'Aku tidak akan menerima lamaranmu untuk putriku. Kalau kau sudah kaya raya, aku bisa mempertimbangkanmu!'
Oliver terdiam merenung teringat akan kata-kata Laksamana Fredrick, Ayah Alesha satu tahun yang lalu. Tepat saat Oliver pertama kali melihat Alesha dan jatuh hati padanya.Laki-laki itu tersenyum miring dan miris. Lamarannya ditolak oleh Fredrick Alister, tapi kini seperti karma yang berputar balik."Lihatlah sekarang, putrinya bahkan tertidur di atas ranjangku dan mengemis meminta aku mengasihinya." Oliver berucap dingin.Ekor mata birunya melirik Alesha yang tertidur di atas ranjang kamarnya. Wanita itu terlihat sangat lemah, karena dia hamil muda dan tubuhnya yang tak terlalu sehat.Oliver mengulurkan tangannya hendak menyentuh pipi Alesha, namun gerakkannya terhenti di udara."Kau kah itu? Oliver," lirih Alesha dengan mata sedikit terbuka.Dia terbangun saat merasa ada yang mengawasinya."Tidurlah," ucap Oliver singkat dan memerintah."Apa kau sejak tadi menemaniku?" tanya Alesha tersenyum tipis."Tidak, aku sangat sibuk. Istirahatlah, Alesha."Alesha mengulurkan tangannya dan meraih lengan laki-laki itu. Kepalanya mendongak menatap mata Oliver yang terpancar."Tidak bisakah malam ini kau bermalam di rumah? Malam ini saja. Tolong temani aku," pinta Alesha menggenggam tangan Oliver.Permohonan Alesha saat ini tidak sia-sia. Oliver langsung duduk di sampingnya, membiarkan telapak tangannya digenggam oleh Alesha.Wanita itu kini duduk bersandar dan menatapi wajah Oliver dari samping, dia sosok yang tampan, meskipun tak terlalu baik."Kekasihmu tidak marah kan, malam ini kau menemaniku?" tanya Alesha melepaskan tangan Oliver."Dia bukan wanita manja sepertimu!" jawaban yang menohok.Alesha tersenyum tipis di bibir pucatnya. "Aku berharap, setelah ini aku tidak akan manja lagi. Karena aku akan menjadi seorang Ibu."Telapak tangan Alesha mengusap perut ratanya. Dia memperhatikan wajah Oliver yang datar, Alesha seperti salah bicara."Maaf kalau kami menjadi bebanmu," imbuh Alesha lagi.Oliver tersenyum smirk dan memiringkan kepalanya menatap wajah Alesha. Kedua alis Oliver terangkat dengan tatapan mengejek.Ironi sekali merasa bersyukur dirinya akan menjadi seorang Ayah. Anak itu memang tidak berdosa, tapi Oliver tidak menyukainya sama sekali."Kau dan anakmu adalah beban terberatku, Alesha!" ucap Oliver tajam.Dia beranjak bangkit, mata Alesha hanya bergerak mengikuti ke mana Oliver melangkah. Memutari ranjang dan berdiri di depan jendela kamar.Angin malam yang berhembus dari laut membuat rambut pirang Oliver bergerak lembut. Alesha mulai merasa kesedihan menyesakkan dengan kata-kata Oliver."Bagaimana kalau anak ini lahir nanti, aku tahu kau pasti tidak akan mau dipanggil Ayah olehnya." Alesha menundukkan kepalanya sedih."Karena dia bukan anakku!" sahut Oliver sedikit melirik Alesha.Jemari Alesha saling bertaut. "A-apa kau akan mengusir kami? A-atau... Kau mengakhiri pernikahan ini?"Oliver mengepalkan kedua tangannya. "Entahlah, mungkin keduanya. Aku berharap tidak pernah lagi melihatmu."Anggukan diberikan oleh Alesha, wanita itu memeluk bantal dan menyembunyikan wajahnya di sana.Alesha malu terus menangis di hadapan laki-laki itu. Tapi setiap kali Oliver mengucapkan kata-kata, semuanya menyakitkan hati Alesha.'Terbuat dari apa hati laki-laki ini, Ya Tuhan... Kenapa? Kenapa aku tidak bisa menjangkaunya? Sampai kapan ini terjadi?'**Pakaian perwira angkatan laut berwarna putih bersih, lengkap dengan lencana, seorang Kapten Olivier Vorgath begitu gagah dengan seragamnya.Laki-laki itu memakai sarung tangannya dan berdiri di depan kaca menelisik penampilannya. Alesha yang mengintipnya dengan perasaan was-was."Oliver, apa aku boleh membantumu merapikan pakaianmu?" tawar Alesha berdiri di depan pintu menatapnya penuh harap.Oliver berdehem pelan, dia menatap wajah wanita itu dan mengulurkan dua tangannya.Alesha segera mendekat, dia tersenyum seperti anak kecil diberi hadiah.Sebenci apapun Oliver dengan wanita ini, dia pernah diam-diam menyukainya meskipun tak terbalaskan dengan perasaan yang sama."Aku senang kalau kau sering memberikan aku tugas seperti ini. Aku merasa tidak bosan," ujar Alesha mengancingkan manset pada lengan seragam Oliver."Karena aku kasihan melihatmu begitu berharap," jawab Oliver malas.Alesha terdiam sesaat, namun ia menepis jauh-jauh pikiran buruknya dan kembali menatap wajah segar Oliver."Apa kau nanti akan pulang? Atau kau akan pergi ke suatu tempat?""mungkin tidak, aku ingin menikmati ketenangan di rumahku," jawabnya singkat.Alesha mengangguk dan menyelesaikan tugasnya, wanita itu tetap berdiri di hadapan Oliver tidak kunjung menyingkir.Dia ingin menyampaikan sesuatu pada Oliver, namun Alesha takut suaminya akan marah."Apa lagi yang kau inginkan sekarang?" tanya Oliver menatap Alesha."Emm, apa aku boleh ikut denganmu. Aku ingin bertemu dengan Ayahku," pinta Alesha, dia berjinjit dan menatapnya memohon.Oliver meraih topinya, dia menggeleng. "Lain waktu aku akan mengantarkanmu pulang."Air muka Alesha menjadi muram, seperti yang Oliver katakan kalau Alesha hanyalah gadis manja. Apapun keinginannya, apabila tidak dituruti, tentu saja dia akan cemberut seperti bocah.Laki-laki itu menyergah napasnya berat."Cepat bersiap kalau kau ingin ikut denganku, Alesha!" sentaknya tiba-tiba.Tubuh Alesha terjingkat. Wanita itu mengangguk antusias mendengarnya."I-iya! Aku akan bersiap sebentar, tunggu sebentar ya, suamiku...!"Alesha berjalan cepat menuju kamarnya, meskipun dia sudah pergi, namun sesuatu tertinggal di pendengaran Oliver.Sudut bibir Oliver terangkat lembut. "Suamiku?" ulang Oliver, terdengar konyol di telinganya.Setelah beberapa menit Alesha bersiap, mereka berdua pun pergi bersama.Alesha sungguh tidak sabar ingin bertemu dengan Ayahnya. Dia ingin memberi kabar kehamilannya pada kedua orang tuanya.Sepanjang perjalanan, Alesha tidak mengucapkan apapun. Dia takut salah, takut dimarahi oleh Oliver. Namun tiba-tiba mobil Oliver terhenti di depan sebuah toko bunga.Alesha mengerjapkan kedua matanya saat sang suami turun."Dia membelikan aku bunga?"Di sana, Alesha melihat Oliver memilih bunga mawar merah. Meskipun Alesha tidak menyukai mawar, tapi kalau Oliver yang membelikannya, apapun jenis bunganya maka dia akan tetap sangat-sangat menghargainya dengan senang hati."Kenapa lama sekali, bukankah bunganya sudah dibungkus dengan cantik? Dia tinggal memberikannya padaku saja, kan?" gumam Alesha menatapnya terus menerus di balik jendela pintu mobil.Sampai akhirnya Alesha memperhatikan Oliver yang kini tengah menghubungi seseorang dengan membawa buquet mawar merah yang berada dalam pelukannya.Perasaan Alesha mulai tidak nyaman, sekali lagi Alesha terlalu percaya diri. Entah akal dari mana dia memilih turun dari mobil."Kenapa masih berdiri di sini? Apa ada bunga yang kau pesan lagi?" tanya Alesha.Oliver mengabaikan pertanyaan Alesha, sampai tiba-tiba dia tersenyum lebar pada seseorang."Oliver, Sayang..."Suara seorang wanita menyapa pendengaran Alesha bagai petir yang menyambar dengan keras.Wanita itu berada di belakang Alesha hingga perlahan membuatnya membalikkan badan. Oliver pun mendekati wanita dengan mini dress hitam yang merentangkan kedua tangannya, dia memberikan buquet mawar merah yang dia beli pada wanita itu.Leher Alesha seperti tercekik kuat, dia menekan kuat sakit hatinya melihat wanita itu memeluk Oliver dengan bebas, sampai tatapannya tertuju pada Alesha."Sayang, dia yang kau ceritakan? Putri atasanmu?" tanya wanita itu pada Oliver.Oliver mengangguk dan mengajaknya wanita itu mendekati Alesha yang berdiri membatu di tempatnya dengan tatapan tak percaya."Alesha, perkenalkan... Ini Susan, kekasihku."Sepanjang perjalanan menuju kota, Alesha menundukkan kepalanya tanpa ada air mata yang menetes sedikitpun. Dia menekan dirinya untuk tidak menangis. Alesha juga tidak mengatakan sepatah kata pada Oliver hingga mereka sampai di tempat tujuan. "Ayo turun," ajak Oliver turun lebih dulu. Wanita itu mengangguk patuh. Alesha melihat gedung markas yang megah dengan beberapa patung di depannya dan bendera angkatan laut yang berkibar. Oliver mengulurkan tangannya pada Alesha. Ditatapnya dingin telapak tangan Oliver, air matanya ingin menetes tiba-tiba. "Ck! Kau ingin aku tinggal di sini?!" Oliver memperhatikan Alesha. "Tahu begini aku tak akan ikut," ucap Alesha dengan penuh kekecewaan.Sudut bibir Oliver terangkat, dia melirik Alesha yang menggenggam tangannya. "Bukankah kau sendiri yang bilang tak masalah bagiku melanjutkan hubungan dengan Susan?"Alesha kembali menyeka air matanya. Di depan gedung markas, dia bisa melihat sang Ayah yang tengah berdiri di sana menatapnya. Saat mendek
"Istri yang baik untuk Oliver, dia ingin tahu sejauh mana aku bertahan." Alesha tersenyum tipis mengucapkannya. Gadis itu tak kunjung bisa tidur, Alesha terus kepikiran dengan kata-kata Oliver yang membuatnya tak tenang. "Aku harus mulai dari mana? Dia membenciku," lirih Alesha lagi, dia menggigit jemarinya cemas. Kembali Alesha terbangun, dia berjalan keluar dari dalam kamar. Langkahnya mengantarkan Alesha ke lantai satu, ia melihat Oliver yang berbaring di sofa seorang diri. Alesha terdiam menatapnya, dia berjalan tanpa suara mendekat dan sedikit membungkukkan badannya ingin menyentuh kening Oliver. 'Aku pikir dia akan tidur di tempat kekasihnya, tapi mungkin malam ini Oliver akan tidur di rumah.' Senyuman Alesha mengambang, wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar di lantai satu. Dengan sengaja Oliver kembali membuka mata dan menatap punggung gadis itu, dia berpikir apakah yang akan Alesha lakukan. Sampai akhirnya Alesha kembali, dan Oliver kembali menutup mata. Ternyata g
"Malam ini musim dingin pertama tahun ini, aku ingin membelikan hadiah untuk istriku. Bagaimana denganmu, Kapten Oliver?" Seruan itu terucap dari bibir rekan Oliver, dia adalah Laverd. Yang kini berjalan berjajar di samping Oliver begitu mereka keluar dari dalam markas. "Heem, salju bahkan sudah turun." Oliver menengadahkan satu tangannya. "Dan kau ingin membelikan Nona Alesha hadiah apa?" tanya sang sahabat. "Kalian pengantin baru, kan? harus serba romantis." Wajah Oliver menjadi datar, dia mengingat wanita yang kini menjadi istrinya itu sedang hamil anak laki-laki lain. Namun mengetahui kalau Alesha hanyalah seorang korban, Oliver merasa sedikit kasihan pada Alesha. "Hoi... Kenapa kau malah diam, Kapten," seru laki-laki di sampingnya itu. Oliver menatapnya dan berjalan menuju mobil berwarna hitam miliknya. "Entahlah, aku tidak memikirkan itu." "Bagaimana bisa? Kau tidak mencintainya?!" seru Laverd dengan nada bersungut. "Tentu saja aku mencintainya, dia milikku, dia wanita
"Tidur denganku?" Oliver mengerutkan keningnya dengan kepala sedikit miring menatap Alesha yang terdiam seperti anak kecil menanti jawaban. "Kalau kau tidak mau juga tidak papa, aku tidak memaksamu. Dengan kau bermalam di rumah, aku sudah senang," ujar Alesha tersenyum. Helaan napas terdengar dari bibir Oliver, dia mengangguk pelan dan melangkah mendekati ranjang dengan sprai merah muda, warna kesukaan Alesha. Oliver melepaskan manset lengan seragamnya, ia melepaskan dengan santai atasannya di depan Alesha. "Aku akan tidur di sini," ujar Oliver melangkah masuk ke dalam kamar mandi."Iya, kalau begitu aku siapkan pakaian gantimu sebentar." Alesha melanggang keluar dari dalam kamar. Gadis itu melangkah ke lantai satu menuju kamar Oliver. Di sana, Alesha mengambil satu stelan piyama hitam milik Oliver, namun sesuatu terjatuh saat Alesha menarik pakaian itu dan selembar kertas kecil membuat perhatian Alesha teralihkan. "Kertas apa ini?" gumam Alesha meraihnya. Kedua mata gadis it
"Nyonya Alesha butuh banyak istirahat, kondisi kehamilannya sangat lemah, Tuan." Seorang dokter menjelaskan kondisi keadaan Alesha pada Oliver. Sedangkan gadis itu masih terbaring lemah di atas ranjang. Oliver menganggukkan kepalanya, dokter pun segera berpamitan pergi setelah memeriksanya. "Oliver, apa aku sudah boleh pulang?" tanya Alesha saat Oliver mendekat. "Kondisimu masih lemah, jangan bersikeras meminta pulang. Diam di sini dan berisitirahat," ujar Oliver, dia menarik kursi dan duduk di samping sang istri. Alesha menatap seisi ruangan itu, ia mengusap-usap perutnya."Terima kasih ya, sudah mengantarkanku ke sini," ucap Alesha tersenyum tipis. "Aku hanya peduli padamu, bukan anak itu!" jawab Oliver. Tatapan iris birunya membuat nyali Alesha menciut. Oliver duduk bersandar dan bersedekap memperhatikan wajah Alesha dengan tatapan yang sulit diartikan. Keheningan terjadi di antara mereka untuk beberapa saat. Oliver tetap memperhatikan wajah Alesha, menelisik dalam-dalam hi
"Kau yakin hanya ingin membeli bunga mawar saja?" Oliver menatap Alesha yang berdiri di sampingnya memeluk buquet bunga di dalam pelukannya. Gadis itu mengangguk antusias. "Iya, aku ingin ini saja. Sudah lebih dari cukup, Oliver. Ada lagi yang ingin aku minta. Tapi tidak sekarang!" "Ck! Kenapa kau malah banyak maunya?!" sinis Oliver kesal.Laki-laki itu berjalan merangkul pundak Alesha saat seseorang hampir menyenggol tubuh Alesha saat mereka berjalan kaki dan bersalipan dengan seseorang. "Karena aku mau. Kau membelikan Susan bunga, jadi aku ingin bunga juga," jawab Alesha menatap bunga mawar merah di pelukannya. Oliver melirik Alesha yang begitu senang. Dia seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah mainan baru. "Lalu, setelah kemarin aku membelikan hadiah mantel untuk Susan, kau menginginkannya juga? Apa kau lupa kalau Susan siapaku?!" Oliver kembali bersedekap berjalan berjajar dengan istrinya.Alesha menggelengkan kepalanya, sampai tiba-tiba langkah Oliver terhenti
Cukup larut Oliver pulang malam ini, namun tidak biasanya ia masuk ke dalam rumah tidak ada sambutan apapun dari Alesha. Kening Oliver mengerut saat rumahnya terasa amat sangat sepi. "Di mana dia?" gumam Oliver bertanya-tanya. "Tidak biasanya dia tidak menungguku." Oliver melepaskan seragam berwarna navy dengan kancing emasnya. Dia juga meletakkan topi perwiranya di atas meja. "Tuan..." Suara Bibi Ruitz membuat Oliver menoleh ke belakang. Laki-laki itu mengerjapkan kedua matanya. Dia paham akan tatapan Bibi Ruitz saat ini padanya. "Ada apa? Di mana Alesha?" tanya Oliver, perasaannya meminta dia bertanya di mana istrinya kini. "Nyonya... Nyonya Alesha ada di kamarnya." Bibi Ruitz terlihat begitu sedih. "Kenapa? Apa dia sakit?" Wajah Oliver menjadi kaku, iris birunya menajam seketika. "Laksamana Fredrick siang tadi ke sini, maaf kalau saya lancang mendengarkan semuanya. Tapi... Nyonya sedang tidak baik-baik saja. Laksamana Fredrick meminta Nyonya Alesha untuk menggugu-"Ucapan B
"Pemeriksaan kandunganku tiap bulannya membutuhkan biaya, dan aku tidak mau merepotkan Oliver." Alesha menggigit ujung ibu jarinya dan mondar-mandir di teras sejak tadi. Wajahnya serius dan tengah berpikir keras. Sedangkan Bibi Ruitz yang memperhatikannya, wanita itu kebingungan dengan tingkah Alesha seperti anak kecil. "Nyonya, ada apa? Kenapa Nyonya Alesha terlihat resah sekali?" tanya Bibi mendekati Alesha."Iya Bi. Aku stress sekali hari ini..." Alesha menepuk keningnya. "Apa semalam tidur dalam pelukan Tuan masih membuat Nyonya Alesha stress?" Mendengar lelucon yang terucap oleh sang pembantu, wajah Alesha langsung memerah. Dia menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak! Tidak begitu!""Lalu, apa yang sebenarnya sekarang Nyonya pikirkan? Nyonya bisa bercerita pada saya." Alesha berdiri menatap taman di pekarangan rumah Oliver. "Bi, aku butuh banyak uang untuk pemeriksaan kandunganku sampai sembilan bulan nanti. Aku tidak mau merepotkan Oliver, apalagi sampai meminta uang pa