Bab 8 Ancaman
"Jangan sekali-kali menyebut kata itu di depanku! Mengerti!"
Tatapan Ardi menusuk tajam membuat Gita gemetaran.
"Ba...baik, Tuan."
Ardi berlalu meninggalkan Gita yang bergeming di tempatnya.
Gebrakan pintu kamar membuatnya tersadar lalu dia mengelus dada seraya beristighfar.
"Non, jangan membuat Tuan Ardi marah! Sabar ya kalau tinggal di sini!"
Wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART menelusup ke kamar dan menghibur Gita.
"Iya, Bi. Apa tuan memang tempramennya begitu? Kalau marah seperti monster?"
"Tidak juga, Non. Malahan Tuan Ardi yang bibi kenal orangnya ramah. Sejak pulang dari rumah orang tuanya jadi sering emosi begitu."
"Tuan sudah menikah kan, Bi? Kenapa dia marah saat aku menanyakan istri karena ada wanita yang akan datang sebentar lagi."
"Bibi nggak tahu, Non. Istrinya belum pernah diajak ke sini. Kalau tentang wanita, Tuan Ardi memang beberapa kali mengajak wanita cantik dan seksi kemari. Kadang diajak minum-minum bersama Tuan Revan."
"Hah, Tuan Revan juga?"
Gita tercengang dengan fakta baru yang didapatnya dari Bi Irah.
Benar saja keduanya memang sudah biasa hidup di dunia gemerlap malam. Pantas saja Revan pernah bilang mau mentraktirnya minum.
Ya Rabb, rasanya aku ingin kabur saja dari sini, mencari Ela. Aku harus menghubunginya.
"Bi, Bi Irah." Terdengar teriakan Ardi yang menggema sampai ke telinga Gita dan Bi Irah.
"Bi, tuan memanggil, ada apa?"
"Biasa, Non. Tuan minta diambilkan khamr."
"Tuan juga menyimpannya di rumah?"
Bi Irah mengangguk, lalu melangkah keluar."
"Biar aku aja, Bi. Dimana tempatnya?"
"Tapi, Non. Nanti kalau tuan marah?"
"Coba dulu, Bi."
Gita memaksa untuk menggantikan Bi Irah. Sejatinya dia ingin tahu situasi di kamar tuannya. Dia melangkah menuju dapur, lalu mengambil satu botol yang tersimpan di lemari kitchen set.
Dengan sedikit gemetar, Gita membawa botol itu dengan hati-hati menuju kamar Ardi.
Mendekat ke pintu, jantung Gita semakjn berdetak tatkala mendengar suara perempuan yang mendayu-dayu dari dalam kamar. Diketuknya pintu kamar, terdengar suara mengizinkannya masuk.
Saat knop puntu di putar, pandangan yang mencengangkan hadir di depan mata kepala Gita.
Pyarr,
Tangannya bahkan tak kuasa memegang botol yang diminta tuannya. Melihat dua insan bercumbu mesra. Si wanita duduk di pangkuan tuannya sedang meluncurkan bujuk rayu. Si laki-laki pun turut menikmati sentuhan jari jemari lentiknya. Sampai denting botol pecah menghentikan aksi mereka. Gita tak tahan dengan apa yang dilihatnya. Tubuh meremang seketika, dipalingkan wajahnya agar aksanya tak ternodai untuk kesekian kali.
"Apa-apaan ini, Laras? Siapa yang menyuruhmu mengantarkan botol ini?"
"Siapa wanita ini, Ar?"
Wanita cantik bergaun seksi sadar akan posisinya segera berpindah ke sisi sofa mini yang kosong. Ya, kamar luas ini berisi ranjang kingsize serta sofa mini. Beberapa lemari baju dan satu lagi lemari besi melengkapi isi kamar Tuan Ardi.
Kamar yang indah harusnya, saat ditempati pasangan suami istri, bukan pasangan mes*m yang baru saja dipergoki Gita.
"Ma...maafkan saya, Tuan! Bibi sedang tergesa ke toilet karena sakit perut. Saya membantunya membawakan ke sini."
Dengan terbata Gita beralasan meski harus berbohong untuk menghindari tuannya menyalahkan Bi Irah.
"Lancang sekali kamu, siapa dia, Ar? Nggak mungkin kamu selingkuh dengan gadis yang tidak selevel denganku, kan?"
"Sembarangan, dia keponakan Revan?"
"Hah, yang benar saja keponakan Revan mirip ustadzah gini?" Dilihat dari penampilan Gita yang mengenakan gamis kaos serta jilbab instan menutup dada tak heran wanita itu menyebutnya ustadzah.
"Saudara jauh dari kampung. Sudahlah buang-buang waktu membahasnya. Laras, bersihkan pecahannya!" teriak Ardi membuat Gita bergegas ke dapur.
Astaghfirullah, apa yang telah kulakukan. Ini kesalahan keduaku, pasti Tuan Ardi bertambah tak suka dengan kerjaanku.
Bod*h sekali, hanya karena ingin menunjukkan aku benar-benar bisa kerja di sini justru mengacaukan kegiatan mereka.
Biar saja, setidaknya aku jadi tahu kelakuan majikanku yang harus aku waspadai.
Gita mulai membersihkan pecahan botol dengan sapu dan serok.
"Apa perlu kita pindah tempat saja, Ar?"
Suara menggoda wanita seksi terdengar di telinga Gita membuatnya sesekali melirik.
Tangannya membelai rahang tuannya yang duduk dengan kaki bersilangan.
Meski si wanita sudah merayu, tetapi Ardi tak menunjukkan respon yang menyenangkan.
Saat wanita yang dipanggil Jessy oleh majikannya menautkan bibirnya, Gita sontak merasa mual. Tak sengaja matanya melihat pemandangan yang tak seharusnya mereka lakukan.
Bahkan kelakuannya semakin jauh membelai sang majikan di depan matanya.
Gita hanya beristighfar seraya mengelus dada.
"Ckk, mereka anggap aku tidak ada, tanpa malu sedikitpun melakukannya di depanku. Apa Jessy tidak tahu kalau Tuan Ardi sudah punya istri."
Gita fokus membersihkan serpihan kecil yang tersisa. Terdengar desahan dari Jessy, ternyata Ardi mulai terpancing dan terang-terangan mencumbu mesra lawan mainnya.
Hoek, uhuk,uhuk.
Gita tak kuasa menahan gejolak perutnya. Gegas lari menuju kamar mandi yang ditunjukkan wanita itu dengan wajah jijik.
"Sial," ujar Ardi tak terima.
"Kita ke atas saja, Ar!"
Jessy mengajak pindah ke ruang kerja Ardi di lantai atas. Namun Ardi merespon lain.
"Kamu pulang saja, Jes! Aku sudah nggak mood. Sebentar lagi aku ada janji dengan klien."
"Baiklah. Jangan lama-lama menampung gadis kampung itu, kalau tidak mau seleramu hilang!" ungkap Jessy seraya melayangkan kecupan selamat tinggal.
Ardi hanya membalas dengan senyuman masam hingga Jessy berlalu tak tampak punggungnya.
Sementara itu, Gita masih di dalam kamar mandi. Berusaha menghentikan rasa mualnya, Gita baru tersadar kalau dia berada di kandang singa.
"Astaga, ini kan kamar mandi Tuan Ardi. Aku harus segera keluar dari sini."
Brakk,
Saat pintu dibuka Gita, saat itu juga Ardi masuk ke kamar mandi lalu menutup pintunya.
"Ma...maaf, Tuan! Sungguh ini kecerobohan saya." Masih dengan tangan mengusap mulutnya, Gita meminta belas kasihan tuannya dengan membungkukkan badan beberapa kali
"Kamu tahu apa kesalahanmu?"
Gita menggeleng, lalu mengangguk. Sejatinya dia tidak tahu pasti kesalahan yang mana yang dimaksud tuannya.
Bukankah seharusnya Tuan Ardi yang bersalah. Dia melakukan hal mes*m di depan matanya. Bahkan pasangannya bukanlah istrinya.
"Saya sudah memecahkan botol itu, saya akan menggantinya, Tuan bisa potong gaji saya."
Seketika gelak tawa mengejek keluar dari mulut Ardi.
"Laras, kamu polos sekali. Gaji sebulanmu tidak setara untuk 1 botol minuman itu."
Gita membelalak tak percaya, benarkah harha khamr tadi bernilai lebih dari gajinya.
"Kamu tahu kesalahan lainnya?"
"Tidak tuan." Masih dengan tangan gemetaran, Gita waspada bisa jadi singa di depannya siap menerkam.
Tangan Ardi lagi-lagi mencengkeram dagu Gita. Mendekatkan wajahnya ke wajah pucat gadis di depannya. Mata elangnya menusuk ke dalam manik mata Gita. Bak daging segar siap di santap, Ardi menatapnya penuh seringai.
"Kamu sudah merusak moodku bersama Jessy. Kamu harus membayarnya, Laras."
"Ampun Tuan. Maafkan saya!"
Gita menutup bibirnya dengan kedua tangan sebagai tameng. Tak ingin bibirnya ternoda laki-laki yang suka bermain dengan wanita bukan istrinya, Gita berusaha mendorong tubuh Ardi. Namun badannya yang mungil tak sebanding dengan tenaga laki-laki yang dikuasai amarah.
"Oh, di sini tak nyaman ya?"
Ardi menyeret Gita yang sudah meronta, lalu menghempaskannya ke ranjang king size.
Gita sudah menangis dan sekuat tenaga melawan tuannya.
"Ya Rabb, tolonglah hamba!"
Rintihan Gita tak menyurutkan kelakuan Ardi hingga membuat gadis itu pasrah dan perasaan bersalah pada suaminya melintas di benaknya.
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu