Aku kembali ke Farid dan anak-anak, mereka sedang mengantre di kasir membayar belanjaan. “Hai,” sapaku sumringah. Tak sungkan aku memeluk suamiku dari belakang, kemesraan kami terlihat seperti berlebihan karena beberapa orang melihat langsung ke arah kami,tapi ya sudah, aku biarkan. Aku hanya ingin memeluk Farid saat itu juga, menyalurkan perasaan seolah berkata ‘Lupakan masa lalumu dengan siska dan apapun kesalahan yang kalian perbuat. Tinggalkan dia, Farid’, andai bisa aku ucapkan secara langsung, ia pasti akan paham jika aku ikhlas menerima masa lalunya. Kami pulang sudah larut malam, Farid mengajak kami jalan-jalan juga, keliling Jakarta yang membuat anak-anak begitu semakin senang. Lampu-lampu gedung bertingkat, Monas yang menyala terang, membuat aku ikut menebar senyuman yang membuat Farid juga tampak lepas tertawa bersamaku saat kami berbincang tentang Nazwa yang tumbuh semakin cantik. Sempat juga kami membeli es krim legendaris yang ada tak jauh dari masjid istiqlal. Tangank
Selesai membersihkan area masjid, aku dan Farid pulang kembali ke rumah dengan berjalan kaki. Wajahnya masih tampak menunjukkan tak suka dengan Ilham, apalagi setelah kalimat yang diucapkan tadi. “Kamu kenapa?” tanyaku pura-pura tak tau. “Tidak apa-apa, Nis.” Walaupun menjawab, tapi aku tau ia tak baik-baik saja. Kami bertemu ustadzah Tyas dan Ilham yang baru tiba di depan rumahnya. Ustadzah menyapa kami, aku tersenyum sedangkan Farid kulihat ia hanya mengangguk sekali lalu memalingkan wajah. “Farid terima kasih, ya, sudah hadir dan menjadi donatur juga,” tutur ustadzah. “Sama-sama Ustadzah,” jawab Farid lalu merangkul pundakku. Aku menunduk, menjaga pandanganku–tentu saja. Saat berganti baju, Farid mendesah lelah dengan pandangan ke arahku yang mengartikan lain. Aku tau hatinya tak tenang. “Aku rasa Ilham suka sama kamu, Nis,” sungutnya. Tatapan mata suamiku terlihat yakin dengan ucapannya. Aku tersenyum tipis. “Aku serius,” lanjutnya. “Jangan menuduh, tidak ada bukti, k
Begitu sakit hatinya aku, menjadikan rasa yang selama ini aku miliki ke Farid menjadi gamang, bahkan aku harus meraba-raba apakah ia setulus aku atau ia hanya mencari keuntungan dariku karena sudah memberikannya anak? Suamiku pulang, dengan tergesa masuk ke dalam rumah. Ia melihatku sedang merapikan beberapa pakaian milikku dan anak-anak yang kumasukan ke dalam satu tas koper besar. “Nisa, kita bicara dahulu!” bentaknya. “Tidak perlu. Aku sudah bilang ke Mama dan Papa akan menggugat kamu!” Suara teriakanku membuat anak-anak keluar kamar, mereka melirik dingin ke papanya lalu membantuku memasukan baju ke dalam koper. “Kamu mau kemana! Kenapa bawa anak-anak!” Marah, itu yang terlihat dari Farid. Anak-anak keluar dari kamarku, mereka membawa bantal dari dalam kamar mereka ke mobil di garasi. “Nisa, jawab!” bentak Farid kencang. Aku yakin tetangga depan rumah bahkan kanan dan kiri pasti mendengar. Aku hanya bisa menatapnya dengan amarah tertahan, dengan cepat menyeret koper, tas ransel
Tidak ada yang bisa atau mampu mengubah bahkan melawan takdir. Tanpa perasaan ragu sedikitpun, kini nasib rumah tanggaku tiba dititik dengan akhir yang tidak pernah kami harapkan sebelumnya. Farid pasrah dengan ketegasanku, ia duduk dengan memakai kemeja putih celana bahan hitam, sedangkan aku gamis dan hijab warna hitam. Di belakangku, duduk Kak Jannah dan suaminya, juga kedua mertuaku. Sedangkan Farid, ia hanya seorang diri. Bahkan orang tua kandungnya marah dengan sikap anaknya. Ketukan palu hakim mengakhiri janji suci pernikahan kami selama belasan tahun. Tidak ada air mata dariku. Saat kami beranjak untuk meninggalkan ruang sidang dan berpapasan, aku hanya menatap dengan raut wajah datar. “Nisa,” panggilnya lembut. Aku menoleh lagi, mau tak mau beradu tatap dengannya. “Maaf,” ucapnya. Aku mengangguk lalu berjalan keluar dari dalam ruang sidang. Mama dan papa memelukku erat setelah kami berkumpul di parkiran mobil. “Nisa boleh ya, sering main ke rumah Mama Papa,” kataku sedih.
"Ada apa dengan Ilham, Ust?" Rasa penasaranku muncul. Ustadzah Tyas terlihat panik, setelah aku cecar akhirnya ia bilang jika sebenarnya tidak ingin menyampaikan ke Farid kalau aku hamil. Namun, saking kesalnya melihat lelaki itu tadi, ustadzah Tyas langsung membeberkan."Maafkan aku, Nis. Seharusnya Ilham yang bilang langsung, tapi kami ... maksudku aku, suamiku dan Umminya Ilham, kami tau kondisimu dan membahas bersama."Duh, ustadzah maksudnya apa? Jangan bikin aku bingung. Keningku berkerut, berpikir keras."Menikahlah dengan Ilham setelah masaidahmu selesai, Nis. Tidak baik kamu hamil tanpa suami. Ilham yang meminta itu kepada kami. Umminya Ilham datang dari kampung dan setuju. Kami tidak melihat siapa kamu atau masa lalumu dengan Farid, tetapi kami tau jika kondisimu bisa menimbulkan banyak fitnah."Astaghfirullah! Aku membekap mulutku dengan tangan. Mengapa jadi begini? Aku sanggup menjalani kehamilanku sendiri, ada anak-anak yang menemani, Farid juga masih bertanggung jawab s
Sungguh aku terkejut dengan pesan singkat yang Ilham kirim. Tanganku masih memegang ponsel yang layarnya menyala menunjukkan isi pesannya.Kupijit pelipisku, rasanya pening. Ilham, jika ia memang menaruh rasa kepadaku, ia pasti melihat perceraianku sebagai jawaban keinginannya.Aku memutuskan tidak membalas, mengabaikan kemudian memilih tidur.Keesokan paginya saat aku selesai mengantar anak-anak sekolah. Seorang wanita dengan memakai gamis warna hijau tua dan hijab senada berdiri di garasi rumahku.Segera setelah memarkirkan mobil, aku turun dengan menatap bingung ke arahnya."Assalamualaikum, Nisa," sapanya lembut."Waalaikumsalam, maaf dengan siapa, ya?" balasku lembut. "Saya Khadijah, Umminya Ilham."Deg!Seketika aku terkejut, jantungku bahkan cepat memompa darah."Oh, iya, Ummi, saya Nisa," kataku lagi seraya menyalim tangan lalu bercipika cipiki. "Mari masuk, Ummi," ajakku. Ummi mengangguk sekali lalu berjalan ke dalam rumah. Kami duduk di ruang tamu, teh hangat kubuatkan untu
"Ya Allah! Farid, berhenti!" Aku berteriak kencang, langsung menjauhkan dirinya dari Ilham. Kedua mata Farid memerah, napasnya tersengal berat. Ilham merapikan pakaiannya, tas belanja ditangan jatuh ke lantai garasi."Apa maksud anda?!" geram Ilham.Tetangga berdatangan, mengerubungi kami. Farid dipegangi suami tetanggaku sedangkan aku dirangkul para istri."Nisa ada apa ini?" tanya lembut salah satunya.Dengan berat hati terpaksa aku berkata yang tak mau kusampaikan."Mantan suami saya ini berulah. Dia yang mulai duluan serang Ilham, Bu. Boleh minta tolong usir dia dari rumah saya," kataku begitu berat di hati."Jadi ... benar kalian sudah cerai? Ya Allah, Farid ... Nisa ...," lirih tetangga depan rumahku percis bahkan ia memelukku erat. Kedua mataku terpejam, aku yakin setelah ini semua warga pasti menggosipkanku.***"Maaf karena tadi kamu jadi diserang Farid," lirihku pelan seraya menundukkan kepala. Ilham, aku dan anak-anak duduk di sofa ruang tamu. Aku tak mau sendirian saat ada
Aku tiba di restoran masakan Jepang yang berada di daerah elite Jakarta. Setelah membayar taksi, kulangkahkan kaki ke dalam.Kedua mata langsung menemukan Kevin yang sudah duduk di meja sudut ruangan. Ia berdiri, dengan gentle menyeret kursi yang akan kududuki."Terima kasih," ucapku seraya duduk.Kevin tersenyum singkat, "Farid bodoh lepas kamu. Perempuan sholeha.""Kata siapa aku sholeha, manusia tidak bisa menilai dengan semudah itu seharusnya." Kata-kataku tampaknya membuat Kevin terkejut singkat kemudian tertawa pelan."Nisa, setidaknya kamu itu istri idaman banyak laki-laki muslim. Sayangnya aku terlambat. Bisa saja, bukan, saat dulu aku yang lebih dulu bertemu kamu maka aku yang menjadi suamimu. Sayangnya kita tidak berjodoh." Kevin mengangkat tangan memanggil pelayan, aku sendiri tidak mau menanggapi apa yang lelaki dengan penampilan maskulin di depanku terdengar memuji."Mau makan apa, Nis?" Ia mengarahkan buku menu makanan ke arahku."Minum saja, aku sudah makan," tolakku. K