Fery dan Santi sama-sama terkejut. Terlebih Santi. Karena ia tidak tahu apa-apa, tiba-tiba dikejutkan dengan ucapan Nayla yang akan menjodohkannya dengan suaminya sendiri.
“Gila! Kamu benar-benar sudah gak waras, Nay.”Santi syok berat hingga ia memilih untuk beranjak pergi namun ditahan oleh Nayla.“Jangan pergi Santi, aku mohon.”Nayla memegangi lengan Santi mencoba untuk menahan langkah Santi. Ini sudah jadi keputusannya ia sudah yakin. Tatapan mata Nayla begitu penuh permohonan wajah pucatnya semakin terlihat menyedihkan saja, Santi tidak tega.Santi menghela napas berat, permintaan Nayla tidak bisa ia lakukan. Mana mungkin ia harus menikah dengan suami sahabatnya sendiri. Menjadi istri kedua.Santi lalu duduk kembali disusul oleh Nayla. Sejenak Santi menatap Nayla dengan tatapan yang tidak bisa terbaca oleh Nayla.“Aku mohon, kamu dan Mas Fery bersedia menikah. Kalau boleh Jujur ini sudah aku rencanakan jauh-jauh hari dan aku sudah yakin dengan keputusan ini. Jika Santi akan menjadi istri baru untuk kamu, Mas.”Baik Santi dan Yuda sama-sama tidak percaya dengan permintaan konyol dari Nayla. Mana mungkin mereka menikah.“Sungguh, Mas sama sekali tidak mengerti dengan isi kepala kamu. Padahal Mas sudah bilang ratusan kali. Enggak, ya enggak! Apa mungkin kamu tidak mengerti dengan kata enggak?”Nayla menangis memohon pada Fery. Bahkan ia terlihat terduduk di lantai dengan kedua tangannya menyentuh kaki Fery. Ia tidak peduli jadi bahan tontonan. Tidak tega Fery pun membawa tubuh Nayla agar bangun dan kembali duduk.“Mas aku mohon menikah lagi. Aku ingin sedikit lebih berguna.”Fery menghela napas berat, ia merasa heran kenapa istrinya ini malah memaksa terus untuk menikah lagi. Padahal sudah berulang kali Fery katakan tidak mau dan sudah sepakat untuk tidak membahas ini lagi. Fery mengangkat tubuh Nayla agar berdiri lalu ditatapnya dengan penuh cinta.“Nayla sayang... Mas kan sudah pernah bilang jangan bahas ini lagi. Sebab jawaban Mas tetap sama. Tidak!”“Mas, aku tanya selama tiga tahun kita menikah pernah tidak aku meminta sesuatu padamu?”Fery mencoba untuk mengingatnya. Benar istrinya ini belum pernah meminta apa pun darinya yang ada dirinya yang selalu menawarkan sesuatu saking tidak pernah meminta. Namun... kenapa sekali meminta sesuatu begitu berat seperti ini? Sebuah permintaan agar dirinya menikah lagi. Fery tahu alasan dari balik ini semua, yaitu hanya takut dirinya tidak ada yang melayani saat tubuhnya sudah tidak bisa berdaya lagi.Ditatapnya wajah teduh sang istri, meskipun terlihat pucat namun tetap cantik di matanya. Kenapa istrinya ini begitu luar biasa? Sudah berpikiran jauh padahal belum tentu apa yang ia khawatirkan jadi kenyataan. Fery yakin dengan keajaiban istrinya pasti sembuh.“Mas, mau, ya. Nayla janji ini adalah permintaanku yang pertama sekaligus yang terakhir. Aku gak akan meminta apa-apa lagi. Sungguh.”“Kamu boleh meminta apa pun asal jangan permintaan ini. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan aku pun bisa mengurusi kamu nanti. Apa gunanya aku jika kamu sakit aku malah membiarkan kamu. Enggak gitu konsepnya.”“Aku percaya kamu bisa melakukannya. Tapi... aku tetap ingin melihat kamu menikah.” Nayla menatap ke arah Santi yang masih dengan mode keterkejutannya. “Santi adalah wanita yang pantas bersanding dengan kamu.”Sungguh untuk saat ini Santi tidak bisa berbuat apa-apa, selain diam.Nayla terus saja meyakinkan Fery. Ia tidak akan pernah menyerah. Rasa cinta dan baktinya terlalu besar hingga ia tidak bisa membayangkan jika suaminya nanti harus mengurus dirinya sendiri. Lagi dan lagi pikirnya tertuju pada ajalnya tiba maka suaminya tidak akan terlalu terpuruk karena ada istri yang lainnya akan menyemangatinya. Sungguh Nayla sudah berpikir terlalu jauh. Seolah-olah dialah yang memegang dan mengatur hidupnya sendiri. Dia lupa ada Tuhan yang lebih berhak.Sepertinya Fery mulai luluh. Ia tidak tega melihat istrinya terus saja memohon dan meminta. Kalaupun ia setuju bukan berarti membenarkan pernikahan keduanya, ia hanya ingin membuat istrinya senang dan berhenti untuk terus memohon dan memasang wajah sedihnya. Hatinya tidak kuat.“Baik aku setuju permintaan kamu. Namun asal kamu tahu aku melakukan ini karena aku tidak ingin melihat kamu bersedih dan terus memohon seperti tadi. Jadi jangan salahkan aku jika pernikahan ini tidak aku lakukan pakai hati hanya sebatas menuruti permintaan kamu. Karena bagiku istriku hanya satu dan itu ... kamu.”Sungguh Nayla teramat bahagia. Tidak masalah jika saat ini suaminya bilang tidak akan menjalankan pernikahan keduanya dengan hati. Namun, Nayla yakin dengan seiringnya waktu berjalan baik suami dan sahabatnya akan sama-sama terjebak dan saling jatuh cinta. Hal itu justru yang paling ia tunggu.“Terima kasih, Mas. Kamu bersedia menikah lagi mengabulkan permintaan ini.” Nayla memeluk Fery dan Fery membalas pelukan Nayla dengan begitu erat. “Santi sahabatku adalah wanita yang pas untuk kamu jadikan istri. Dia baik dan pastinya ia mampu memberikan apa yang tidak bisa aku berikan.”“Berhentikah membahas hal ini. Karena aku tidak peduli dengan wanita mana pun kamu menjodohkan suamimu ini. Di mataku kamu yang terbaik.”Dari balik pelukan itu Nayla tersenyum senang. Setidaknya dengan mengizinkan suaminya menikah lagi kebencian mertuanya bisa sedikit berkurang, selain itu kelak akan ada istri pengganti dirinya yang mampu memberikan kelengkapan sebuah keluarga dengan kehadiran seorang anak.Mau tidak mau Santi menerima permintaan Nayla. Karena ia memang selalu tidak bisa menolak keinginan Nayla. Ia selalu baik padanya, rasanya ia merasa tidak adil jika tidak menuruti keinginannya, meskipun ia sama sekali tidak menginginkan jadi seorang istri kedua.Pernikahan Fery dan Santi pun berlangsung, hanya Pernikahan sederhana. Yang dihadiri oleh keluarga dekat saja. Siska –sang ibu mertua begitu antusias, karena momen inilah yang paling dia tunggu-tunggu. Di mana Fery menikah lagi dan bisa memberikan keturunan untuk keluarga Sanjaya.Dari bersikap pun Siska sudah menunjukkan ketertarikan pada Santi. Terbukti dengan Siska yang begitu cerewet berceloteh dengan Santi tanpa sedikit pun peduli akan perasaannya, tanpa sedikit pun mengakui kehadirannya.Hati Nayla begitu sakit, melihat suaminya duduk di pelaminan dengan wanita lain. Hatinya seolah-olah dilongsori ribuan batu, terasa sakit, sesak namun tidak berdarah.Nayla menangis namun, secara refleks langsung menyekanya. Ia tertawa hambar menertawakan dirinya sendiri.“Kenapa aku menangis? Bukankah ini keinginanku? Ya Allah, ternyata aku belum sepenuhnya ikhlas. Aku belum mampu mengikhlaskan suamiku menduakan cintaku. Aku gak ikhlas.”Nayla terus mengibas-ngibaskan tangannya pada area mata, berharap air matanya tidak terus luruh.“Kuat, Nay! Kuat!” ujarnya berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri.Seusai acara pernikahan kedua suaminya usai. Nayla langsung ke kamarnya. Tubuhnya terasa lelah, mungkin efek dari penyakitnya hingga ia tidak bisa untuk melakukan aktivitas yang menguras tenaga. Padahal diacara Pernikahan suaminya itu, ia hanya membantu melayani para tamu dari pihak wanita. Namun mampu membuat dirinya kelelahan seperti ini.Nayla lalu merebahkan tubuhnya, kedua matanya menatap langit-langit kamar. Kembali hatinya terasa sakit tatkala mengingat kenyataan jika kini dirinya memiliki seorang madu. Lagi dan lagi air matanya luruh. Sekuat apa pun ia untuk terlihat baik-baik saja, tapi hatinya tidak bisa bohong jika ini terlalu sakit untuk dirinya. Tapi, dia berusaha untuk tidak egois. Bukankah semua ini demi kebaikan banyak pihak? Ya, banyak pihak. Tapi dia tidak peduli dengan perasaannya sendiri.Ceklek....Terdengar suara pintu dibuka, membuat Nayla refleks bangun dan menyeka air matanya. Ia terkejut saat mendapati suaminya malah masuk ke kamarnya bukan ke kamar penga
Kejadian semalam membuat Nayla tidak bisa tidur. Ia terus saja kepikiran Santi. Ia yakin Santi pasti kecewa padanya. Padahal dirinya sudah meminta Fery untuk tidur di kamar Santi. Oleh karena itu, ia akan meminta maaf kembali karena semalam Santi seperti marah kepadanya.Saat ini Santi tengah bersama Siska –mertuanya. Mereka tengah memasak bersama tanpa bantuan asisten rumah tangga, tak lupa keduanya saling bersenda gurau, pemandangan yang membuat dirinya iri. Ingin rasanya ia pun diperlakukan seperti itu oleh Siksa. Namun, rasanya itu hanya akan jadi khayalan dirinya saja. Sesuatu yang tidak mungkin terwujud. Siska dan Santi sama sekali tidak menyadari kedatangan Nayla. Mereka pun tanpa sadar membicarakan Nayla dan Nayla mendengar pembicaraan mereka dengan perasaan ngilu di hatinya.“Santi apakah kau tahu mimpi ibu jadi kenyataan,” ucap Siska di sela aktivitas memasaknya.“Benarkah? Memang mimpi ibu apa?” tanya balik Santi. Siska tidak langsung menjawab, ia sejenak mematikan kom
“Mas!” “Apa yang kamu lakukan, Nayla? Kenapa kamu kasar?” Fery membantu Santi untuk berdiri sedangkan Nayla terus menggeleng karena ia merasa tidak melakukan apa pun.“Mas, aku tidak melakukan apa pun. Itu Santi sendiri yang jatuh.”“Tapi Mas lihat sendiri kamu mendorong Santi.”Nayla dibuat melongo, ia tidak Salah dengarkan? Tadi Fery benar-benar menuduhnya?“Mas nuduh aku mendorong Santi?” tanya Nayla dengan sedikit tidak percaya.“Mas bukan menuduh, tapi Mas Ngomong kaya gini karena melihat sendiri. Kalau Mas tidak melihatnya, Mas juga tidak akan ngomong seperti tadi.”Siska tiba-tiba datang, membuat suasana semakin tidak terkendali lagi. “Ada apa ini? Fery kenapa dengan Santi?” tanya Siska seraya mendekat pada Santi.“Santi jatuh, Bu.” Jawab Fery.“Lah, kok bisa?”“Gak apa kok, Bu. Mungkin Nayla gak sengaja.” Ucap Santi seolah-olah ia sengaja ingin membuat mertuanya semakin tidak menyukai Nayla.“Apa? Nayla? Jadi kamu yang menyebabkan Santi jatuh? Mau kamu itu apa, sih Nayla
Nayla bisa mendengar seseorang menanyakan keadaannya, namun, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosok yang telah menopang tubuhnya hingga dirinya tidak terjatuh ke tanah. Tubuhnya terlalu lemah saking tidak bisa menahan rasa sakit yang kini tengah menderanya. Perlahan penglihatan mulai buram serta pendengarnya mulai tidak begitu jelas. Pada akhirnya ia tak sadarkan diri di pangkuan seseorang yang baru saja menolongnya itu.Orang yang menolong Nayla kaget, karena tiba-tiba Nayla pingsan. Ia berusaha untuk membangunkan Nayla dengan menepuk-nepuk kedua pipi Nayla. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda Nayla akan membuka matanya.Alhasil karena posisi mereka sedang ada di depan rumah sakit, orang yang menolong Nayla langsung menggendong dan membawanya untuk diperiksa. Takut ada sesuatu yang serius terjadi dengan Nayla.Beberapa jam kemudian Nayla mulai tersadar dari pingsannya, kedua matanya mulai mengerjapkan berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya y
Melihat ekspresi serius sang dokter membuat Nayla semakin bertanya-tanya. Tadi bersikap senang sekarang malah terlihat sebaliknya.“Ada apa , Dok. Apakah ada masalah serius?” terka Nayla.Dokter Samuel menghela napas berat, ia seperti enggan untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Nayla mendengarkan dengan seksama perkataan Dokter Samuel hingga Nayla kaget mendengar perkataannya.“Lalu Kalau dokter pensiun, siapa yang akan mengobati penyakit saya? Sedangkan hanya dokter lah dokter yang saya percayai.” Nayla protes saat mendengar jika dokter Samuel akan pensiun.“Nyonya tenang saja, anak saya juga seorang dokter ahli kanker dia juga hari ini mulai kerja di sini. Jadi saat nanti saya pensiun kemungkinan satu atau dua bulan lagi atau mungkin ini pertemuan kita terakhir akan ada anak saya yang menggantikan. Nyonya jangan risau, dia juga keahliannya tidak perlu diragukan lagi.”“Apakah saya akan cocok sama anak dokter? Dokter tahu sendiri kan, saya selalu tidak cocok ka
Dua hari sudah Nayla ditinggalkan Fery berbulan madu. Hari-harinya hanya ia habiskan di taman belakang. Terasa sepi, ada sesuatu yang hilang di jiwanya. Ia menghela napas berat. Kenapa ia merasa beban hidupnya terasa bertambah dua kali lipat. Apakah keputusan dirinya untuk menikahkan suaminya dengan Santi adalah sebuah kekeliruan? Sebab ia malah merasa terbebani. Belum lagi mertuanya yang semakin hari semakin merasakan saja. Tidak pernah sekalipun memperlakukan dirinya dengan baik.Selama dua hari itu juga sama sekali tidak ada kabar dari Fery. Handphone miliknya sepi, meskipun berulang kali mengecek takut Fery menghubunginya dan hasilnya sama tidak ada satu pesan atau pun misscall.Ingin menghubungi terlebih dahulu ia tidak mau. Karena takut menggagu acaranya mereka. Nayla kira dengan dirinya tidak menghubungi suaminya, suaminya yang akan menghubungi dirinya terlebih dahulu. Kenyataan tidak ada sama sekali.“Mas, apakah kamu benar-benar menikmati acara bulan madumu? Sampai-sampai
Nayla menoleh ke arah suara teriakan disertai dengan memanggil namanya. Ia terkejut saat melihat Fery dan Santi sudah ada di tengah-tengah mereka. Bukannya menghampiri dirinya. Fery justru melewatinya dan membantu Siska untuk berdiri. “Ibu tidak apa-apa?” tanya Fery seraya menuntun Siksa berdiri.“Kepala ibu sakit, pinggang ibu juga sakit.” Keluh Siska. Nayla hanya bisa menatap tak percaya pada Siska. Karena ia merasa tidak melakukan apa pun.Fery melotot ke arah Nayla. Ia berusaha untuk membela dirinya. Karena merasa tidak melakukan apa-apa.“Mas, sungguh aku sama sekali tidak melakukan apa pun. Nayla...”“Berhenti membela dirimu sendiri Nayla!” sentak Fery. ”Dua kali, dua kali, Mas melihat kamu seperti ini. Pertama pada Santi dan sekarang ke ibu. Apa yang sebenarnya kamu inginkan Nayla?”Nayla sama sekali tidak percaya, sebab Fery tidak mempercayai dirinya. Justru di sini dirinyalah yang terzalimi.“Mas, Nayla sama sekali tidak melakukan apa pun, sungguh. Ibu hanya berleb
Di dalam kamar, Nayla terus saja kepikiran perkataan ibu mertuanya pada Fery. Lagi-lagi ibu mertuanya itu menghasut sang suami untuk mau melepaskan dirinya. Sudah ke sekian kali ia mendengar kata-kata seperti itu. Apakah mertuanya benar-benar tidak jera? Apakah tidak pernah bosan terus saja menghasut suaminya agar mau berpisah dengan dirinya?Sebenarnya di mana letak sanubari mertuanya itu? Atau mungkin dia memang sudah tidak memilikinya? Hingga mata hatinya tertutup.“Ya Allah, akan sampai kapan semua ini terjadi? Rasanya aku sudah mulai lelah.”Setelah meminum obat rasa sakitnya bisa teratasi. Hanya saja efeknya akan ada rasa kantuk yang menyerang. Dan kini rasa kantuk mulai hadir. Padahal tadinya ia akan menyiapkan makan siang. Namun sepertinya ia tidak bisa melakukannya.Matanya sudah terasa berat, maka ia langsung saja tertidur.Semen itu di dalam kamar Siska pembicaraan mereka masih saja berlanjut. Dengan segala akal bulusnya Siska berusaha untuk mempengaruhi Fery.“Fer, k