Share

Hukuman untuk orang lain

Selamat membaca.

Deg!

Deg!

Deg!

Deg!

Jantung Sania berdebar dengan sangat hebatnya, saat sebuah mobil di depannya menabrak mereka berdua.

Darah mengenang di jalanan.

"Sadarlah Sania? Apa yang kau pikirkan?"

Panggilan itu menyadarkan Sania dari lamunannya, tentang kecelakaan yang belum terjadi. Bingung Sania melihat dan meraba-raba tubuhnya sendiri.

Lalu kedua tangannya menyentuh wajahnya sendiri.

"Aku masih hidup."

"Memangnya kenapa kalau sudah mati?"

Ternyata hanya imajinasi Sania.

"Tidak, aku belum menikah sungguhan, belum punya anak, dan punya banyak harta. A—aku bahkan belum menulis surat wasiat dan bertemu dengan keluargaku." Regek Sania. Meracau tak jelas.

Luke malah terkekeh dengan apa yang baru saja ia dengar, pasalnya mereka baik-baik saja. Dan berada tepat di belakang garis aman, menunggu kereta lewat—apa Sania sedang memikirkan hal yang buruk.

Tapi seketika tawa Luke berhenti sebab. "Bisa-bisanya kau berpikiran buruk seperti itu! Bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi?" bentak Luke pada Sania.

Sania tersentak kaget. Ia memayumkan bibirnya dengan kepala yang kembali tertunduk. Menjawab, "berarti itu takdir." gumamnya.

"Apa?"

"Ada malaikat maut ditepi jalan."

"Malaikat maut?" ulang Luke tak habis pikir dengan jalan pikir Sania yang makin hari makin jauh saja.

"Kau lebih pantas menjadi penulis buku dari pada—"

"Istrimu?" potong Sania. "Setidak Suka itukah kau tinggal denganku Luke?"

"Maksudku—"

"Tenang saja semua akan berakhir saat kita menikah secara resmi dihadapan kakekmu." Lagi-lagi Sania berucap dengan senyuman, seolah hatinya tak tersakiti.

Sania berpikir dia hanyalah beban yang ingin segera Luke keluarkan dari hidupnya, dan rupanya. Luke juga berpikir demikian.

"Lukamu tidak sakit?" tanya Luke mencari topik percakapan lain.

"Kau cemas dengan pandangan kakekmu?"

Sudahlah. Luke menyerah, karena semua yang Luke katakan pasti menjadi arti yang berbeda bagi Sania—seperti robot yang tak boleh lecet ataupun rusak. Dan Luke tidak ingin Sania berpikir begitu tentangnya.

Lama perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah Luke yang dikhususkan untuk Sania.

Tepat saat pintu terbuka. "Nona Sania…."

Plak!

Luke tiba-tiba saja menampar Salsabila yang gagal mengawasi Sania, di depan Sania. Ia menjambak rambut Salsabila. "Aku mengizinkanmu berada di sampingnya, untuk melukainya?!" bentak Luke.

Sementara Salsabila sudah berlinang air mata tak bisa berbuat apa-apa.

"Luke itu kecelakaan, aku juga sudah minta maaf karena pergi tanpa izin! Kenapa kau malah marah sekarang?"

Akan tetapi Luke tak menggubris Sania, dan malah mencabut ban dari pinggangnya. Sedang Avanti—ibu Salsabila. Sekaligus kepala pelayan, hanya diam dengan wajah parahnya.

Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Luke aku mohon. Jangan begitu padanya!"

Namun Luke tak peduli. Hal itu membuat Sania histeris.

"Kau! Terlalu berani. Apa karena aku terlalu baik pada kalian. Dan kalian mulai lancang!"

"Tu—tuan maafkan saya, saya bersalah."

Salsabila meringkuk kesakitan, memohon dikaki Luke. Ia bahkan harus memeluk dirinya sendiri untuk melindungi dirinya dari cambukan Luke—ya. Sania mencabut kata-katanya yang mengatakan kalau Luke adalah 'pria yang baik' dia kejam itulah kenyataannya.

Hiks. Sania menangis. "Aku tidak akan mengulanginya, kali ini aku benar-benar berjanji. Aku akan patuh, jika perlu tidak akan keluar lagi dari rumah ini. Jadi to—tolong maafkan dia."

Luke menghentikan cambukan nya, lalu berjalan ke arah Sania yang tertunduk. Kemudian meraih dagu Sania.

"Kau memohon untuknya?" Sania menanggukan kepalanya. "Ya?"

"Aku mohon Luke."

"Avanti, panaskan air!"

"Luke!" Kini Sania murka. "Apa maksudmu?!"

"Aku tidak pernah, mengajarkan istriku memohon, demi orang lain. Camkan itu!"

Bersambung….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status