Share

Bab 5 - Jadilah Istri untuk Papa

"Hm, hm." Luna beberapa kali berdehem, rasa canggung menyelimutinya.

Bintang masih berbaring, tertidur setelah meminum obat. Sedangkan di sebelahnya ada Brian yang tengah bersandar memijat kepalanya. Luna tidak tahu harus melakukan apa, seandainya ia menolak saja tadi, saat Brian memberinya tawaran untuk masuk dan melihat Bintang.

"Aku akan keluar," ujar Brian, ia bahkan sudah berdiri sembari melirik pada Luna. Namun, yang dilirik tidak juga paham, sehingga Luna hanya diam saja.

"Kau ingin makan apa?" tanya Brian saat tidak ada tanggapan dari Luna.

Mendengar itu, Luna mendongak, melihat Brian yang sangat tinggi. Kenapa Luna seperti melihat Pangerang saja. Brian terlalu tampan dengan rambut hitam pekatnya, matanya yang berwarna kecoklatan sudah cukup untuk membuat para perempuan meleleh. Belum lagi bulu matanya yang lentik, serta alisnya yang tebal dan tertata dengan rapi.

Luna bahkan sangat ingin menyentuh hidung Brian yang begitu mancung. Seandainya Luna tengah mengandung, ia pasti akan menatap Brian dan menelan liurnya berulang kali. Berdoa agar anaknya seperti Brian yang tampak sempurna, dengan rahang tegasnya yang menampakkan aura yang begitu berwibawa.

"Aku bertanya, mengapa hanya menatapku!" Bahkan suara bariton Brian, mampu membuat Luna ingin membawanya ke pelaminan sekarang juga.

Tapi, sayang sekali. Luna cukup tahu batasan, ia tidak mungkin bisa mencapai langit yang begitu tinggi. Sedangkan Luna hanya menapakkan kaki di bumi. Luna kemudian menghentikan sisi lain dalam dirinya yang terus mengagumi Brian. Luna harus kembali ke dunia nyata.

"Aku tidak ingin apa pun," jawab Luna, menolak tawaran Brian.

"Kau tidak ingin makan?" tanya Brian lagi.

"Aku sudah makan," jawab Luna berbohong. Perutnya bahkan belum terisi apa pun, dan cacing-cacing yang ada di dalam perutnya sudah berdemo meminta jatah.

"Cih, mulutmu sangat pandai berbohong, padahal dari tadi perutmu berbunyi nyaring," sindir Brian, ia bisa mendengar suara yang berasal dari perut Luna dari tempatnya berdiri.

Brian meninggalkan Luna, keluar dengan alasan akan membeli makanan. Sebelumnya, Brian sudah berpesan pada Luna untuk menjaga Bintang, dan juga menunggunya. Sebenarnya, Brian tidak pernah melakukan hal seperti ini, membelikan makanan untuk orang lain.

Hanya saja, Brian ingin memberi kesempatan pada Luna, untuk bertemu Bintang. Brian bisa melihat, bagaimana khawatirnya Luna saat mendengar kabar tentang Bintang.

Brian tidak tahu, bagaimana Luna bisa mengenal Bintang. Akan tetapi, satu hal yang Brian yakini, bahwa Luna tidaklah seburuk yang dipikirkannya.

Setelah Brian keluar, Luna berdiri dan melangkah mendekati Bintang. Melihat pada bagian kaki dan lengannya, ada beberapa memar. Bukan karena dipukul seperti Luna, tapi itu adalah salah satu gejala yang timbul dari penyakit yang diderita oleh Bintang. Luna mengetahuinya saat pertama kali melihat Bintang.

"Cepat sembuh cantik," ujar Luna, membelai lembut wajah Bintang.

Luna sudah membuat rencana, ia akan pergi setelah ini. Luna harus mencari pekerjaan baru, untuk membayar uang tiga ratus juta milik Brian.

"Mama Luna!"

Suara Bintang yang serak dan lemah membuat hati Luna terasa berdenyut nyeri. Bagaimana Bintang bisa begitu kuat, menahan sakit yang menyerang tubuhnya. Luna merasa tidak tega, melihat Bintang yang berbaring lemah seperti ini.

"Iya, sayang." Tanpa sadar, Luna berucap pelan. Sudah seperti ibu yang sedang menemani anaknya yang sakit.

"Mama Luna," gumam Bintang sekali lagi. Ia membuka matanya, memastikan jika yang bersamanya benar-benar Luna. Setelah itu, Bintang berusaha bangun, Luna membantunya, memudahkan Bintang untuk memeluknya.

"Mama, perut Bintang sakit," cicit Bintang pelan. Setelah mengatakan itu. Bintang kemudian memuntahkan air yang bercampur sisa-sisa makanan. Tepat mengenai Luna yang memeluknya.

Brian yang mendengar suara Bintang yang muntah, segera masuk dan membantu Luna. Brian sengaja menunggu di luar, juga tidak menutup rapat pintu ruangan Bintang.

Kali ini, Brian tidak begitu panik karena Bintang memang sudah beberapa kali mengalami muntah. Dokter juga sudah mengatakan kalau itu salah satu gejala dari penyakit yang diderita Bintang.

"Bintang, masih mau muntah?" tanya Luna, ia melihat Bintang yang bergerak tidak nyaman. Bintang mengangguk, seiring dengan usapan Luna pada punggungnya, Bintang kembali muntah tepat di baju Luna.

Brian dengan cepat mengambil tissue dan membersihkan mulut Bintang. Sedangkan Luna beralih memegang rambut Bintang agar tidak kotor. Dan, baju Luna menjadi korban yang penuh dengan muntahan Bintang, hingga berceceran ke lantai.

"Bintang sudah merasa baik?" tanya Luna lagi, dan Bintang kembali mengangguk.

"Bisa minta tolong ambilkan baju Bintang? Tubuhnya harus dibersihkan," ujar Luna, meminta tolong pada Brian. Baju Bintang ikut kotor karena ia memeluk Luna. Dan, Brian satu-satunya orang yang ada di dalam ruangan ini bersamanya, jadi tidak ada pilihan lain selain menyuruh Brian.

Tanpa kata, Brian segera berjalan ke arah lemari pakaian yang khusus berada di dalam ruang perawatan Bintang. Brian mengambil baju pasien baru untuk Bintang. Sedangkan Luna, ia sibuk membersihkan tubuh Bintang. Setelah itu, barulah Luna memasangkan baju yang telah diambil oleh Brian.

"Apa aku bisa menggunakan kamar mandinya?" tanya Luna meminta izin, ia juga harus membersihkan diri.

"Tentu saja, sebelumnya maaf sudah merepotkan," ujar Brian. Ia kemudian memberikan sebuah kemeja berwarna putih pada Luna, "kemeja aku, kau bisa menggunakannya. Tenang saja, aku belum pernah memakainya," ujar Brian. Ia memang selalu membawa beberapa pakaian baru ke ruang perawatan Bintang.

Luna segera menerimanya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuh dan mengganti bajunya. Untung saja muntahan Bintang tidak mengenai celananya, jadi Luna tidak perlu mengganti celana.

Saat Luna keluar, terlihat seorang cleaning servis yang sedang membersihkan lantai, dan juga ada seorang perawat yang mengganti sprei. Bintang yang lemas ada di dalam gendongan Brian. Luna segera menghampiri mereka saat Bintang mengulurkan tangan kearahnya.

"Mama," rengek Bintang pelan, ia sudah ada dalam gendongan Luna.

"Kenapa?" tanya Luna lembut, Bintang semakin mengeratkan pelukannya pada leher Luna.

Tanpa mereka sadari, netra coklat milik Brian sedari tadi memperhatikan mereka. Entah perasaan dari mana, menimbulkan kehangatan yang tidak pernah Brian rasakan sebelumnya. Luna yang menggendong Bintang menggunakan baju Brian yang kebesaran, tampak menggemaskan karena tinggi tubuh Luna yang berbanding jauh dengan Brian.

"Bintang mau turun," ucap Bintang, sehingga Luna menurunkannya.

Bintang sudah tidak begitu lemas, ia sudah kembali bergerak dengan aktif seperti biasanya. Menarik Luna untuk duduk di sofa, kemudian menarik Brian agar duduk di dekat Luna. Setelah itu, Bintang berdiri menghadap mereka yang bingung. Bintang hendak mengatakan sesuatu.

"Bintang ingin Mama Luna menjadi Mama Bintang. Bintang ingin Mama Luna tinggal bersama Bintang," ungkap Bintang.

Brian dan Luna tampak terkejut, mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Bintang. Namun, wajah berbinar Bintang yang memohon terlalu menggemaskan untuk ditolak.

Brian hanya bisa menghela napas, bingung harus menjelaskan bagaimana. Kalaupun Brian menjelaskan, Bintang belum tentu bisa mengerti. Bintang masih sangat kecil untuk paham tentang kehidupan orang dewasa.

"Aku tidak bisa jadi Mama Bintang. Lagi pula, Bintang sudah punya Papa yang hebat, bisa menjaga dan merawat Bintang." Luna menarik Bintang agar berdiri lebih dekat dengannya. Berharap Bintang bisa paham.

Sedangkan Brian, ia menoleh dan menatap Luna. Bagaimana bisa ia merasa bangga pada dirinya saat mendengar apa yang dikatakan Luna. Tapi, apakah Brian bisa menjadi orang tua yang hebat seperti yang dikatakan Luna?

"Tap, Bintang ingin Mama, Bintang ingin Mama Luna menjadi Mama untuk Bintang." Bintang terus merengek, menarik-narik tangan Luna, berharap permohonannya dikabulkan.

"Papa, Bintang ingin Mama. Bintang ingin Mama Luna menjadi Mama untuk Bintang." Bintang beralih pada sang ayah, setelah tidak mendapatkan respon apa pun dari Luna.

Brian mengangkat Bintang, mendudukkan di pangkuannya. "Bintang, Mama Luna tidak bisa menjadi Mama bintang." Brian diam beberapa saat, menyadari kata yang keluar dari mulutnya. Bagaimana bisa Ia ikut menyebut kata 'Mama Luna' seperti yang Bintang ucapkan.

"Tapi, kenapa?" tanya Bintang.

"Kalau Bintang ingin Mama, itu artinya dia harus menikah dulu dengan Papa. Kalau dia sudah menikah dengan Papa dan menjadi istri Papa, itu artinya dia sudah menjadi Mama untuk Bintang." Brian tidak tahu, Bintang akan paham atau tidak. Ia hanya asal menjelaskan.

Bintang diam beberapa saat setelah mendengar penjelasan sang Ayah, berusaha mencerna sesuai kemampuannya. Bintang tampak berpikir dengan keras, raut wajahnya jadi begitu serius. Hingga ia menjentikkan jari, seolah mendapat ide brilian.

"Kalau begitu, Mama Luna harus menikah dulu dengan Papa."

Brian dan Luna saling melirik, kemudian saling membuang muka.

Sedangkan Bintang, ia berusaha turun dari pangkuan sang Ayah. Setelah itu, Bintang memegang tangan Brian yang menganggur.

"Mama Luna, menikahlah dengan Papa Brian," ujar Bintang yang tampak serius, meletakkan tangan sang ayah di atas tangan Luna.

"Jadilah istri untuk Papa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status