"Calista? kamu belum tidur yah? kok balik ke sini lagi?" tanya Nadine saat Calista masuk ke ruangan VVIP."Jangan khawatir Nona. Saya baru saja ambil barang-barang Nona di hotel, karena hari ini cek out. Jadi atas perintah Ibu Pamela, jadi saya pindahkan koper Nona ke rumah Ibu Pamela.""Apa? Kenapa harus dipindahkan ke rumah Ibu Pamela? Saya jadi merasa nggak enak udah merepotkan dia." kata Nadine membelalak."Jangan khawatir Nona, rumah Ibu Pamela itu sangat besar. Jadi sudah saya siapkan kamar untuk Nona dan Ibu Nona. Karena itu perintah dari ibu Pamela."Calista yang sudah ditugaskan langsung untuk menjaga Nadine dan ibunya, sudah menyiapkan satu kamar di rumah Pamela. Calista, seorang gadis muda cantik, yang sudah terlatih khusus untuk menjaga Pamela, namun sekarang, Pamela ingin Calista menjaga Nadine dan ibunya.Alena meraih tangan Nadine. "Kalau mereka itu baik, dan menghargai kamu, apa yang gak pernah kamu dapatkan dari mertua kamu ataupun suami kamu. Kamu pun harus hargai ke
Nadine seolah tahu ucapan suara di telpon Pamela baru saja. Jantungnya berdegup keras. "Apa ini tentang Mama Bu? Mama kenapa?"Pamela tidak menjawab. Ia tetap menarik Nadine untuk melangkah lebih cepat lagi, menuju ruang ICU. Hal ini membuat Nadine ingin menangis. 'Pasti Mama kenapa-napa,'Sepanjang lorong, hatinya bertanya-tanya dengan rasa cemas yang menghinggapi hatinya.Tanpa sadar mereka bertabrakan dengan Rubia. Membuat mata Rubia memandang kaget. Tak kalah terkejutnya dengan Nadine. Tapi Nadine tak mau menegur, ia tetap berjalan cepat bersama Pamela menyusuri lorong itu. Pamela dan Nadine masuk ke ruang ICU. Di mana Di situ Stev sudah menunggu dengan alat kejut jantung di tangannya."Nadine cepat! kamu harus tanda tangan ini. Karena tindakan harus segera dimulai!Nadine segera menanda tangani persetujuan tindakan kejut jantung untuk Alena."Kalian tunggu di luar. Kami segera menindaki ini," ucap Stev panik.Mata Nadine berkaca-kaca melihat wajah Alena pucat pasi tak bergerak
"Bukannya aku gak mau menerima tawaran Ibu dan Bapak. Tapi aku nggak mau jauh dari mama. Biarkan Mama dirawat di sini, dan biarkan aku yang mengurusnya," ucap Nadine sambil memainkan kuku-kukunya, menutupi rasa gugup."Aku mengucapkan banyak terima kasih atas keprihatinan Bapak dan Ibu, terhadap Mama aku. Tapi maaf, untuk kali ini saya menolak."Steve mengangkat bahunya. Ia tidak bisa bicara apa-apa lagi atas kehendak Nadine."Baiklah, kalau kamu yang mau mengurus sendiri, kami berdua tidak bisa apa-apa. Ketentuan ada di tangan kamu. Dan kami tidak bisa memaksa," ucap Pamela."Nadine, sepertinya kamu sudah lelah. Tidurlah dulu di sini. Jangan sampai kamu yang sakit." tukas Stev."Mama kamu biar menjadi urusan saya, kamu nggak usah khawatir. Setelah beliau siuman, akan saya pindahkan ke ruang VVIP. Ok, kalau begitu saya tinggal dulu."Setelah dokter Stev hilang dari pandangan Pamela dan Nadine. Ada kesempatan untuk mereka berbincang-bincang."Nadine, sebetulnya apa yang terjadi sama m
Pamela dan Stev sama-sama tersenyum memandang wajah Nadine. Namun malam ini, wajah itu terlihat pucat dan tertekan. "Saya dengar, ibu anda mengalami gangguan jantung. Saya segera periksa beliau." ujar dokter Stev berjalan cepat ke ruang ICU. Pamela duduk bersama Nadine. "Ibu dengar dari Calista, tadi dia telpon Ibu Katanya mama kamu masuk rumah sakit. Makanya kami kemari. Kebetulan Ibu dan Bapak belum tidur." "Calista? Maaf, saya gak bermaksud mengganggu Bapak dan Ibu malam-malam gini," jawab Nadine merasa tidak enak, kalau sampai ia mengganggu bosnya. "Gak perlu kamu minta maaf, kami berdua tidak merasa direpotin sama kamu." "Jadi Ibu dan Bapak sudah pulang dari Sidney? Kapan? Kok aku gak ada kabar kepulangan Ibu?" "Sebetulnya dari dua hari yang lalu, tapi kami sibuk. Jadi nggak bisa kasih tahu kamu. Maaf yah," ucap Pamela menepuk paha Nadine. Nadine tersenyum kecil. "Kenapa harus minta maaf Bu. Aku tahu kok, ibu dan bapak memang sama-sama sibuk." "Nanti kalau mamamu sudah se
Udara dingin malam itu terasa menyengat hingga ke tulang. Cepat-cepat Nadine turun memanggil seseorang yang bertugas malam itu."Pak, tolong cepat Pak. Mama saya pingsan, tolong saya Pak!" kata Nadine cemas, nafasnya tersengal.Security yang sedang berdiri, langsung cepat memanggil perawat untuk mengambil brangkar. Seorang perawat pria meraih brangkar dan mendorong ke arah mobil. Calista membantu mengangkat tubuh Alena, meletakkan ke atas brangkar. Perawat pria itu mendorongnya ke ruang IGD.Sepanjang lorong menuju IGD, air mata Nadine tak henti mengalir. Kecemasan menyelubungi pikirannya. Jantungnya berdegup keras."Maafin Nadine ya, Ma. Nadine sempat gak percaya sama Mama. Nadine sempat marah sama Mama. Mereka semua penipu, mereka jahat." gumam bibir Nadine yang terus berceloteh memohon maaf sambil terisak. "Tuhan, sembuhkan Mama. Aku gak mau Mama kenapa-napa. Aku mau Mama sehat. Jangan ambil dia, walau pun suatu saat nanti aku sukses."Tiba-tiba Nadine teringat ucapan Alena. ("Mam
"RUMAH TANGGA ANAKKU?!" Ucapan Rubia, sang mertua masih terngiang di telinganya. Tak ada cela untuk Nadine memberikan penjelasan apa pun. Dan kini, tak ada lagi ruang untuk Nadine bertahan di rumah ini.'Mama mertuaku gak pernah menganggap aku memantunya. Seolah aku ini hanyalah bayangan kasat mata.'"Cepat pergi!" seru Rubia menunjuk jari telunjuknya ke pintu."Baik Ma, aku akan pergi, setelah aku kemasin barang-barang aku," Nadine bertekat malam ini juga ia angkat kaki dari rumah ini."Oh iya, satu lagi Ma," Nadine membalikkan badannya ke belakang menatap Rubia."Sebelumnya, aku mau bersihkan badanku dulu, karena sudah ternoda oleh anak mama. Aku nggak mau badanku ada banyak noda."Suara Nadine dingin. Entah Kenapa saat ini ia berani mengucapkan itu pada Rubia. Seolah dirinya bukanlah Nadine yang dulu.Maka Nadine langsung masuk ke kamar mandi. Melepas pakaiannya yang kusut. Menyiram dirinya dengan air shower. Menggosokkan seluruh tubuh dan wajahnya dengan sabun sekeras-kerasnya. R