"Luna! Bisa kau bekerja dengan serius! Kau bahkan belum genap sebulan bekerja, tapi sudah membuat banyak masalah!"Telinga Luna terasa berdengung saat mendengar suara bentakan dari seorang wanita paruh baya, pemilik cafe tempat ia bekerja. Rasa pusing di kepalanya semakin menjadi, namun Luna tidak punya pilihan lain selain memaksakan diri untuk tetap bekerja."Maaf," ucap Luna, berusaha menahan rasa pusing yang membuat kepalanya berdenyut nyeri."Kau terus saja meminta maaf, tapi tidak pernah bekerja dengan becus. Jika terus seperti itu, lebih baik kau mencari pekerjaan yang lain. Di sini tidak membutuhkan pekerja yang sering membuat kekacauan sepertimu!" ujar wanita paruh baya tersebut, ia lalu pergi dari hadapan Luna.Setelah kepergian wanita paruh baya itu, Luna segera membersihkan sisa-sisa tepung yang masih berhamburan di lantai. Karena tiba-tiba merasa pusing, Luna tidak sengaja menumpahkannya."Seharusnya kau lebih berhati-hati!" cibir rekan kerja Luna."Kami pulang dulu, jangan
Brian tertegun melihat Luna dari balkon rumahnya. Hujan yang baru saja reda membuat tubuh Luna yang basah kuyup jadi menggigil. Bibirnya begitu pucat, tampak jelas dari pantulan lampu yang menyorot wajahnya.Awalnya Brian tidak begitu peduli, ia sudah tahu alasan mengapa Luna datang ke rumah ini. Brian sudah melihat berita yang beredar. Meski merasa geram, namun Brian belum juga melakukan tindakan apa pun.Pantulan cahaya lampu menyorot wajah Luna yang pucat, membuat Brian segera turun untuk menemuinya. Sisi kemanusiaan Brian masih ada, hingga ia masih meluangkan sedikit waktu untuk menemui Luna."Untuk apa kau datang ke sini?" tegur Brian sembari terus berjalan mendekati Luna yang sudah akan pergi. Keterkejutan Brian bermula saat Luna tiba-tiba berbalik dan menghampirinya, membuat Brian mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak di antara mereka."Brian, aku membutuhkan bantuanmu," ujar Luna, menatap Brian dengan tatapan memohon, "rekaman video yang sempat aku ceritakan, sekaran
"Papa berbohong lagi!"Luna menoleh, tatkala ia mendengar suara Bintang yang berteriak diiringi isak tangis yang memekik. Membuat Luna segera menyelesaikan urusannya, membersihkan wajah dan segera keluar dari kamar mandi yang ada di kamar Brian.Saat bangun tadi, Luna merasa pusing dan mual. Belum sempat mengonsumsi makanan semenjak siang, menjadi salah satu penyebab Luna merasa pusing disertai mual."Bintang," lirih Luna dengan lemas. Ia berdiri memandangi Bintang yang menangis dalam gendongan Brian, suara Luna masih sangat lemah, Luna bahkan harus berpegang pada dinding agar ia tidak jatuh."Luna, kau baik-baik saja?" Brian yang masih begitu khawatir, segera membawa Bintang menghampiri Luna yang terlihat masih sangat lemas. Brian segera menurunkan Bintang dan membantu Luna."Mengapa tidak memanggil aku, bagaimana jika kau terjatuh dan pingsan lagi," gerutu Brian sembari menuntun Luna untuk kembali berbaring.Bintang yang tidak mengetahui apa pun hanya mengikuti Brian yang menuntun Lu
"Siapkan pakaianku! Mulai sekarang, kau harus membangunkan aku setiap pagi, juga menyiapkan pakaian!" perintah Brian, tegas. Ia masih juga merasa kesal saat melihat Luna.Kejadian yang membuatnya harus bangun begitu pagi, karena Luna yang mendorongnya begitu keras. Padahal, Brian hanya memeluknya, itu juga karena tidak sengaja, Brian tidak menyadarinya karena masih tidur."Baik," jawab Luna patuh, segera masuk ke ruang ganti pakaian."Seharusnya aku yang marah, kau yang memeluk dan menyentuh dadaku," gerutu Luna, mengambil pakaian yang kiranya tepat untuk digunakan oleh Brian, "meskipun kita masih berstatus pasangan suami-istri, tapi hubungan kita berbeda, masih sangat abu-abu," lanjutnya menggerutu, masih juga merasa kesal."Tidak perlu mengumpat di dalam sana, segera bawa pakaian yang harus aku kenakan ke sini!" teriak Brian. Ia sempat mengintip dan mendengar apa yang dikatakan Luna.Mendengar teriakkan Brian, Luna menutup rapat mulutnya. Menyadari bahwa ia baru saja ketahuan. Luna s
Rasanya Luna ingin memaki Brian yang selalu melakukan apa pun sesukanya. Bagaimana bisa Brian meminta Adrian datang ke rumah hanya untuk mengambil bekal makan siang buatan Luna."Brian yang memintanya." Adrian masih berusaha meyakinkan Luna yang tidak mudah percaya."Lebih baik Anda siapkan secepatnya, saya tidak memiliki banyak waktu," ujar Adrian, memperingatkan Luna yang hanya menatap tak percaya pada Adrian."Tetap saja, mengapa harus merepotkan aku, kau bisa membeli makanan di luar. Ada banyak restauran yang menyajikan makanan enak. Kau bisa langsung memesan dan membawanya pada Brian saat itu juga," protes Luna, enggan melakukan perintah Adrian."Andai saja Brian mau, saya tidak akan membuang-buang waktu untuk kemari, Nona Luna yang terhormat," geram Adrian, sudah cukup ia merasa kesal dengan perintah Brian yang tiba-tiba ini, sekarang ia malah semakin kesal dengan Luna.Entah mengapa, Kesialan Adrian terasa lengkap jika Luna ada di dekat Brian. Karena saat itulah, pekerjaan Adria
Luna menatap nanar pada makanan yang sudah ia sajikan. Brian sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu, dan Luna belum juga beranjak dari tempatnya berdiri."Apa yang aku pikirkan, ini adalah hal biasa. Mengapa aku harus terbawa perasaan, aku ada di sini hanya untuk bekerja. Ingat itu Luna." Berusaha menolak rasa gundah yang menghampiri, Luna menyadarkan diri dengan kenyataan yang ada."Aku bisa memakan semuanya sendirian," gumamnya, berusaha menenangkan perasaan dari dalam hatinya yang terasa bergejolak.Dalam diam, Luna berusaha memasukkan banyak makanan ke dalam mulutnya. Mengunyah dengan pelan, meski rongga mulutnya terasa kaku tak ingin bergerak.Dan Luna merasa kesulitan hanya untuk menelannya. Seolah tertahan, dan terasa sulit untuk sekedar ia cerna. Makanannya terasa mengganjal di kerongkongan."Aku akan memakannya, nanti," ucap Luna akhirnya, tidak ingin memaksakan diri, atau ia akan terlihat begitu menyedihkan.Bukan karena apa, Luna hanya merasa usahanya tidak dihargai. Lun
Keasikan bermain dan mengunjungi beberapa tempat hanya untuk sekedar memanjakan mata, Luna jadi lupa waktu dan baru pulang saat sudah jam delapan malam. "Seharusnya kalian pulang tepat waktu. Kalian juga tidak memberi kabar, membuat khawatir saja. Bagaimana jika tidak ada pengawal yang mengikuti kalian," omel Brian, segera menghampiri Luna dan Bintang yang baru saja turun dari mobil.Brian sengaja menunggu mereka di halaman rumah, sehingga Brian bisa langsung melihat mobil yang membawa Luna dan Bintang masuk ke pekarangan."Papa, tidak boleh marah-marah!" protes Bintang, menjadi garda terdepan yang bisa melawan Brian."Bintang harus banyak istirahat, seharusnya kau ingat itu baik-baik." Brian sengaja tidak menghiraukan Bintang dan hanya fokus pada Luna yang tampak merasa bersalah."Papa!" teriak Bintang, tidak terima saat sang ayah tidak sedikit pun menggubrisnya, "papa jangan lagi memarahi mama! Tadi siang mama sudah menangis karena melihat papa bersama Bibi Sely, jadi papa tidak bol
"Kau belum menjawab pertanyaan Bintang, apa kau tidak memiliki rasa apa pun terhadapku?" tanya Brian, ia masih juga penasaran akan jawaban yang kiranya akan diberikan Luna."Kau ingin memakai yang mana? Biru gelap atau hitam?" Luna tidak menjawab pertanyaan Brian, ia mengalihkan dengan menunjukkan dua setelan untuk dipilih Brian.Menyadari bahwa Luna mencoba menghindar, Brian hanya tersenyum kecut. Memangnya apa yang sebenarnya diharapkan Brian, disaat ia kini dekat dengan Sely."Siapkan beberapa, dan masukkan ke dalam koper," ujar Brian. Ia beranjak dari sofa tempatnya duduk dan berjalan menuju ruang ganti pakaian."Apa kau ingin pergi…." Luna tidak melanjutkan ucapannya, terkejut karena ternyata Brian sedang memakai pakaian. Buru-buru Luna keluar dari sana."Mengapa dia tidak mengatakan kalau sedang berpakaian," ringis Luna, "mataku hampir saja ternodai," gumamnya lagi.Padahal Luna sudah sering melihat Brian yang hanya bertelanjang dada, dengan sebuah handuk yang melilit bagian bawa