Share

AMARAH TAK TERTAHAN

***

Semua pasang mata dari karyawan di sebuah perusahaan ternama memandang ke arah Zeva yang tengah bersama dengan pemilik perusahaan tersebut. Ia merasa tak nyaman, karena semua terlihat seolah memiliki tujuan lain. Sesekali mereka juga berbisik satu sama lain dengan lirikan tak suka dan penuh rasa dengki.

Aksa merangkul pundak Zeva dengan tangan kirinya tanpa menghadap ke arah perempuan tersebut. Ia yakin bawa perempuan di sampingnya pasti merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Namun, Aksa tidak ingin hal itu membuat Zeva mundur untuk melupakan keberanian yang harus ia kumpulkan.

“Apakah kamu merasa buruk?” tanya Aksa sembari tetap berjalan beriringan menuju ruang utama untuk sapaan pagi.

Zeva kemudian mendekatkan tubuhnya pada Aksa dengan arah pandang masih tertuju pada seluruh karyawan yang tak kunjung reda memperhatikannya. “Aku rasa mereka ingin membunuhku,” bisik Zeva santai mengundang gelak tawa bos barunya.

Tak berapa lama, Aksa meminta Zeva ikut bersamanya untuk diperkenalkan di hadapan seluruh karyawan yang sudah hadir. Zeva masih menundukkan kepala ragu karena tidak memiliki rasa percaya diri.

“Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh rekan sekalian yang selalu hadir lebih pagi dari jam kerja yang seharusnya. Hari ini, pekerjaan saya akan dibantu oleh sekretaris pribadi yang baru. Untuk itu, saya harap kalian semua bisa menghormati dia layaknya kalian menghormati saya,”

Semua orang hanya mengangguk pasrah. Entah apa yang mereka permasalahkan, Zeva tak mengerti. Namun, melihat orang lain melemparkan pandangan tak suka padanya membuat ia merasa sedikit terintimidasi.

Aksa kemudian mempersilakan semua karyawannya untuk memulai pekerjaan. Ketika Aksa mengajak Zeva menuju ke ruang kerja, ia merasakan tangan seseorang sedang menariknya dari belakang.

“Apa yang kau lakukan di sini, hah?” bisik Deren dengan geram ketika tarikan itu berhasil membuat tubuh Zeva menubruk badannya.

Ketenangan yang beberapa waktu lalu ia rasakan, kini berubah menjadi sesuatu yang kembali mencekam. Tatapan mengerikan yang suaminya tunjukkan membuat badan Zeva gemetar.

Melihat aksi itu, Aksa mendekati mereka berdua dengan tatapan tenang dan senyuman kecil di bibir.

“Lepaskan dia, atau aku akan membuat perhitungan denganmu,” ancam Aksa agar Deren melepaskan istrinya.

Deren tertawa kecil. “Apa yang dia lakukan sampai kau mau memeliharanya?”

Sedang Zeva hanya mendesis menahan rasa sakit ketika kuku Deren mengenai permukaan kulit. Untung saja seluruh karyawan sudah beralih ke meja kerja masing-masing. Sehingga keributan hanya ada di antara mereka bertiga.

“Tanya saja padanya,” kata Aksa santai.

Laki-laki itu tidak ingin memancing pertikaian lebih jauh. Ia ingin melihat bagaimana Zeva bisa mengatasi kondisi tersebut dan mengingat bahwa apa yang ia butuhkan hanyalah keberanian.

Tatapan Deren beralih kepada Zeva yang terus gemetar ketakutan. Untuk menelan ludah saja rasanya begitu sulit. Ia yakin bahwa setelah ini Deren tidak akan melepaskan cengkramannya lagi.

[ "Orang lain tidak memiliki hak atas kehidupan siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Zeva, kamu hanya butuh keberanian untuk keluar dari kurungan itu" ]

Samar Zeva mengingat sepenggal percakapan yang sempat ia lakukan dengan Aksa tadi malam.

‘Aku harus lebih berani untuk lepas dari rasa sakit ini’ batinnya meyakinkan diri sendiri.

Setelah keberanian cukup terkumpul, Zeva dengan sisa tenaganya melepas jeratan itu dan menghadap Deren dengan tegap penuh keberanian yang dipaksa. Ia sadar bahwa Deren akan semakin menjadi-jadi jika Zeva menunjukkan kelemahannya.

“Mas sendiri yang memintaku untuk melayani bos mu dengan sepenuh hati. Jika itu yang Mas katakan, maka aku harus menurut untuk menjadi istri yang baik,”

Entah darimana keberanian itu hadir, namun Zeva merasakan suatu kemenangan yang belum pernah ia rasakan.

Mendengar ucapan itu, Aksa pun tersenyum lega.

Aksa kemudian mendekatkan dirinya untuk meraih tubuh Zeva sedikit menjauh dari Deren.

“Jika kamu merasa tidak puas, jangan salahkan dia sebagai istri penurut. Tapi, salahkan dirimu sendiri karena menjadi serakah dan tidak tahu diri,” geram Aksa dengan tatapan benci.

Aksa kemudian berbalik dan membawa tubuh Zeva untuk meninggalkan pria bejat itu. Sesekali Zeva ingin menoleh pada suaminya. Akan tetapi, Aksa dengan siap siaga memegang punggung Zeva untuk mengurungkan niat tersebut.

***

“Terima kasih banyak, Aksa,” ucapnya bersyukur setelah menerima gaji pertama dari pekerjaan yang benar-benar Zeva harapkan dari lama. Aksa tersenyum senang, karena apa yang ia lakukan dapat membantu orang lain.

Arah pandang perempuan itu beralih ke luar tepat di mana mobil Deren terparkir dan sedang menunggu seseorang. Aksa mengikuti arah pandang tersebut dan menyadari bahwa Zeva akan kembali pada suaminya.

“Jika kamu tidak keberatan, aku bisa menyewakan apartemen baru untuk tempat tinggalmu,” ucap Aksa menawarkan solusi yang ternyata segera ditolak oleh Zeva.

Ia menggeleng yakin. “Tidak perlu. Aku akan pulang bersama suamiku,”

Mendengar Zeva menyebut kata suami membuat Aksa menjadi geram. “Mengapa dengan semudah itu kamu masih menyebut Deren sebagai suamimu?”

Zeva menoleh kepada Aksa yang seolah tak rela jika ia harus kembali menemui Deren.

“Terkadang memang menyakitkan jika harus bersanding dengannya. Tapi, semua itu sudah membuatku terbiasa,”

Aksa merasa enggan untuk membiarkan Zeva pergi bersama Deren. Faktanya laki-laki itu bisa melakukan apa saja dengan seenaknya kepada Zeva. Aksa hanya berharap bahwa semuanya tidak akan seburuk sebelum Zeva bertemu dengan dirinya.

“Tapi—,”

“Seperti katamu, gaji ini akan aku bayarkan untuk mencicil hutang keluargaku yang belum lunas. Jika aku tidak pulang, bagaimana cicilan hutang itu bisa aku lakukan?” Zeva mencoba meyakinkan Aksa jika semuanya akan baik-baik saja. Meskipun kalimat tersebut bukanlah sebuah jaminan yang bisa Zeva janjikan.

Satu hal yang selalu Zeva ingat dari apa yang Aksa sampaikan, bahwa ia harus menjadi berani untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Zeva menepuk lengan Aksa dua kali dengan senyuman ringan. “Aku akan menjadi berani sampai Deren tidak akan pernah bisa menyakitiku lagi,” yakinnya.

Kalimat itu akhirnya bisa meluluhkan kekhawatiran Aksa sementara. Melihat punggung Zeva perlahan menghilang, Aksa merasakan perasaan yang sedikit aneh. Seperti perasaan ketika seseorang tidak sanggup meninggalkan orang yang ia sayang.

“Secepat itu, kah?” lirih Aksa meragukan perasaannya.

Setelah mobil yang membawa Zeva pergi, Aksa bergegas mengikuti mereka untuk memastikan bahwa Zeva tetap dalam kondisi aman.

***

Mobil Deren kini telah terparkir rapi di halaman rumah. Ia menoleh ke arah sang istri yang sedari tadi hanya terdiam tanpa kata. Sedang dirinya sendiri masih memendam amarah atas apa yang ia terima di tempat kerja.

“Aku akan menyiapkan makanan kesukaanmu, Mas,” ujar sang istri sembari membuka pintu mobil. Mengetahui hal tersebut, Deren kemudian mengikuti langkah Zeva dari belakang.

Sesaat setelah pintu mobil ditutup, ujung mata Deren melihat sebuah mobil jauh di sebrang jalan. Ia tahu pasti bahwa mobil itu adalah kendaraan milik atasannya.

“Aku tidak akan pernah membiarkan Zeva pergi padamu,” sinis Deren dengan senyum mengerikan.

Setelah berganti baju dan merapikan dapur, Zeva segera membuatkan Deren teh hangat untuk ia bisa beristirahat sembari menunggu makanannya jadi. Namun, Deren tiba-tiba meminta Zeva untuk meletakkan kedua tangan di atas meja makan.

“Untuk apa, Mas?” bingung Zeva tak memahami niat suaminya.

Deren tak bergeming. Ia hanya memperhatikan Zeva sampai dirinya meletakkan kedua tangan di atas meja. Setelah Zeva menuruti apa maunya, Deren mengambil spatula dari kayu dan memukul seluruh jari-jemari Zeva dengan keras.

BRAK! BRAK! BRAK!

“Aaaarrgghhh!” Zeva menjerit kesakitan. Sedang Deren dengan penuh amarah terus melayangkan pukulan itu berkali-kali.

“Ini hukuman karena kau telah berani menentangku sebagai suamimu!” murka Deren dengan wajah memerah.

Zeva terus meringis kesakitan menerima setiap pukulan yang diberikan Deren. Sekali ia mengangkat jari-jarinya, Deren akan menarik tangan itu kembali dan memukulinya tanpa ampun.

“Sakit, Mas!” Zeva terus memelas dengan tangis ketika merasakan perih yang tak tertahan di seluruh tangannya. Bahkan rasa sakit itu perlahan menjalar hingga ke sekujur tubuh.

“Aku hanya memintamu untuk melayani dia semalam saja. Tapi apa yang kau lakukan? Bekerja sebagai sekretaris pribadinya, hah? Kau puas dengan pekerjaan itu? Jawab aku!” protes Deren.

“Kau bahkan lupa untuk melayani suamimu sendiri!”

Kalimat itu tiba-tiba membuat Zeva tertawa dengan air mata yang terus berjatuhan.

“Apa gunanya aku melayanimu, Mas? Sedangkan dirimu sendiri tidak pernah melayani atau bahkan menganggap diriku sebagai seorang istri,” kata Zeva dengan tatapan kosong dan perasaan hancur.

Hati Deren yang sedari tadi buta, kemudian tergerak untuk memperhatikan perempuan di hadapannya hanya menangis pasrah dengan darah segar yang keluar dari setiap jari-jemari.

“Aku tidak akan nekat melakukan ini jika setidaknya kamu menghargai keberadaanku, Mas.” Zeva menyampaikan semua yang ia pendam selama ini di hadapan sang suami.

“Selama satu tahun lebih kamu tidak pernah sudi memberikan perhatian sekecil apa pun itu kepadaku. Sekali pun aku harus tertunduk setiap hari, aku tetap berbakti dengan menurutimu,”

Setiap kalimat yang Zeva ucapkan disertai tangis dari lubuk hati yang telah lama tersakiti. Perempuan itu benar-benar hancur sekarang. Melihat amarah Deren yang keluar tanpa mengingat segala pengorbanannya, membuat Zeva telah kehilangan empati untuk saling menghargai.

Dengan tangan gemetar dan penuh rasa sakit, ia mencoba untuk mengusap air matanya sendiri.

Langkah kaki itu kemudian ia bawa untuk mengambil sebuah tas yang Zeva pakai untuk menyimpan uang yang diberikan Aksa.

“Aku akan tetap mencicil sisa hutang yang lain. Terima ini, Mas. Itu gaji pertamaku,” ucapnya sembari meletakkan amplop uang tersebut di atas meja makan.

Tanpa mengatakan kalimat apa pun, Zeva berbalik meninggalkan meja makan menuju pintu keluar. Sedang Deren tiba-tiba mematung tak berkutik sekalipun.

Saat tubuhnya berada di ambang pintu, Zeva melihat Aksa sudah berdiri tepat di hadapannya.

Zeva menatap ke arah Aksa dengan senyum terpaksa. Ia sembari mengangkat kedua tangan dan menunjukkan luka itu di hadapan Aksa.

“Sakit?” Aksa bertanya dengan raut wajah giris tak tega. Sedang Zeva hanya mengangguk diiringi tetesan air mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status