Share

Bab 3. Kenyataan Pahit

Tak sanggup terus mendengarkan suara sepasang kekasih di dalam kamar, tangan Sofia bergerak menutupi kedua telinga demi meredam suara yang membuat jantungnya serasa seperti tercabik. Tawa manja perempuan yang kini berstatus sebagai istri kedua itu seakan sengaja mengejek dan menertawakan kehancuran dirinya.

Tak mau terus terpuruk dalam kesedihan, Sofia perlahan bangkit. Melangkah gontai menuju salah satu kamar yang lain. Sebuah ruangan berukuran lebih kecil dari kamar utama. Kamar itu lebih sering kosong karena tidak ada yang menempati. Seluruh ruangan tampak bersih dan rapi. Sofia memang selalu membersihkan kamar tersebut meski tak ada yang menempati.

Wanita berwajah ayu itu memilih membaringkan tubuh rampingnya di atas ranjang berukuran sedang. Beberapa kali ia menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Berharap sesak dalam dada segera sirna. Masih dengan sisa-sisa air mata, netranya memandang langit-langit kamar dengan tatapan nanar. 

Sepanjang malam itu Sofia kesulitan memejamkan mata. Bayangan Haris yang kini telah menikah lagi terus mengganggu pikitannya. Sofia terus dihantui perasaan gelisah. Berulang kali membalikkan badan dan mengubah posisi tidur, tapi tak juga berhasil memejamkan mata. Dadanya kembali sesak setiap kali membayangkan sang suami kini tengah berada dalam pelukan wanita lain.

Hingga pagi menjelang, Sofia masih juga kesulitan memejamkan mata. Wanita itu kemudian bangkit lalu duduk di tepi ranjang.  Tangannya bergerak memijat kepala yang terasa berdenyut. Kurang tidur dan kebanyakan menangis membuat wanita itu merasa sedikit pusing.

Sofia memaksakan diri melangkah ke luar kamar untuk bersih-bersih dan berwudu. Saat melintas di ruang keluarga, hatinya kembali perih saat mengingat kejadian malam tadi. Dia berusaha menahan diri agar tidak menoleh ke arah kamar dimana suami dan istri barunya berada.

Dengan sedikit terburu-buru Sofia mengayunkan langkah menuju kamar mandi yang berada di bagian belakang. Perlahan ia membasuh muka yang sembab karena kebanyakan menangis. Air dingin yang membasahi wajah membuatnya merasa lebih segar dari sebelumnya. Usai bersih-bersih dan berwudu, ia bergegas kembali ke kamar yang tadi dia tempati.

Setelah mengenakan mukena dan membentangkan sajadah, Sofia lalu menunaikan salat dua rakaat. Perempuan itu begitu khusyuk dalam sujud yang panjang. Tubuhnya sampai berguncang keras karena tangis yang tak kuasa dibendung. Segala resah dan lara di hati ia curahkan. Seluruh gundah dalam dada dia tumpahkan. Karena hanya kepada-Nya, sebaik-baik tempat mengadu.

Sofia merasa dirinya lebih tenang setelahnya. Wanita itu berjanji pada diri sendiri bahwa dia akan belajar mengikhlaskan semuanya, walau ia juga sadar jika itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sofia kembali bersujud hingga akhirnya ia tertidur di atas sajadah.

***

Sinar matahari pagi menerobos masuk melewati kaca jendela. Cahayanya menyentuh tubuh Sofia yang masih terbaring di atas sajadah. Perlahan Sofia membuka mata. Wanita itu bangkit dari tempatnya berbaring. Kepalanya masih terasa berat karena kurang tidur dan kebanyakan menangis.

Melangkah ke dapur hendak mengambil segelas air minum untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Baru saja menenggak beberapa teguk air dalam gelas, dari arah belakang terdengar suara seseorang. Sofia menoleh menatap Dewi yang muncul dengan rambut yang tergerai basah. Perempuan itu berdiri di ambang pintu, sambil sebelah tangannya terus menyisir rambut panjangnya dengan jemari.

"Mana sarapannya?" tanya Dewi tanpa rasa malu.

"Apa?" Sofia mengerutkan kening, berusaha menahan rasa jengkel karena kehadiran wanita ini.

"Harusnya kamu menyiapkan sarapan. Aku kan, tamu di rumah ini."

"Hanya tamu yang tidak punya akhlak yang bertingkah seenaknya di rumah orang," jawab Sofia jengkel.

"Sudahlah, Sofia. Tidak ada gunanya terus marah-marah seperti ini. Kau harus terima kenyataan, bahwa sekarang aku adalah adik madumu."

"Kau benar-benar perempuan licik, Dewi. Memanfaatkan keadaan untuk memancing simpati semua orang. Sengaja mencari-cari perhatian Mas Haris."

"Kau cukup pintar menilaiku ternyata, Sofia. Sayangnya kau terlalu lugu hingga membiarkan suamimu terjerat pesonaku," ucap wanita itu tertawa sambil menyibakkan rambutnya yang tergerai basah. 

Ingin rasanya Sofia menjambak rambut panjang perempuan di depannya. Apalagi saat melihat Dewi tersenyum miring dengan tatapan merendahkan. Baru saja Sofia hendak melangkah mendekati perempuan itu, tiba-tiba Haris muncul dari balik pintu, dengan rambut yang masih basah.

Melihat kedatangan Haris, buru-buru Dewi menggamit lengan suaminya sambil merapatkan tubuh pada laki-laki itu. Melihat tingkah menyebalkan Dewi, hati Sofia semakin panas.

"Mas, aku lapar. Sofia tidak mau menyiapkan makan untuk kita." Dewi merengek seperti anak kecil.

"Menyiapkan makan? Enak saja!" 

"Ya iyalah. Aku kan tamu di sini." Sofia benar-benar dibuat kesal oleh perempuan yang terus menempel pada sang suami. Ingin rasanya dia mencakar wajah dan bibir merah wanita itu agar tahu sedikit sopan santun.

"Sudah ... sudah. Ayo kita cari makan di luar, Mas juga lapar nih."

Dewi tersenyum mendengar ajakan Haris. Memang itu yang dia mau. Tadi dia sengaja menanyakan sarapan hanya untuk memancing emosi Sofia. Tentu saja Dewi tak berani menyentuh makanan dan minuman di rumah Sofia. Takut yang empunya rumah menambahkan sianida atau semacamnya dalam makanan dan minuman di rumah ini. Memikirkan itu Dewi bergidik ngeri. 

Merasa dipelototi oleh Sofia, Dewi membuang wajah ke arah lain dan tersenyum penuh kemenangan. Perempuan bertubuh sintal itu lalu melangkah sambil bergelayut manja di lengan Haris. Tak ada sama sekali penolakan dari pria yang kini memiliki dua istri. Lelaki itu membiarkan saja segala tingkah istri barunya yang sengaja bermanja-manja di depan istri pertama. Haris seolah tidak peduli pada sebuah hati yang terluka karena menyaksikan kemesraan mereka.

Kedua orang itu lalu berjalan keluar rumah. Haris mulai menyalakan motor matic milik Sofia yang terparkir di depan rumah, sementara Dewi langsung duduk membonceng di belakang. Merasa terus diperhatikan oleh Sofia, tingkah Dewi semakin menjadi. Wanita itu kembali merapatkan tubuhnya pada Haris. Kedua tangannya melingkar sempurna memeluk erat pinggang Haris dari belakang. Dengan senyum mengejek dia memandang Sofia yang terpaku di tempatnya berdiri.

Sofia bergegas menutup pintu rumah dan menguncinya. Tidak sudi berlama-lama menyaksikan pemandangan yang hanya membuat hatinya kembali sesak. Sofia tidak mau Dewi melihat air matanya. Dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak memperlihatkan kelemahan di depan perempuan yang telah berhasil merebut hati suaminya.

Setelah kepergian dua orang itu, Sofia melangkah masuk menuju kamar utama. Tangannya menekan handel lalu mendorongnya kasar hingga pintu terbuka lebar. Netranya sedikit membulat saat menyaksikan pemandangan di dalam sana.

Kamar pribadinya itu terlihat begitu berantakan. Tampak selimut teronggok di sudut ruangan dekat kamar mandi. Sebuah lingerie merah tergeletak begitu saja di atas lantai. Sofia geleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan di depannya. Dengan perasaan jijik, ditarikhya kuat-kuat kain seprei yang sudah setengah terbuka, hingga lepas dari tempatnya. Selimut, kain seprei dan lingerie bekas pakai Dewi dibawanya ke halaman belakang rumah. Hendak dibakarnya benda-benda itu, kalau perlu dengan ranjangnya sekalian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status