeluk oleh banyak kasih sayang, tapi kini Alesha harus meminta, memohon, untuk diperhatikan oleh satu orang saja.

Sementara di depan pintu kamar, Oliver masih berdiri di sana mendengar Alesha menangis hanya karena menginginkan perhatiannya, sungguh wanita yang malang.

"Alesha Alister, seberapa jauh kau akan berjuang, siapa yang akan kalah. Aku yang kau taklukkan, atau kau yang akan pergi!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status