Bab 4 Pelayan
"Kamu dengar saya!"
Lamunan Toni dibuyarkan oleh bentakan Ardi.
"Ma ...maaf, Mas. Tapi suami Gita."
"Tidak perlu basa-basi, katakan dimana Gita?"
"Saya tidak tahu." Toni masih memegang janjinya pada Gita untuk merahasiakan kepergiannya ke Yogya.
"Perlu saya laporkan polisi kalau kamu membawa kabur istri orang?"
"Hah,saya tidak membawa kabur."
"Ya, hanya membantunya kabur, bukan?"
"Cepat katakan dimana Gita atau nama baikmu tercemar dalam hitungan menit!"
Tangan Ardi sudah mencengkeram kerah Toni yang tubuhnya gemetaran. Sejatinya dia tidak benar-benar takut dengan sosok di depannya. Dia justru takut kalau kakaknya tahu kelakuannya. Kakaknya pasti murka dan berimbas akses keuangannya dibekukan.
"Hmm, Gita pergi ke Yogya."
Ardi terbahak membuat Toni heran.
"Bagus, akan mudah bagiku menemukannya."
"Tolong jangan sakiti dia! Gita melakukannya karena terpaksa. Dia ingin kuliah untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya."
"Punya hak apa kamu? Aku suaminya. Jangan coba-coba ikut campur urusan kami!"
Ardi berlalu meninggalkan Toni yang terpaku karena merasa bersalah telah mengingkari janjinya pada sahabatnya.
"Maafkan aku, Gita! Aku harap hidupmu tenang dan bahagia," lirihnya seraya menunduk.
*****
Fajar menyingsing menelisik sebuah kamar dengan korden sedikit terbuka sinarnya menyilaukan mata membuat sang empunya bangun dan beberapa kali mengerjap.
Saat menyadari dirinya tidak berada di kamarnya, Gita terlonjak kaget. Dia meraba pakaiannya masih lengkap bahkan jilbabnya masih melekat, artinya tidak terjadi apa-apa semalam.
Dipijitnya pelipis untuk mengurangi pusingnya yang masih tersisa.
"Sudah bangun?"
Laki-laki ini siapa? Jelas bukan yang semalam mau melecehkan aku, juga bukan salah satu dari dua preman.
"Tuan siapa? Bagaimana saya bisa ada di sini?"
"Namaku Revando Saputra, panggil saja Revan. Aku menemukanmu tergeletak di pinggir jalan. Sepertinya kamu keluar dari sebuah mobil yang tidak jauh dari lokasi. Karena tidak ada yang mencarimu, lalu aku membawamu kemari."
Syukurlah ada yang menolongku semalam.
"Izinkan saya sholat subuh dulu, saya benar-benar sudah kesiangan."
Deg, Revan kebingungan. Baru kali ini dia tersentil. Biasanya pacarnya kalau menginap di rumah tidak mengingatkan kewajiban seorang muslim itu.
"Saya hanya punya sajadah, tetapi lupa naruhnya," ucap Revan malu-malu. Sebenarnya dia sudah lama tidak melaksanakan kewajibannya kepada Rabbnya. Apakah ini teguran untuknya, batinnya.
"Maaf sudah merepotkan Tuan Revan. Saya hanya perlu air untuk berwudhu."
Selesai sholat Subuh, Gita memilih keluar kamar karena merasa kurang nyaman hanya berdua saja, siapa yang tahu mereka bisa saja terjerumus oleh bisikan setan.
"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih Tuan."
"Jangan panggil tuan, Revan saja! Siapa namamu? Dimana kamu tinggal?"
"Nama saya Laras, baru lulus SMA. Saya di Yogya mau cari kerja. Semalam ada teman mau jemput di terminal, tetapi ada preman yang ingin berbuat jahat pada saya."
Aku tidak berbohong bukan, Laras juga bagian dari namaku. Setidaknya sekarang aku perlu berhati-hati dengan orang asing. Aku tidak mau kena tipu muslihat lagi.
"Lalu kenapa kamu sampai pingsan di jalan?" Revan mendaratkan pant*tnya di sofa berseberangan dengan duduk Gita.
"Apa setelah aku cerita, kamu mau membantuku, Van?"
"Tergantung ceritamu."
Gita mendesah mendengar keraguan Revan.
"Ada laki-laki pemilik mobil sedan datang menolong dan berniat mengantar sampai gerbang terminal. Siapa sangka dia justru minta pamrih dan turut melecehkanku. Dia menawariku minum dan setelahnya aku sedikit pusing. Berusaha melarikan diri, aku hanya memegang ponsel. Baju dan uangku tertinggal di mobil."
"Malang sekali nasibmu Laras. Apa kamu juga percaya kalau aku orang baik-baik? Bisa jadi aku juga meminta pamrih karena telah menolongmu," ucap Revan dengan senyum menggoda.
"Tuan Revan, saya tidak punya uang. Saya bisa membalas kebaikan anda. Izinkan saya jadi pelayan di rumah ini!"
"Sudahlah jangan formal begini, aku suka gaya bicaramu yang santai tadi."
"Tapi, Van?"
"Nggak ada tapi. Aku senang aja kamu menjadi pelayanku kebetulan ART lagi cuti pulang kampung. Hanya saja pacarku bisa cemburu kalau kamu tinggal di sini."
Gita menunduk sedih karena Revan tidak mungkin menampungnya. Mendapatkan sesuatu yang kita harapkan memang tidak semudah membalikkan tangan. Perlu usaha dan doa pada Rabb pemilik segalanya.
Gita mengucap doa dalam hatinya. Semoga suaminya tidak mengutuk kepergiannya hingga banyak aral melintangi jalannya.
"Maafkan aku, Mas! Setelah aku mendapatkan kerja, pasti aku akan bersujud minta maaf padamu."
"Kamu jangan bersedih, aku ada ide. Bagaimana kalau kamu bekerja di tempat sahabatku saja. Dia pasti mau menampungmu. Tidak ada wanita yang cemburu kalau kamu tinggal disana karena dia tinggal sendiri ditemani satu ART seusia ibunya dan seorang satpam."
"Halo, Ar. Bisa tolong aku, ada saudara jauh datang dari kampung mau cari kerja. Biarkan dia kerja jadi ART di rumahmu."
"Kamu gil* ya? Rumahku bukan tempat penampungan, aku sudah punya Bi Irah cukuplah."
"Ayolah, Ar! Dia hanya lulusan SMA butuh pekerjaan. Kalau dia sudah punya keterampilan biar keluar dari rumahmu. Sebagai gantinya aku traktir minum besok malam."
Gita hanya menelan ludah, apakah Revan dan laki-laki di seberang sana tukang minum-minum. Bagaimana nasibnya kalau itu benar. Berbagai tanya melintas di benaknya.
"Baiklah kalau kamu memaksa."
Terdengar desah kesal dari seberang membuat Revan sedikit tertawa.
"Yes, berhasil. Besok aku antar kamu ke tempat Ardi."
Wajah Gita turut berbinar. Allah baru saja mendengar doanya. Pantang untuknya berputus asa. Dia harus berjuang demi keluarganya dan tentunya kembali pada suaminya untuk meminta maaf.
"Ingat pesanku, Ras! Jangan mencoba menggoda sahabatku! Dia baru saja menikah kemarin."
Deg,
Bab MenggodaMenikah? Kemarin? Mendengar kalimat itu membuat dada Gita nyeri. Rasa bersalah menyeruak dan menyesakkan. Tak ingin menjadi bulan-bulanan hidup dalam kubang kesalahan, Gita selalu meminta maaf dalam hati pada suaminya.Dia ingat pesan ayahnya. Ridho Allah tergantung ridho suaminya.Kenapa baru sekarang logikanya jalan, kemana kemarin saat dia sedang dilanda kerisauan.Gita bergidik ngeri, rasa takut mendapat murka suami bahkan murka Allah mendadak menghantuinya."Ada apa, Ras?" Revan heran melihat Gita yang diam dan melamun."Eh, tidak, Van. Aku hanya bingung karena cuma ini yang aku punya." Gita menunjukkan ponsel yang dipegangnya. Tas berisi baju dan uang masih tertinggal di mobil laki-laki brengsek semalam."Tenang saja, nanti aku minta Melia mengantarmu beli baju dan keperluanmu.""Melia?""Dia pacarku, lebih tepatnya calon istriku. Tapi aku tidak tahu kapan kami siap menikah. Sudahlah, kita tidak perlu membahasnya." Ada gurat kesedihan di wajah Revan yang tertangka
Bab 6 Layani AkuSarapan? Di kamar? Sepuluh sampai tiga puluh menit? Astaga, apa yang ingin mereka lakukan di kamar. Pikiran Gita sudah melanglang buana. Tubuhnya meremang, mengetahui keadaan sesungguhnya dunia luar.Sejauh ini, dia hanya bergaul dengan Toni dan Ela tentunya yang lurus-lurus saja. Bukankah berteman itu bisa dengan siapapun, hanya saja berteman dengan orang yang baik atau buruk ada peluang kita mengikuti perangainya. Perlu selektif dalam memilih teman yang bisa menjadikan kita lebih baik atau justru semakin buruk.Bergegas ke dapur, Gita tak mau berkutat dengan prasangka buruk. Melintasi kamar yang tertutup pintunya, terdengar jelas suara desahan wanita dan pria. Entah apa yang mereka lakukan di dalam, Gita hanya meneguk ludahnya seraya meraba tubuhnya yang merinding kaku."Astaghfirullah. Apa mereka melakukan itu? Revan menganggapku adik, mungkin suatu saat aku akan menegurnya, tidak sekarang, bisa-bisa aku diusir dari sini. Selama aku dekat dengannya yang sudah memba
Bab 7 Benci"Layani aku dengan baik, kamu akan mendapat bayaran yang pantas!" Ardi menatap tajam mata indah Gita, membuat gadis manis itu tersentak."Layani? Maksudnya apa?"Deg,Ya Rabb, cobaan apalagi ini. Yang benar saja aku akan hidup seatap dengan manusia berperangai monster ini? Kelakuannya sepertinya lebih menyeramkan dari Revan."Jangan menakutinya, Ar!" larang Revan pada Ardi seketika meledakkan tawanya.Bisa tertawa juga ternyata, batin Gita."Mel, pacarmu sudah ada tanda-tanda mencurigakan. Awasi dia!""Ckk, lama-lama bisa penat aku di sini. Ayo Sayang kita bersenang-senang saja! Baik-baik kamu di sini, Ras. Tolong jinakkan singa ini!"Kini gantian Revan yang meledek Ardi membuat pemilik rumah bergaya modern itu melongo."Tunggu, Van! Terima kasih banyak, ya sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Melia yang mendengar ucapan tulus Gita justru menatapnya sinis."Kedepan tidak usah merepotkannya lagi!" cegah Melia."Tidak masalah, cukup doakan saja aku awet bersama Mel
Bab 8 Ancaman"Jangan sekali-kali menyebut kata itu di depanku! Mengerti!"Tatapan Ardi menusuk tajam membuat Gita gemetaran."Ba...baik, Tuan."Ardi berlalu meninggalkan Gita yang bergeming di tempatnya.Gebrakan pintu kamar membuatnya tersadar lalu dia mengelus dada seraya beristighfar."Non, jangan membuat Tuan Ardi marah! Sabar ya kalau tinggal di sini!"Wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART menelusup ke kamar dan menghibur Gita."Iya, Bi. Apa tuan memang tempramennya begitu? Kalau marah seperti monster?""Tidak juga, Non. Malahan Tuan Ardi yang bibi kenal orangnya ramah. Sejak pulang dari rumah orang tuanya jadi sering emosi begitu.""Tuan sudah menikah kan, Bi? Kenapa dia marah saat aku menanyakan istri karena ada wanita yang akan datang sebentar lagi.""Bibi nggak tahu, Non. Istrinya belum pernah diajak ke sini. Kalau tentang wanita, Tuan Ardi memang beberapa kali mengajak wanita cantik dan seksi kemari. Kadang diajak minum-minum bersama Tuan Revan.""Hah, Tuan Revan juga?
Bab 9A Khilaf "Oh, di sini tak nyaman ya?"Ardi menyeret Gita yang sudah meronta, lalu menghempaskannya ke ranjang king size.Gita sudah menangis dan sekuat tenaga melawan tuannya."Ya Rabb, tolonglah hamba!"Rintihan Gita tak menyurutkan kelakuan Ardi hingga membuat gadis itu pasrah dan perasaan bersalah pada suaminya melintas di benaknya.Saat manik mata Ardi mengunci lawannya yang pasrah, terbesit rasa bersalah dalam dirinya. Ada perasaan aneh yang tidak bisa digambarkannya. Debaran jantung yang kian meningkat memaksanya menyudahi ulahnya."Berapa umurmu?" tanya Ardi dengan tegas sembari membetulkan posisinya dan menarik tangan Gita supaya bangun.Memilih menjaga jarak dari singa yang baru saja jinak entah oleh apa, Gita mengusap air matanya. Sesekali masih ada isakan kecil yang tersisa."18 Tuan.""Pantas saja, nggak pernah disentuh laki-laki? Baru juga digertak sudah ketakutan setengah mati. Bagaimana kalau yang di posisiku suamimu, huh? Pasti menyedihkan," ledek Ardi setengah m
Bab 9B Khilaf "Yang benar saja Tuan Ardi tidak jijik memakan bekas saya," guman Gita seraya keningnya mengerut. "Baru kali ini aku makan masakan lezat. Siapa yang masak, Ras?" "Maaf, Tuan. Capcay ini saya yang masak." "Bagus, besok dan seterusnya aku perintahkan kamu yang masak. Bi Irah biar mengerjakan yang lain." "Baik, Tuan." "Saya beri gaji yang pantas untukmu." Wajah Gita berbinar, dia berharap bisa mendapat gaji untuk bertahan hidup di kota Yogya tanpa sanak saudara. Dia harus segera mendaftar kuliah jika tidak mau terlambat tahun ini. "Tuan, besok saya ingin menemui teman. Apa saya boleh keluar?" "Teman? Memangnya kamu punya teman di sini?" "Iya, teman saya mau mendaftar kuliah, saya ingin bareng teman saya." "Jadi kamu mau kuliah? Baguslah, segera hengkang dari rumah ini biar tidak mengganggu moodku bersama Jessy." Deg, "Tuan Ardi sudah punya istri masih suka main perempuan, apa tidak kasihan dengan istrinya," batin Gita. "Kenapa Tuan Ardi tidak menikah saja biar
Bab 10A Nama Lengkapnya Siapa"Ta, kamu tinggal sama suamimu?""Hah, kamu ngacau deh, Ton. Aku kan kabur dari suamiku masak iya tinggal sama dia."Toni masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Apa mungkin pandangannya sudah kabur. Dia hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Kayaknya aku perlu memeriksakan mataku, deh," ungkap Toni yang diangguki kedua sahabatnya."Kamu baik-baik saja kan, Ta?"Ela memeluk dengan eratnya membuat Gita sesak nafas."Sabar, El. Ayo kita cari tempat duduk!" ajak Gita yang sudah tak sabar mendongeng."Jadi, siapa yang mengantarmu tadi, Ta?" Toni sudah tak sabar menantikan cerita sahabatnya.Ela memukul lengan Toni hingga terdengar suara mengaduh."Kenapa nggak sabaran,sih? Nanyain dulu kabar Gita, bukannya malah tanya laki-laki....yang keren tadi."Kalimat Ela mantap di awal, tetapi lirih di akhir membuat Toni pura-
Bab 10B"Apa kamu sudah tahu wajah suamimu? Atau setidaknya namanya?Deg,Hati Gita mencelos, teringat kembali suami yang belum ada 24 jam dia tinggalkan. Wajahnya saja Gita belum tahu apalagi namanya. Apa aku harus menyerah dan kembali padanya sekarang, lalu bagaimana dengan keluargaku."Aku belum pernah melihat langsung wajahnya, bahkan namanya hanya nama belakang yang aku tahu."Sudah kuduga, Gita tidak tahu menahu soal suaminya. Bagaimana kalau dia benar-benar tinggal bersama suaminya sekarang. Apa dia akan selamat. Ah, setidaknya Gita diperlakukan baik saat ini. Aku harus membantu menyelidiki siapa Tuan Ardi."Ada apa, Ton?" Gita mengernyitkan keningnya melihat Toni yang terdiam melamun."Eh, nggak apa-apa. Ayo kita jalan-jalan mumpung aku di sini. Sore nanti aku balik ke Karanganyar."Mereka bertiga makan siang di mall tidak jauh dari kampus. Kali ini Toni yang mentraktir mereka makan.Sampai se