Bab 3 Tertangkap
"Dimana gadis itu? Pasti nggak jauh dari sini,” teriak salah seorang preman bertubung kurus. Kedua preman masih mengedarkan pandangan mencari keberadaan Gita yang tidak terlihat seujung rambutpun.
"Ya Rabb, inikah balasan atas perbuatanku meninggalkan suami. Sungguh ini awal kemalanganku. Tolonglah hamba-Mu ini!"
Prank,
Suara benda jatuh tak sengaja tersenggol Gita yang sedang bersembunyi di dekat tong sampah besar.
"Itu, dia. Tangkap, kak!"
"Mau kemana kamu gadis cantik? Ayo kita minum-minum dulu!"
Andai bisa beladiri, Gita pasti akan menghajarnya sekarang. Namun itu hanya dalam mimpinya.
"Jangan mengganggu wanitaku! Pergi dari sini!" Bentakan laki-laki bertubuh tinggi besar membuat dua preman tadi kocar kacir.
"Terimakasih, Pak."
"Tak masalah, kamu mau kemana? Ini sudah malam, ayo saya antar!"
"Saya dijemput teman di gerbang masuk terminal."
"Ya sudah, ayo!"
Gita menurut saja masuk ke mobil sedan warna hitam. Tak terbesit dia orang baik atau jahat, Gita menganggapnya sebagai dewa penolong.
"Minum dulu, biar kamu tenang!" perintahnya.
Namun prasangka baiknya terpatahkan. Kenapa butuh lama untuk sampai gerbang terminal. Tiba-tiba mobil ditepikan di daerah jauh dari pemukiman. Rasa curiga Gita terbukti, laki-laki yang disangka dewa penolong memandangnya penuh seringai.
Pandangan Gita tiba-tiba sedikit kabur. Dia memegang kepala yang mulai terasa pening.
"Kenapa kepalaku pusing sekali."
Tangan laki-laki itu mulai menggerayangi tubuh Gita.
"Jangan, Pak! Tolong lepaskan saya!"
"Kamu pikir aku menolongmu dengan sukarela? Jangan mimpi! Di dunia ini tidak ada yang gratis."
"Ampun, Pak!" Gita memohon belas kasihan dengan sisa tenaganya. Namun sang pelaku tak berhenti melakukan aksinya.
Masih dengan sisa kewarasannya, Gita meraih parfum mobil, lalu menyemprotkan ke wajah lawannya.
"Aargh, wanita sial*an."
Buru-buru Gita meraih gagang pintu mobil dan berusaha kabur.
Namun badannya tak mampu berdiri tegak, pandangan pun seketika menjadi gelap.
Brukk.
"Hai, bangun! Ckk, menyusahkan saja."
*****
"El, mana temanmu? Sudah satu jam kita di sini nggak tampak juga batang hidungnya."
"Iya, Om, Maaf. Ponselnya nggak bisa dihubungi juga,nih. Gimana kalau terjadi apa-apa sama Gita, Om?"
"Ishhh, jangan berprasangka buruk dulu! Bisa jadi dia ada saudara di sini?"
"Nggak ada sama sekali, Om. Bahkan kenalan juga enggak punya."
"Mau nunggu berapa lama lagi? Kasihan tante sendirian di rumah menjaga baby yang lagi demam."
Perasaan bersalah menyelimuti Ela. Antara tak tega meninggalkan Gita juga tak enak dengan keluarga tantenya.
"Ya sudah, Om. Semoga saja Gita tidak kenapa-kenapa. Jangan-jangan suaminya membuntuti."
"Apa katamu?"
"Ah, tidak ada, Om. Mungkin dia memang minta dijemput saudaranya karena kita sedikit terlambat."
Ela tidak berani bercerita kalau Gita baru saja kabur dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Bisa-bisa om-nya menilai Gita bukan wanita baik-baik karena mengabaikan suami.
Di tempat lain, Bintang kembali ke rumah orang tuanya.
"Bintang, yang sabar, Nak! Mama nggak apa-apa kalau kamu nggak mau nerima istrimu. Tapi jangan sakiti dia! Mungkin dia belum siap." Hanya mamanya yang memanggil dengan sebutan Bintang sejak kecil tanpa mendapat balasan kemarahan Ardi. Kalau orang lain yang memanggil, Ardi pasti sudah murka, bahkan jika orang itu papanya.
"Ar, tolong cari dia! Kasihan ayah ibunya," titah sang papa.
"Aku pasti akan mencarinya sampai ketemu, Ma, Pa."
Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya.
Dua jam yang lalu.
Ardi menghadang seorang laki-laki bernama Toni yang merupakan sahabat Gita.
"Kamu temannya Gita, bukan?"
"Be...benar, Masnya siapa, Ya?" Toni menjawab terbata saat ditanya Ardi dengan muka dingin.
"Saya Bintang Lazuardi suami Anggita Larasati."
Toni membelalak tak percaya. Bagaimana bisa orang ini suami Gita. Katanya suaminya namanya Atmaja, sudah beristri dan punya anak. Kenapa yang ini masih seumuran kakaknya. Apa jangan-jangan ini anak tiri Gita.
Bab 4 Pelayan"Kamu dengar saya!"Lamunan Toni dibuyarkan oleh bentakan Ardi."Ma ...maaf, Mas. Tapi suami Gita.""Tidak perlu basa-basi, katakan dimana Gita?""Saya tidak tahu." Toni masih memegang janjinya pada Gita untuk merahasiakan kepergiannya ke Yogya."Perlu saya laporkan polisi kalau kamu membawa kabur istri orang?""Hah,saya tidak membawa kabur.""Ya, hanya membantunya kabur, bukan?""Cepat katakan dimana Gita atau nama baikmu tercemar dalam hitungan menit!"Tangan Ardi sudah mencengkeram kerah Toni yang tubuhnya gemetaran. Sejatinya dia tidak benar-benar takut dengan sosok di depannya. Dia justru takut kalau kakaknya tahu kelakuannya. Kakaknya pasti murka dan berimbas akses keuangannya dibekukan."Hmm, Gita pergi ke Yogya."Ardi terbahak membuat Toni heran."Bagus, akan mudah bagiku menemukannya.""Tolong jangan sakiti dia! Gita melakukannya karena terpaksa. Dia ingin kuliah untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.""Punya hak apa kamu? Aku suaminya. Jangan coba-coba
Bab MenggodaMenikah? Kemarin? Mendengar kalimat itu membuat dada Gita nyeri. Rasa bersalah menyeruak dan menyesakkan. Tak ingin menjadi bulan-bulanan hidup dalam kubang kesalahan, Gita selalu meminta maaf dalam hati pada suaminya.Dia ingat pesan ayahnya. Ridho Allah tergantung ridho suaminya.Kenapa baru sekarang logikanya jalan, kemana kemarin saat dia sedang dilanda kerisauan.Gita bergidik ngeri, rasa takut mendapat murka suami bahkan murka Allah mendadak menghantuinya."Ada apa, Ras?" Revan heran melihat Gita yang diam dan melamun."Eh, tidak, Van. Aku hanya bingung karena cuma ini yang aku punya." Gita menunjukkan ponsel yang dipegangnya. Tas berisi baju dan uang masih tertinggal di mobil laki-laki brengsek semalam."Tenang saja, nanti aku minta Melia mengantarmu beli baju dan keperluanmu.""Melia?""Dia pacarku, lebih tepatnya calon istriku. Tapi aku tidak tahu kapan kami siap menikah. Sudahlah, kita tidak perlu membahasnya." Ada gurat kesedihan di wajah Revan yang tertangka
Bab 6 Layani AkuSarapan? Di kamar? Sepuluh sampai tiga puluh menit? Astaga, apa yang ingin mereka lakukan di kamar. Pikiran Gita sudah melanglang buana. Tubuhnya meremang, mengetahui keadaan sesungguhnya dunia luar.Sejauh ini, dia hanya bergaul dengan Toni dan Ela tentunya yang lurus-lurus saja. Bukankah berteman itu bisa dengan siapapun, hanya saja berteman dengan orang yang baik atau buruk ada peluang kita mengikuti perangainya. Perlu selektif dalam memilih teman yang bisa menjadikan kita lebih baik atau justru semakin buruk.Bergegas ke dapur, Gita tak mau berkutat dengan prasangka buruk. Melintasi kamar yang tertutup pintunya, terdengar jelas suara desahan wanita dan pria. Entah apa yang mereka lakukan di dalam, Gita hanya meneguk ludahnya seraya meraba tubuhnya yang merinding kaku."Astaghfirullah. Apa mereka melakukan itu? Revan menganggapku adik, mungkin suatu saat aku akan menegurnya, tidak sekarang, bisa-bisa aku diusir dari sini. Selama aku dekat dengannya yang sudah memba
Bab 7 Benci"Layani aku dengan baik, kamu akan mendapat bayaran yang pantas!" Ardi menatap tajam mata indah Gita, membuat gadis manis itu tersentak."Layani? Maksudnya apa?"Deg,Ya Rabb, cobaan apalagi ini. Yang benar saja aku akan hidup seatap dengan manusia berperangai monster ini? Kelakuannya sepertinya lebih menyeramkan dari Revan."Jangan menakutinya, Ar!" larang Revan pada Ardi seketika meledakkan tawanya.Bisa tertawa juga ternyata, batin Gita."Mel, pacarmu sudah ada tanda-tanda mencurigakan. Awasi dia!""Ckk, lama-lama bisa penat aku di sini. Ayo Sayang kita bersenang-senang saja! Baik-baik kamu di sini, Ras. Tolong jinakkan singa ini!"Kini gantian Revan yang meledek Ardi membuat pemilik rumah bergaya modern itu melongo."Tunggu, Van! Terima kasih banyak, ya sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Melia yang mendengar ucapan tulus Gita justru menatapnya sinis."Kedepan tidak usah merepotkannya lagi!" cegah Melia."Tidak masalah, cukup doakan saja aku awet bersama Mel
Bab 8 Ancaman"Jangan sekali-kali menyebut kata itu di depanku! Mengerti!"Tatapan Ardi menusuk tajam membuat Gita gemetaran."Ba...baik, Tuan."Ardi berlalu meninggalkan Gita yang bergeming di tempatnya.Gebrakan pintu kamar membuatnya tersadar lalu dia mengelus dada seraya beristighfar."Non, jangan membuat Tuan Ardi marah! Sabar ya kalau tinggal di sini!"Wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART menelusup ke kamar dan menghibur Gita."Iya, Bi. Apa tuan memang tempramennya begitu? Kalau marah seperti monster?""Tidak juga, Non. Malahan Tuan Ardi yang bibi kenal orangnya ramah. Sejak pulang dari rumah orang tuanya jadi sering emosi begitu.""Tuan sudah menikah kan, Bi? Kenapa dia marah saat aku menanyakan istri karena ada wanita yang akan datang sebentar lagi.""Bibi nggak tahu, Non. Istrinya belum pernah diajak ke sini. Kalau tentang wanita, Tuan Ardi memang beberapa kali mengajak wanita cantik dan seksi kemari. Kadang diajak minum-minum bersama Tuan Revan.""Hah, Tuan Revan juga?
Bab 9A Khilaf "Oh, di sini tak nyaman ya?"Ardi menyeret Gita yang sudah meronta, lalu menghempaskannya ke ranjang king size.Gita sudah menangis dan sekuat tenaga melawan tuannya."Ya Rabb, tolonglah hamba!"Rintihan Gita tak menyurutkan kelakuan Ardi hingga membuat gadis itu pasrah dan perasaan bersalah pada suaminya melintas di benaknya.Saat manik mata Ardi mengunci lawannya yang pasrah, terbesit rasa bersalah dalam dirinya. Ada perasaan aneh yang tidak bisa digambarkannya. Debaran jantung yang kian meningkat memaksanya menyudahi ulahnya."Berapa umurmu?" tanya Ardi dengan tegas sembari membetulkan posisinya dan menarik tangan Gita supaya bangun.Memilih menjaga jarak dari singa yang baru saja jinak entah oleh apa, Gita mengusap air matanya. Sesekali masih ada isakan kecil yang tersisa."18 Tuan.""Pantas saja, nggak pernah disentuh laki-laki? Baru juga digertak sudah ketakutan setengah mati. Bagaimana kalau yang di posisiku suamimu, huh? Pasti menyedihkan," ledek Ardi setengah m
Bab 9B Khilaf "Yang benar saja Tuan Ardi tidak jijik memakan bekas saya," guman Gita seraya keningnya mengerut. "Baru kali ini aku makan masakan lezat. Siapa yang masak, Ras?" "Maaf, Tuan. Capcay ini saya yang masak." "Bagus, besok dan seterusnya aku perintahkan kamu yang masak. Bi Irah biar mengerjakan yang lain." "Baik, Tuan." "Saya beri gaji yang pantas untukmu." Wajah Gita berbinar, dia berharap bisa mendapat gaji untuk bertahan hidup di kota Yogya tanpa sanak saudara. Dia harus segera mendaftar kuliah jika tidak mau terlambat tahun ini. "Tuan, besok saya ingin menemui teman. Apa saya boleh keluar?" "Teman? Memangnya kamu punya teman di sini?" "Iya, teman saya mau mendaftar kuliah, saya ingin bareng teman saya." "Jadi kamu mau kuliah? Baguslah, segera hengkang dari rumah ini biar tidak mengganggu moodku bersama Jessy." Deg, "Tuan Ardi sudah punya istri masih suka main perempuan, apa tidak kasihan dengan istrinya," batin Gita. "Kenapa Tuan Ardi tidak menikah saja biar
Bab 10A Nama Lengkapnya Siapa"Ta, kamu tinggal sama suamimu?""Hah, kamu ngacau deh, Ton. Aku kan kabur dari suamiku masak iya tinggal sama dia."Toni masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Apa mungkin pandangannya sudah kabur. Dia hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Kayaknya aku perlu memeriksakan mataku, deh," ungkap Toni yang diangguki kedua sahabatnya."Kamu baik-baik saja kan, Ta?"Ela memeluk dengan eratnya membuat Gita sesak nafas."Sabar, El. Ayo kita cari tempat duduk!" ajak Gita yang sudah tak sabar mendongeng."Jadi, siapa yang mengantarmu tadi, Ta?" Toni sudah tak sabar menantikan cerita sahabatnya.Ela memukul lengan Toni hingga terdengar suara mengaduh."Kenapa nggak sabaran,sih? Nanyain dulu kabar Gita, bukannya malah tanya laki-laki....yang keren tadi."Kalimat Ela mantap di awal, tetapi lirih di akhir membuat Toni pura-