Share

Bab 7 Benci

Bab 7  Benci

"Layani aku dengan baik, kamu akan mendapat bayaran yang pantas!" Ardi menatap tajam mata indah Gita, membuat gadis manis itu tersentak.

"Layani? Maksudnya apa?"

Deg,

Ya Rabb, cobaan apalagi ini. Yang benar saja aku akan hidup seatap dengan manusia berperangai monster ini? Kelakuannya sepertinya lebih menyeramkan dari Revan.

"Jangan menakutinya, Ar!" larang Revan pada Ardi seketika meledakkan tawanya.

Bisa tertawa juga ternyata, batin Gita.

"Mel, pacarmu sudah ada tanda-tanda mencurigakan. Awasi dia!"

"Ckk, lama-lama bisa penat aku di sini. Ayo Sayang kita bersenang-senang saja! Baik-baik kamu di sini, Ras. Tolong jinakkan singa ini!"

Kini gantian Revan yang meledek Ardi membuat pemilik rumah bergaya modern itu melongo.

"Tunggu, Van! Terima kasih banyak, ya sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Melia yang mendengar ucapan tulus Gita justru menatapnya sinis.

"Kedepan tidak usah merepotkannya lagi!" cegah Melia.

"Tidak masalah, cukup doakan saja aku awet bersama Melia!" ucap Revan seraya mengecup pipi mulus pacarnya hingga bersemu merah. Gita yang melihatnya hanya tersenyum kaku, ternyata mereka sudah biasa melakukannya di depan umum.

"Mudah-mudahan kalian segera bertaubat dan menikah!" ucap Gita dalam doanya.

Sepeninggal dua sejoli itu menyisakan Ardi dan Gita yang masih setia duduk di ruang tamu. Anak buah Ardi pun sudah melesat entah kemana.

Detak jantung Gita semakin bertalu-talu. Ditatap intens dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat duduknya menjadi tak nyaman.

Melirik sekilas ke arah lawan, Gita segera menundukkan wajahnya saat matanya beradu dengan pemilik mata setajam elang yang duduk dihadapannya.

"Jadi, apa kamu sudah tidur dengan sahabatku?"

Gita tersentak mendengar pertanyaan gila yang dilontarkan majikannya. Memberanikan diri menatap wajah Ardi, Gita ingin berteriak tidak tetapi nyalinya sungguh menciut.

Aura dingin ditunjukkan majikannya dengan wajah penuh selidik masih menatap Gita.

"Apa kamu juga mau memberi pelayanan itu untukku, huh?" tegasnya membuat tubuh Gita meremang.

Benar saja dia lebih menyeramkan dari Revan.

"Ma...maaf, sesungguhnya saya takut."

Dengan tubuh masih gemetaran dan tenggorokan sedikit tercekat, air mata pun mengiringi ucapannya.

"Kamu sungguh takut?" 

Tangan kanan Ardi sudah mencengkeram dagu runcing Gita. Wajah tanpa polesan itu aslinya memancarkan kecantikan alami jika dipandang dengan seksama. Bak berlian yang terlihat indah saat digosok.

"Saya takut sama Allah, saya belum pernah melakukannya dan tidak pernah mau melakukannya kecuali dengan suami saya."

Ardi tercengang dibuatnya. Sungguh ini tamparan pertama baginya. Gadis yang baru saja menjadi pelayannya justru dengan berani mengguruinya. 

Sejatinya sudah lama dia melupakan Tuhannya. Lupa melaksanakan kewajiban seorang muslim.

Hampir sepertiga dari hidupnya dilewati dengan kesenangan dunia. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan, tetapi dianggapnya sebagai angin lalu. Kini dengan beraninya ada sosok asing yang menyentilnya.

Menatap nyalang wajah ayu di depannya, begitulah perasaan dalam hati yang tidak bisa dipungkiri Ardi. 

"Kita buktikan, apakah kamu bisa bertahan tinggal di rumah ini!" ucap sinis Ardi sambil melepaskan cengkeramannya.

"Saya berencana menjadi ART di rumah Tuan. Saya bisa bersih-bersih, mencuci dan juga memasak." Sedikit terbata Gita berusaha menjawab dengan mantap.

"Aku tidak butuh itu, semua sudah dikerjakan Bi Irah."

Ardi kembali mendekati Gita dan menguncinya dengan kedua tangan menopang di sofa.

Gita menyadari posisinya tak nyaman sedikit mundur hingga punggungnya membentur sofa.

"Tuan mau apa?"

Tubuh Gita masih gemetaran melihat wajah Ardi semakin mendekat hingga napas mereka beradu di udara. Parfum menyejukkan menyeruak menusuk hidung Gita.

Sungguh ini pasti parfum mahal. Aromanya begitu menggoda.

Astaghfirullah, kenapa aku justru mengagumi parfumnya. Jelas-jelas aku di depan singa yang siap menerkam, bisa-bisanya berpikiran konyol begitu, guman Gita dalam hati.

"Ternyata kamu masih polos, huh. Melihat penampilanmu saja tidak menarik sedikitpun. Jauh dibandingkan dengan Melia," ledek Ardi seraya beralu meninggalkan Gita yang masih terpaku.

"Alhamdulillah."

Sedikit lega, Gita menarik napas dalam dan mengelus dadanya.

Tersadar dari pikirannya yang berkelana, Gita segera menyusul Ardi.

"Tuan, apa yang bisa saya kerjakan sekarang?"

Ardi mendadak berhenti dan berbalik membuat Gita menabraknya.

"Aww. Ma...maaf Tuan."

Posisi Gita tak menguntungkan, kedua tangannya yang menyandar di dada bidang Ardi segera ditariknya.

"Kamu mau menggodaku?" seringai ditunjukkan Ardi membuat Gita beringsut.

"Tidak, Tuan."

"Bi Irah."

"Ya, Tuan."

"Tolong, siapkan kamar untuk dia di sebelah kamar Bibi!" titah sang majikan seraya menunjuk Gita.

"Baik, Tuan. Ayo Non, saya antar ke kamar!"

Wanita paruh baya itu menggandeng Gita. Seketika ingatannya terlempar pada wajah ibunya di kampung.

"Maafkan Gita, Bu! Nanti kalau sudah mapan, Gita hubungi."

Tak terasa cairan bening mengalir membasahi pipinya yang sedikit tirus.

Berada di kamar yang telah disiapkan Bi Irah, Gita merenungi nasibnya.

Terlempar ke masa lalu.

Esok hari, sepulang sholat Idul Fitri, Bu Hastuti segera menutup rapat pintu rumahnya. 

Rasa kaget dan heran seketika menghinggapi kedua anaknya.

“Bu, kenapa pintunya ditutup?” tanya Desi dengan muka heran tak paham.

“Biar saja, Nak. Tidak akan ada yang datang ke sini. Kita sekarang jadi orang susah.”

Gita dan Desi memahami kegundahaan keluarganya. Hari lebaran yang biasa tertata kue kering di meja ruang tamu, opor ayam dan ketupat di meja makan, kini hanya menjadi bayangan semu. Tidak ada makanan khas lebaran yang bertengger di kedua meja itu membuat hati ibunya menjerit. Seketika Bu Hastuti mengusap air mata yang menetes di pipinya. Hal ini tak lepas dari pandangan Gita yang sedari tadi mencerna suasana. 

Melihat Pak Amran ayahnya sedang beristirahat di kamar, entah benar-benar beristirahat atau sedang memutar otak memikirkan keluarganya. Menatap ibunya yang sedang menangis sungguh membuat hati Gita tersayat. Di saat tetangga sekitar berlomba-lomba menerima tamu, justru keluarga mereka bersembunyi dibalik pintu.

Sejak kondisi ekonomi terpuruk, keluarganya pun tersisih dari lingkungan. Bak bangkai yang ada disekitaran mereka yang dapat menimbulkan bau. Tak ada rasa simpati dari tetangga, mereka menganggap keluarga Pak Amran seakan tak ada. Rasa hati Gita ingin jauh membawa pergi keluarganya dari kampung.

Suara pintu dibuka membuyarkan lamunan Gita.

Tersentak itulah yang dirasakannya, majikannya mendapati dirinya yang sedang tafakur dengan hidup keluarganya. Isakan kecil tadi apakah dia mendengarnya. Malu dirasakan Gita seketika.

Memilih pura-pura mengusap wajahnya dengan jilbab kaos instan yang dipakainya.

"Kenapa? Meratapi nasib? Kalau ingin merubah nasib menjadi baik bukan di sini tempatnya," cibir Ardi.

"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

Gita mencoba abai dengan apa yang dilontarkan sang majikan.

Tidak usah sakit hati dengan apa yang diucapkan, demi air mata ibu yang menetes setiap malam, aku akan bertahan.

Setidaknya itulah janji Gita yang tertanam dihatinya saat ini.

"Sebentar lagi wanitaku datang, kamu cukup di kamar. Kalau aku tidak memanggilmu, jangan pernah keluar. Jangan mencampuri urusan pribadiku, mengerti!"

"Apa istri Tuan yang datang?" tanya Gita dengan perasaan hati-hati.

"Diam! Jangan sebut kata yang aku benci."

Bentakan Ardi membuat Gita tersentak. Satu kesalahan telah dia buat hingga tuannya murka, mendekat dan mencengkeram bahunya.

Ya Rabb, jangan sampai Tuan Ardi mengusirku. 

Comments (6)
goodnovel comment avatar
D Lista
bisa dengan koin bonus atau lihat iklan kak
goodnovel comment avatar
Tumi Yuyun
ko bab 9 gx bisa d buka
goodnovel comment avatar
Silver Girl
semoga aman git
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status