Seusai acara pernikahan kedua suaminya usai. Nayla langsung ke kamarnya. Tubuhnya terasa lelah, mungkin efek dari penyakitnya hingga ia tidak bisa untuk melakukan aktivitas yang menguras tenaga.
Padahal diacara Pernikahan suaminya itu, ia hanya membantu melayani para tamu dari pihak wanita. Namun mampu membuat dirinya kelelahan seperti ini.Nayla lalu merebahkan tubuhnya, kedua matanya menatap langit-langit kamar. Kembali hatinya terasa sakit tatkala mengingat kenyataan jika kini dirinya memiliki seorang madu. Lagi dan lagi air matanya luruh. Sekuat apa pun ia untuk terlihat baik-baik saja, tapi hatinya tidak bisa bohong jika ini terlalu sakit untuk dirinya.Tapi, dia berusaha untuk tidak egois. Bukankah semua ini demi kebaikan banyak pihak? Ya, banyak pihak. Tapi dia tidak peduli dengan perasaannya sendiri.Ceklek....Terdengar suara pintu dibuka, membuat Nayla refleks bangun dan menyeka air matanya. Ia terkejut saat mendapati suaminya malah masuk ke kamarnya bukan ke kamar pengantin, kamar yang sudah Nayla siapkan.“Lo, Mas. Kenapa ke sini?” tanya Nayla seraya memberikan tatapan keheranan pada suaminya.Ditanya seperti itu membuat Fery mengerutkan keningnya.“Ini kan kamar Mas sama kamu. Ya jelas Mas ke sini.” jawabnya yang memang tidak sepenuhnya salah.“Ish, bukan seperti itu maksud Nayla. Ini memang kamar kita. Tapi harusnya Mas ke kamar pengantin. Mas malah nyasar ke sini.” Ujarnya dengan diselingi kekehan.Fery kini duduk di samping Nayla, sama-sama duduk di atas ranjang. Lalu dengan wajah yang terlihat lelah itu Fery terus saja menatap Nayla.“Kamu kan Cuma minta Mas untuk menikahi sahabatmu. Bukan untuk tidur bersama.”Nayla menghela napas panjang. Diraihnya tangan Fery lalu ia menggenggamnya dengan erat. “Mas, meskipun Nayla gak bilang. Tetap saja mau tidak mau mulai sekarang kita harus berbagi ranjang. Dan untuk saat ini waktunya Mas sekamar dengan Santi.”“Mas Belum siap, Nay. Dia masih terasa asing di hidup Mas. Jadi biarkan malam ini Mas tidur di sini.” Fery berucap dengan manjanya. Ia bahkan langsung merebahkan tubuhnya dan menjadikan paha Nayla sebagai bantalan. Jangan lupa tangannya memeluk erat perut Nayla.Nayla tersenyum. Ia mengelus lembut kepala Fery. Suaminya ini memang selalu manja. Ia tidak bisa membayangkan jika dia harus lebih dulu dipanggil oleh Sang Kuasa. Siapa yang akan menggantikan dirinya? Namun sekarang dia tidak usah risau karena sudah ada istri pengganti yang akan menggantikan tugasnya serta yang akan memberikan keturunan untuk keluarga Senjaya.“Dengerin Nayla, ya, Mas. Nayla harap Mas mau menerima Santi sebagai istri Mas. Perlakuan dia sebagaimana Mas memperlakukan Nayla. Jika mas bilang masih terasa asing, lama-lama juga akan terbiasa. Asalkan mas jangan terus menghindar, penuhi hak dan kewajiban masing-masing. Kalau mas terus menghindar maka sampai kapan pun hubungan baru Mas dengan Santi akan terus asing. Mas ngertikan?”Tidak ada jawaban, saat Nayla lihat ternyata suaminya itu sudah terlelap. Ia jadi tidak tega jika harus membangunkan suaminya. Alhasil ia pun membiarkan suaminya tidur di kamar mereka, setidaknya sebelum ia benar-benar rela harus berbagi suami dan ranjang. Izinkan dirinya untuk tetap egois, memiliki suaminya seorang diri.Dengan perlahan, Nayla mengubah posisi tidur suaminya. Meletakkan kepalanya di bantal. Setelah itu ia melepaskan sepatu yang masih melekat di kakinya dan terakhir ia menyelimutinya hingga batas dada.Nayla menatap lekat wajah suaminya yang tidur begitu lelapnya. Dielus lembut pipi dan kepalanya seperti tengah mengelus pipi dan kepala anak kecil.“Tidur yang nyenyak, ya, suamiku. Aku sangat mencintaimu.”Sebuah kecupan mendarat di kening suaminya. Kecupan penuh cinta. Sejurus kemudian ia beranjak, tujuannya yaitu hendak ke kamar Santi. Ia ingin meminta maaf karena malam pengantin mereka harus terganggu karena suaminya justru tertidur di kamarnya.Saat Nayla hendak ke kamar Santi. Tiba-tiba Siska datang dan menghalangi langkahnya. Raut wajahnya sudah menunjukkan sebuah ketidaksukaan. Raut yang memang sering Nayla lihat pada mertuanya untuk dirinya.“Ibu, mau ke mana?” tanya Nayla berusaha untuk bersikap normal. Meskipun sebenarnya hatinya sudah tidak karuan karena melihat raut yang tidak bersahabat itu.“Mana Fery? Kamu sengaja sembunyikan dia kan? Biar malam ini dia tidak tidur dengan Santi?!” Tuduh Siska dengan sinisnya.“Astagfirullah, tidak, Bu. Nayla sama sekali tidak menyembunyikan mas Fery. Justru Nayla meminta Mas Fery untuk tidur di kamar Santi. Tapi mas Fery menolak, ia malah tidur di kamarku.”“Alasan! Ibu sebenarnya sudah bisa menduga jika sebenarnya kamu mengizinkan Fery menikah itu hanya untuk alibi kamu saja. Alibi agar aku tidak terus mendesak kamu untuk meminta Fery menikah. Dan setelah menikah kamu tetap kuasai Fery seorang diri, iya kan?”“Demi Allah, Bu. Nayla sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Nayla benar- benar ikhlas. Nayla juga menyadari akan kekurangan, Nayla....”“Sudahlah, jangan banyak omong! Awas saja kalau besok-besok kamu kaya gini, ibu pastikan kebencian ibu kepadamu akan semakin besar. Ingat itu!”Nayla tertunduk sedih, selalu dan selalu apa yang ia lakukan pasti salah di mata mertuanya itu. Nayla tidak mengerti dan kadang bingung menyikapi sang mertua. Namun, ia selalu ingat pesan suaminya, jangan pernah pedulikan perkataan ibunya. Anggap saja apa yang dikatakan ibunya hanyalah angin yang berembus. Ya, hanya sebuah angin namun mampu menghancurkan perasannya.Tak mau ambil pusing, Nayla pun kembali melanjutkan niatnya untuk menemui Santi. Dia jadi merasa tidak enak hati pada sahabatnya itu, sudah ia paksa untuk menikah dengan suaminya dan malam pengantinnya harus diabaikan oleh suaminya.Tepat di depan pintu kamar Santi, Nayla mengetuk pintu. Hingga tidak menunggu lama pintu itu terbuka dan di dorong dari dalam. Awalnya Nayla melihat sebuah senyuman di bibir Santi. Namun senyum itu tiba-tiba redup. Mungkin Santi kecewa karena yang datang bukan suaminya melainkan Nayla.Santi saat ini sudah berganti baju dengan menggunakan baju tidur. Aroma parfum sudah tercium oleh indra penciumannya. Nayla yakin sahabatnya ini benar-benar sedang menunggu kehadiran suaminya.Sedikit terkejut karena ia kira, Santi tidak akan seantusias seperti ini. Karena ia tahu jika Santi sempat menolak untuk jadi istri kedua suaminya.“Nayla ada apa?” Tanya Santi. Jangan lupa matanya ia edarkan sepertinya ia mencari seseorang. “Mas Fery mana?” lanjut lagi Santi saat ia tidak melihat Fery.“Sebenarnya... Aku ke sini mau bilang. Kalau...”Nayla menggantung perkataannya, ia merasa tidak enak hati untuk mengatakannya.“Mau bilang apa?” tanya Santi sedikit mendesak.“Malam ini Mas Fery tidur di kamarku, ya. Sungguh untuk malam ini saja. Aku tidak tega kalau harus membangunkan Mas Fery. Dia tidur begitu lelap, kalau kecapean Mas Fery memang suka seperti itu.”Santi diam dan Nayla merasa ada yang berbeda dengan Santi. Belum pernah sebelumnya Santi menatap dirinya dengan tatapan seperti sekarang.“Ternyata benar, ya apa yang dikatakan ibu. Kamu memang licik! Egois! Kamu maksa aku untuk menikah dengan Mas Fery tapi sekarang? Kamu enggan untuk berbagai.”Sungguh Nayla tidak menyangka jika respons Santi akan seperti ini. Dia kira Santi akan memaklumi namun ini di luar ekspektasinya.“Bukan seperti itu, Santi. Aku...”“Sudahlah, aku mau tidur!”Santi menutup pintu kamarnya dengan kesal. Ia lalu menyenderkan punggungnya di balik pintu.“Awas saja, Nayla. Akan aku pastikan Mas Fery jadi milikku seutuhnya.”Kejadian semalam membuat Nayla tidak bisa tidur. Ia terus saja kepikiran Santi. Ia yakin Santi pasti kecewa padanya. Padahal dirinya sudah meminta Fery untuk tidur di kamar Santi. Oleh karena itu, ia akan meminta maaf kembali karena semalam Santi seperti marah kepadanya.Saat ini Santi tengah bersama Siska –mertuanya. Mereka tengah memasak bersama tanpa bantuan asisten rumah tangga, tak lupa keduanya saling bersenda gurau, pemandangan yang membuat dirinya iri. Ingin rasanya ia pun diperlakukan seperti itu oleh Siksa. Namun, rasanya itu hanya akan jadi khayalan dirinya saja. Sesuatu yang tidak mungkin terwujud. Siska dan Santi sama sekali tidak menyadari kedatangan Nayla. Mereka pun tanpa sadar membicarakan Nayla dan Nayla mendengar pembicaraan mereka dengan perasaan ngilu di hatinya.“Santi apakah kau tahu mimpi ibu jadi kenyataan,” ucap Siska di sela aktivitas memasaknya.“Benarkah? Memang mimpi ibu apa?” tanya balik Santi. Siska tidak langsung menjawab, ia sejenak mematikan kom
“Mas!” “Apa yang kamu lakukan, Nayla? Kenapa kamu kasar?” Fery membantu Santi untuk berdiri sedangkan Nayla terus menggeleng karena ia merasa tidak melakukan apa pun.“Mas, aku tidak melakukan apa pun. Itu Santi sendiri yang jatuh.”“Tapi Mas lihat sendiri kamu mendorong Santi.”Nayla dibuat melongo, ia tidak Salah dengarkan? Tadi Fery benar-benar menuduhnya?“Mas nuduh aku mendorong Santi?” tanya Nayla dengan sedikit tidak percaya.“Mas bukan menuduh, tapi Mas Ngomong kaya gini karena melihat sendiri. Kalau Mas tidak melihatnya, Mas juga tidak akan ngomong seperti tadi.”Siska tiba-tiba datang, membuat suasana semakin tidak terkendali lagi. “Ada apa ini? Fery kenapa dengan Santi?” tanya Siska seraya mendekat pada Santi.“Santi jatuh, Bu.” Jawab Fery.“Lah, kok bisa?”“Gak apa kok, Bu. Mungkin Nayla gak sengaja.” Ucap Santi seolah-olah ia sengaja ingin membuat mertuanya semakin tidak menyukai Nayla.“Apa? Nayla? Jadi kamu yang menyebabkan Santi jatuh? Mau kamu itu apa, sih Nayla
Nayla bisa mendengar seseorang menanyakan keadaannya, namun, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosok yang telah menopang tubuhnya hingga dirinya tidak terjatuh ke tanah. Tubuhnya terlalu lemah saking tidak bisa menahan rasa sakit yang kini tengah menderanya. Perlahan penglihatan mulai buram serta pendengarnya mulai tidak begitu jelas. Pada akhirnya ia tak sadarkan diri di pangkuan seseorang yang baru saja menolongnya itu.Orang yang menolong Nayla kaget, karena tiba-tiba Nayla pingsan. Ia berusaha untuk membangunkan Nayla dengan menepuk-nepuk kedua pipi Nayla. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda Nayla akan membuka matanya.Alhasil karena posisi mereka sedang ada di depan rumah sakit, orang yang menolong Nayla langsung menggendong dan membawanya untuk diperiksa. Takut ada sesuatu yang serius terjadi dengan Nayla.Beberapa jam kemudian Nayla mulai tersadar dari pingsannya, kedua matanya mulai mengerjapkan berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya y
Melihat ekspresi serius sang dokter membuat Nayla semakin bertanya-tanya. Tadi bersikap senang sekarang malah terlihat sebaliknya.“Ada apa , Dok. Apakah ada masalah serius?” terka Nayla.Dokter Samuel menghela napas berat, ia seperti enggan untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Nayla mendengarkan dengan seksama perkataan Dokter Samuel hingga Nayla kaget mendengar perkataannya.“Lalu Kalau dokter pensiun, siapa yang akan mengobati penyakit saya? Sedangkan hanya dokter lah dokter yang saya percayai.” Nayla protes saat mendengar jika dokter Samuel akan pensiun.“Nyonya tenang saja, anak saya juga seorang dokter ahli kanker dia juga hari ini mulai kerja di sini. Jadi saat nanti saya pensiun kemungkinan satu atau dua bulan lagi atau mungkin ini pertemuan kita terakhir akan ada anak saya yang menggantikan. Nyonya jangan risau, dia juga keahliannya tidak perlu diragukan lagi.”“Apakah saya akan cocok sama anak dokter? Dokter tahu sendiri kan, saya selalu tidak cocok ka
Dua hari sudah Nayla ditinggalkan Fery berbulan madu. Hari-harinya hanya ia habiskan di taman belakang. Terasa sepi, ada sesuatu yang hilang di jiwanya. Ia menghela napas berat. Kenapa ia merasa beban hidupnya terasa bertambah dua kali lipat. Apakah keputusan dirinya untuk menikahkan suaminya dengan Santi adalah sebuah kekeliruan? Sebab ia malah merasa terbebani. Belum lagi mertuanya yang semakin hari semakin merasakan saja. Tidak pernah sekalipun memperlakukan dirinya dengan baik.Selama dua hari itu juga sama sekali tidak ada kabar dari Fery. Handphone miliknya sepi, meskipun berulang kali mengecek takut Fery menghubunginya dan hasilnya sama tidak ada satu pesan atau pun misscall.Ingin menghubungi terlebih dahulu ia tidak mau. Karena takut menggagu acaranya mereka. Nayla kira dengan dirinya tidak menghubungi suaminya, suaminya yang akan menghubungi dirinya terlebih dahulu. Kenyataan tidak ada sama sekali.“Mas, apakah kamu benar-benar menikmati acara bulan madumu? Sampai-sampai
Nayla menoleh ke arah suara teriakan disertai dengan memanggil namanya. Ia terkejut saat melihat Fery dan Santi sudah ada di tengah-tengah mereka. Bukannya menghampiri dirinya. Fery justru melewatinya dan membantu Siska untuk berdiri. “Ibu tidak apa-apa?” tanya Fery seraya menuntun Siksa berdiri.“Kepala ibu sakit, pinggang ibu juga sakit.” Keluh Siska. Nayla hanya bisa menatap tak percaya pada Siska. Karena ia merasa tidak melakukan apa pun.Fery melotot ke arah Nayla. Ia berusaha untuk membela dirinya. Karena merasa tidak melakukan apa-apa.“Mas, sungguh aku sama sekali tidak melakukan apa pun. Nayla...”“Berhenti membela dirimu sendiri Nayla!” sentak Fery. ”Dua kali, dua kali, Mas melihat kamu seperti ini. Pertama pada Santi dan sekarang ke ibu. Apa yang sebenarnya kamu inginkan Nayla?”Nayla sama sekali tidak percaya, sebab Fery tidak mempercayai dirinya. Justru di sini dirinyalah yang terzalimi.“Mas, Nayla sama sekali tidak melakukan apa pun, sungguh. Ibu hanya berleb
Di dalam kamar, Nayla terus saja kepikiran perkataan ibu mertuanya pada Fery. Lagi-lagi ibu mertuanya itu menghasut sang suami untuk mau melepaskan dirinya. Sudah ke sekian kali ia mendengar kata-kata seperti itu. Apakah mertuanya benar-benar tidak jera? Apakah tidak pernah bosan terus saja menghasut suaminya agar mau berpisah dengan dirinya?Sebenarnya di mana letak sanubari mertuanya itu? Atau mungkin dia memang sudah tidak memilikinya? Hingga mata hatinya tertutup.“Ya Allah, akan sampai kapan semua ini terjadi? Rasanya aku sudah mulai lelah.”Setelah meminum obat rasa sakitnya bisa teratasi. Hanya saja efeknya akan ada rasa kantuk yang menyerang. Dan kini rasa kantuk mulai hadir. Padahal tadinya ia akan menyiapkan makan siang. Namun sepertinya ia tidak bisa melakukannya.Matanya sudah terasa berat, maka ia langsung saja tertidur.Semen itu di dalam kamar Siska pembicaraan mereka masih saja berlanjut. Dengan segala akal bulusnya Siska berusaha untuk mempengaruhi Fery.“Fer, k
Nayla masih terduduk lesu di lantai kamarnya. Sungguh ini di luar kendalinya. Setelah ia merasa lebih baik. Nayla hendak menyusul Fery yang mungkin saja ada di kamar Santi.Dengan sedikit berlari Nayla menuju kamar Santi. Dirinya ingin meminta maaf atas kelancangannya karena meninggikah suaranya. Berulang kali Nayla mengetuk pintu kamar Santi namun tidak ada yang merespons. “Mas, buka pintunya! Nayla minta maaf. Nayla memang salah. Nayla janji tidak akan seperti tadi lagi, Nayla juga janji tidak akan meminta ini itu lagi. Tapi tolong buka pintunya.” Nayla terus menangis meraung di depan pintu kamar Santi. Di dalam kamar Santi memang ada Fery dan ia sengaja tidak ingin menemui Nayla dulu. Fery ingin membuat Nayla benar-benar menyadari kesalahannya. Padahal, tidak ada yang salah dengan Nayla. Justru di sini Fery lah yang salah. Ia tidak lagi peka seperti dulu. Sedangkan Nayla ingin ada yang memperhatikan dirinya. Agar ia merasa benar-benar dibutuhkan kehadirannya hingga semangat untu