Share

Bab 6 - Menginginkan Mama

"Tidak, Bintang!" Brian berucap tegas, menolak hasil pemikiran konyol dari sang putri.

"Tapi, Bintang menginginkan Mama, Bintang ingin Mama," teriak Bintang, ia kembali rewel.

"Mengapa Bintang sangat ingin Mama? Selama ini Bintang hanya punya Papa dan semuanya baik-baik saja 'kan," ujar Brian, berhasil membuat Bintang diam.

Berbeda dengan Luna, ia hanya duduk diam di tempatnya. Luna merasa tidak berhak untuk ikut campur antara Brian dan Bintang. Lagi pula, Luna dan Bintang juga baru mengenal, begitu pun dengan Brian.

"Semua orang memiliki Mama, mengapa Bintang tidak memiliki Mama?" cicit Bintang, ia berujar sangat pelan, hingga terdengar suara isak tangis yang berusaha ditahannya.

"Bintang, kenapa menangis." Luna yang tidak tega segera menghampiri Bintang, menggendongnya.

Sedangkan Brian, ia memilih untuk keluar. Meninggalkan Luna yang berusaha menenangkan Bintang. Kepalanya terasah berdenyut, pusing. Baru kali ini Bintang menginginkan sosok Mama. Dan hanya Luna, Bintang tidak menginginkan yang lainnya.

"Brian…" Brian menoleh saat mendengar suara bisikan di sebelahnya.

"Ada apa?" tanya Brian, ia juga memelankan suaranya seperti yang dilakukan Luna.

"Bintang sudah tidur," sahut Luna, menunjuk ke bagian ranjang pasien. Di sana Bintang sedang tidur dengan memeluk boneka beruang kesayangannya.

Brian berdiri, menghampiri Bintang. Memperhatikannya dengan baik. Bintang terlihat masih sangat lemas, ia bahkan kembali tertidur padahal baru saja bangun beberapa menit yang lalu.

"Permisi Pak, ini Makanan yang anda minta." Seorang pengawal yang tadi diperintahkan oleh Brian untuk membeli makanan sudah kembali.

"Untukmu saja," ujar Brian, membuat Luna menoleh, menatapnya. Ingin protes, tapi tidak bisa. Makanan itu memang milik Luna, Brian memesannya untuk Luna.

"Tolong jaga Bintang, saya harus mengurus sesuatu dulu," ujar Brian pada para pengawalnya. Mereka mengangguk patuh, "Kau, ikut denganku!" Brian mengajak Luna untuk pergi dari sana.

Tempat yang mereka pilih adalah kantin rumah sakit, agar Luna juga bisa menikmati makanannya.

Luna makan dengan lahap, ia memang belum makan sejak pagi. Sedangkan Brian hanya menatap Luna, Brian tampak tidak berselera dengan makanannya.

"Kau seperti orang yang tidak pernah makan," ledek Brian sembari menyodorkan botol air mineral pada Luna. Karena makan dengan terburu-buru, Luna sampai tersedak makanan.

"Ah, Maaf." Luna menerima botol minuman yang disodorkan Brian. Segera meminumnya, lalu kembali melanjutkan kegiatannya menyuapkan makanan ke dalam mulut. Kali ini lebih pelan.

"Kau tidak makan?" tanya Luna, melihat makanan Brian yang hanya berkurang sedikit. Berbeda dengan Luna yang sudah menghabiskan makanannya tanpa sisa.

"Aku sudah kenyang," jawab Brian.

Terjadi keheningan selama beberapa saat, mereka sama-sama diam. Baik Brian maupun Luna, sama-sama sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Tentang apa yang dikatakan Bintang, aku harap kau tidak memasukkannya ke dalam hati. Itu hanya omongan anak kecil yang belum mengetahui apa-apa," papar Brian, akhirnya membuka pembicaraan.

"Aku meminta maaf untuk hal yang kurang mengenakkan yang terjadi hari ini. Aku tahu, kau orang yang baik, tapi aku masih berpikir kalau kehadiranmu disekitar Bintang bisa membawa pengaruh buruk untuknya." Setelah mengatakan itu, Brian kembali diam beberapa saat, "jadi, aku harap kau benar-benar pergi setelah ini, dan jangan lagi muncul dihadapan kami. Aku, dan juga Bintang," pintah Brian.

"Tidak perlu meminta maaf, aku yang bersalah di sini. Karena aku, semua hal ini terjadi. Dan, aku janji, aku tidak akan menemui kalian lagi," ujar Luna bersungguh-sungguh.

Bagaimanapun, Luna tidak bisa memaksa untuk berada di sekitar Bintang. Meski Luna merasa nyaman saat Bintang berada dalam pelukannya.

"Aku juga ingin berterima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkan aku, dari tempat yang sangat menyeramkan itu." Luna bergidik ngeri, saat mengingat mengenai tempat pengurungan itu.

"Aku hanya membantu sesama manusia, itu bukanlah hal yang sulit. Lagi pula, aku juga merasa geram dengan laki-laki tua itu, dia sangat licik!" geram Brian saat mengingat kembali perlakuan laki-laki tua itu.

Jika memiliki kesempatan, rasanya Brian ingin menghajar laki-laki tua itu. Dia benar-benar tidak memiliki rasa balas kasih, bahkan pada perempuan. Apakah dia tidak memiliki ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan?

"Aku hampir lupa, aku juga ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membantuku mengurus Bintang hari ini. Aku akan membayarmu untuk itu." Brian mengeluarkan beberapa ikat uang dari saku celananya, menyerahkannya pada Luna. Brian memang sudah menyiapkan hal itu.

"Tidak perlu, aku tulus melakukannya," tolak Luna, mendorong kembali tumpukan uang itu.

"Ambil saja, ini hanya sedikit. Lagi pula, kau membutuhkan uang sekarang." Brian meletakkan uang itu dalam genggaman tangan Luna.

Tangan Luna bergetar, saat setumpuk uang itu berada dalam genggamannya. Untuk pertama kalinya, Luna memegang uang sebanyak itu.

"Bagaimana dengan uang yang tiga ratus juta itu?" tanya Luna, ragu.

Brian tampak berpikir. "Begini saja, jika kita kembali bertemu. Maka kau bisa membayarnya. Jika kita tidak lagi bertemu, maka kau tidak perlu membayarnya. Kau mengerti maksudku kan? Tentang permintaan aku, agar kau tidak lagi menemuiku dan juga Bintang. Maka kau tidak perlu membayar uang tiga ratus juta itu."

"Kau bisa pergi, sekarang!"

Setelah mengatakan itu, Brian melangkah menjauh, begitu pun dengan Luna yang juga pergi. Mereka berjalan sesuai alur langkah mereka, saling bertolak belakang. Mereka memang tidak memiliki arah tujuan yang sama. Lalu, di titik mana mereka akan bertemu nantinya?

Brian kembali ke ruang perawatan Bintang. Di sana sudah ada sekretaris pribadinya yang menunggu, Adrian.

"Kau membawa apa yang aku minta?" tanya Brian, dan Adrian memberikan kertas berisikan beberapa informasi.

"Jadi, dia tinggal sendirian?" gumam Brian, membaca tiap bait tulisan yang ada dalam kertas tersebut.

"Iya, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Dan ternyata orang tuanya memiliki banyak utang, rumahnya menjadi salah satu barang yang diambil untuk melunasi utang orang tuanya, tapi masih tidak cukup juga," jelas Adrian.

Brian kembali membuka lembar halaman kertas yang dibacanya, hingga ia mengernyitkan keningnya. Membaca tiap wacana yang tertuang dalam kertas tersebut.

"Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan?" tanya Brian, menatap Adrian sembari menunjukkan kertas yang dipegangnya.

"Iya, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan itu."

Brian diam selama beberapa saat, kembali ke halaman pertama, membaca detail informasi pribadi Luna.

"Dia tidak dekat dengan Bintang?" tanya Brian kemudian, ia bisa merasakan bagaimana Bintang yang begitu nyaman saat bersama dengan Luna.

"Iya, dari informasi yang saya dapatkan. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, untuk pertama kalinya mereka bertemu saat kejadian di rooftop."

Sebelumnya, Brian memang memerintahkan pada Adrian untuk mencari tahu tentang Luna. Secara lengkap dan mendetail, termasuk bagaimana Luna bisa bertemu dan dekat dengan Bintang.

"Benarkah?"

Brian masih juga ragu, Bintang biasanya tidak nyaman dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi, mengapa berbeda dengan Luna.

"Papa." Masih asik membaca informasi tentang Luna, Brian menoleh ke arah ranjang pasien saat mendengar Bintang memanggilnya.

"Dimana Mama?" tanya Bintang yang langsung mencari Luna, ia mengedarkan pandangannya mencari-cari keberadaan Luna.

"Sudah pergi," jawab Brian, singkat, tanpa berusaha memberi alasan lain yang kiranya bisa diterima oleh Bintang.

Mendengar hal itu, Bintang jadi diam, dan perlahan mulai terisak. Bintang memukul-mukul dada Brian yang saat ini tengah menggendongnya, Bintang melampiaskan kekesalannya.

"Papa jahat!" teriaknya.

"Bintang benci Papa! Bintang ingin Mama Luna!" Bintang berteriak histeris.

"Bintang ingin Mama Luna!" Bintang masih terus menangis, sedangkan Brian hanya berusaha menenangkannya. Hingga Bintang mulai lelah sendiri.

Saat dirasa Bintang sudah mulai melunak, tidak lagi histeris dan menangis dengan keras, Brian lalu mendudukkan Bintang di ranjang. Menatapnya, berusaha memberikan pengertian pada Bintang.

"Bintang, dengarkan Papa. Mama Luna bukanlah Mama Bintang," ujar Brian. Namun tidak mendapatkan tanggapan apapun dari Bintang.

"Mama Luna punya kehidupan sendiri yang berbeda dengan kita, jadi dia tidak bisa ada di sini dan menjadi Mama Bintang," jelas Brian, masih berusaha menjelaskan.

Namun, Bintang terlanjur merajuk, dia tidak ingin berbicara pada Brian. Bintang bahkan mendiamkan semua orang. Bintang juga menolak untuk makan dan meminum obat, hanya terus-terusan berada di atas ranjang tanpa ingin melakukan sesuatu.

"Bintang, jangan seperti ini!" bentak Brian, ia mulai jengah dengan diamnya Bintang. Sejak kemarin Bintang terus seperti itu.

"Papa jahat! Bintang benci sama Papa!" teriak Bintang, ia kembali menangis, merasa sedih juga karena dibentak.

Brian menghela napas, ia sudah cukup lelah karena baru saja pulang dari kantor. Belum juga Brian beristirahat, tapi masih harus menghadapi Bintang yang merajuk.

"Baiklah, apa yang Bintang inginkan? Papa akan mengabulkannya," ujar Brian akhirnya, meskipun Brian sudah tahu. Kalau nama Luna pasti akan menjadi jawaban.

"Mama Luna, Bintang ingin Mama Luna menjadi Mama Bintang." Dan benar saja, nama Luna benar-benar keluar dari mulut Bintang. Ia bahkan menghentikan tangisnya seketika.

"Baiklah, Bintang harus makan dulu. Setelah makan dan minum obat, Papa akan pergi menjemput Mama Luna," janji Brian.

"Papa janji?" tanya Bintang. Ia tersenyum lebar, melupakan kesedihannya.

"Iya, Papa janji."

Setelah Makan dan minim obat, Brian meninggalkan Bintang yang bermain dengan Adrian dan para pengawalnya. Brian melajukan mobilnya, menuju sebuah tempat yang sudah diketahuinya.

Saat sudah sampai di tempat tujuannya, Brian memarkirkan mobilnya. Segera keluar dari mobil, namun seseorang yang berdiri di dekat sebuah mobil hitam mengalihkan perhatiannya. Brian mengenal sosok laki-laki itu.

"Sepertinya dia laki-laki yang ada dalam rekaman cctv itu, apakah dia tidak dipenjara? kenapa dia bisa berada di sini," gumam Brian.

Hingga Ia mulai sadar, sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Luna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status