Share

AKSA YANG PERTAMA

Meskipun kondisi luka belum membaik, Zeva masih sempat memikirkan sang suami yang menurutnya  akan datang untuk mencari. Seolah ia lupa tentang siapa yang membuat luka dari mulanya tidak ada menjadi ada.

Aksa menghela napas pelan di samping perempuan itu. “Haruskah aku memberitahu tentang keberadaanmu padanya?” tanya Aksa dengan nada terpaksa.

Sebagai manusia yang memiliki akal, Aksa merasa kesal ketika Zeva menanyakan perhatian Deren yang jelas-jelas sangat mencurigakan untuk dipercaya.

“Setidaknya seseorang butuh waktu tiga hari untuk bisa berubah. Sekarang apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang kemarin baru menyiksamu seburuk ini?”

Zeva mengikuti kemana arah tubuh Aksa dibawa beranjak dari posisinya. Sekilas ia memperhatikan raut wajah Aksa yang terkesan kecewa.

“Jika butuh bantuan, panggil saja. Aku ada di lantai bawah,” kata Aksa meninggalkan Zeva tanpa menoleh sekalipun.

Mendapat perlakuan itu, Zeva merasakan ada sesuatu yang hilang. Entah perasaan macam apa yang ia terka-terka. Namun, satu hal yang pasti. Zeva tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan apa yang ia rasakan ketika sedang bersama dengan Aksa.

Zeva menjulurkan kedua tangannya ke depan. Memandangi lilitan perban yang menyelimuti seluruh luka di jari-jemarinya. Ia ingat betul amarah dari sang suami ketika melayangkan pukulan itu berkali-kali. Zeva yakin, kemarin adalah kali pertama ia melihat Deren benar-benar menunjukkan emosi liarnya.

Di sisi lain, ia menatap tubuh mungil itu di depan kaca yang menyatu dengan almari. Matanya menangkap seorang perempuan yang sekarang terlihat jauh lebih baik berkat bantuan tanpa pamrih dari seseorang.

DUGH! Sesaat kemudian Zeva sengaja memukuli kepalanya sendiri.

“Keluarlah dari pikiranku!” erangnya tanpa memikirkan perban di tangan yang perlahan lilitannya mulai terlepas.

Kepala itu akhirnya tertunduk begitu dalam. Pundaknya tampak bergerak ke atas dan ke bawah, sesekali diselingi oleh gerakan lengan untuk mengusap tangis.

Ia menyesali apa yang membuat Aksa menjadi kecewa. Zeva sengaja menggetok kepalanya sendiri dengan harapan pukulan itu mampu menjauhkan pikirannya dari nama seseorang yang selama ini hanya menebar rasa sakit tanpa mau mengobati. 

“Apa yang kamu lakukan?” suara Aksa tiba-tiba mengejutkan seorang perempuan yang sedari tadi hanya sibuk menunduk.

Spontan Zeva mengangkat kepala dengan tatapan senang. Namun, senyum itu mulai memudar ketika Aksa muncul dan menatap tanpa ekspresi.

Pria tersebut kemudian berjalan mendekati Zeva. Ia mengambil kotak kesehatan di atas meja kerja dan membawanya berlutut di hadapan Zeva.

“Setelah ini istirahatlah dan berhenti menyusahkan orang lain,” ucap Aksa sembari memperbaiki lilitan perban yang rusak karena kelakuan Zeva.

Kalimat tersebut terdengar sedikit menyakitkan. “Kamu membenciku?” lirihnya ingin tahu.

Sedikit pun Aksa tak berniat untuk menatap mata perempuan itu. Ia hanya menggeleng menandakan bahwa ia tidak membencinya.

Beberapa saat kemudian, luka itu akhirnya selesai diobati. Aksa merapikan kembali kotak tersebut tanpa berbicara sepatah kata pun.

“Aksa,” serunya menghentikan aktivitas pemilik nama.

Laki-laki itu menoleh masih dengan ekspresi datar. Ia menatap ke arah Zeva untuk menunggu kelanjutan dari seruannya.

Aksa menerka bahwa ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan, namun sulit untuk disuarakan. Ia akhirnya menurunkan ego dan berlutut sekali lagi di depan perempuan tersebut.

Aksa meraih kedua tangan Zeva pelan. “Katakan saja,” tuturnya meyakinkan.

Susah payah Zeva menelan ludah sendiri yang sedari tadi menyangkut di tenggorokan. Ia mengingat seberapa banyak kepedulian Aksa terhitung sejak kejadian itu. Yang mana tanpa Zeva sadari bahwa mengingat atau menyebut tentang Deren membuat Aksa tak suka.

Namun, di luar itu semua Zeva perlu menuntaskan sesuatu terkait perasaannya.

“Aku ingin bertemu dengan Deren,” kata Zeva membuat Aksa sontak melepas sentuhannya pada perempuan itu.

Zeva menunduk menyesali apa yang ia katakan. Tapi, sekali lagi ia hanya ingin memastikan sesuatu yang selama ini mengganggu pikirannya.

“Ada apa? Untuk apa membuang-buang waktu dengan menemui seseorang yang sudah jelas telah menghancurkan kehidupanmu?”

Memahami keresahan Aksa, Zeva menyadari jika apa ia lakukan pasti akan sangat mengecewakan. Tapi jika tidak demikian, Zeva akan terus terbelenggu oleh kegelisahannya sendiri.

“Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri,” jawabnya tanpa ragu. Sedangkan Aksa masih tetap menolak .

“Aksa…” Zeva segera berdiri menghadap laki-laki yang berniat untuk berpaling.

Kini posisi mereka sudah terlalu dekat untuk hanya saling menatap. Aksa sedikit menunduk memperhatikan raut wajah seorang perempuan yang nampak berusaha meyakinkannya.

“Kumohon. Sekali ini saja,” tutur Zeva penuh harap.

Jika bukan Deren yang ingin ia temui, Aksa tidak harus berpikir beribu kali untuk membiarkannya melakukan apa yang ia inginkan. Aksa sudah benar-benar tak sanggup jika ia melihat Zeva terlibat dengan kekerasan itu sekali lagi. Entah apa yang merasuki ruang kosong di dalam hatinya. Melihat Zeva menangis sepanjang malam membuat Aksa nekat berjaga hingga melupakan waktu istirahat.

“Berbaringlah, aku akan memberi keputusan besok pagi,” kata Aksa membantu Zeva untuk kembali beristirahat. Mengingat bahwa sekarang sudah pukul delapan malam.

Zeva menurut dengan senyum kecil di bibir. Senang rasanya mendengar Aksa ingin mempertimbangkan apa yang ia inginkan.

***

Seorang pria dengan kaos hitam dan celana panjang kini tengah asik menuntaskan pekerjaan kantor. Aksinya terlihat seperti orang super sibuk, karena banyak kertas dokumen berjajar di atas meja. Hingga sesuatu mengejutkan terjadi ketika ia merasakan sentuhan lembut dari seseorang yang tak lain adalah Zeva.

“Apakah kamu memerlukan sesuatu ?” Aksa bertanya sembari sedikit memundurkan bangku.

Zeva hanya terdiam dengan kedua tangan berada di samping kedua kakinya.

“Katakan saja,” desak Aksa agar perempuan tersebut mau membuka mulut.

“Maafkan aku,” sesalnya dengan penuh harap agar Aksa memaafkan kesalahan yang ia lakukan.

Aksa terkekeh kecil tak mengerti. “Untuk apa?”

“Karena aku menginginkanmu,”

Sejenak Aksa langsung termangu. Ia masih mencerna apa yang ia dengar dengan apa yang mungkin Zeva coba jelaskan setelah pernyataan itu disebut.

“Rasanya memang tak pantas jika aku menginginkan seseorang sepertimu. Jika bukan karena Aksa, mungkin aku akan terus terjerat lebih dalam lagi di lubang kesengsaraan,”

“Zeva,” lirih Aksa memposisikan dirinya ikut berdiri mengimbangi. Namun, Zeva malah memundurkan langkah hingga tak sengaja menubruk pinggir kasur yang letaknya memang tak jauh dari meja kerja.

Ia menggeleng dengan rasa khawatir. “Aksa, aku sudah bukan gadis lagi. Meskipun tidak dengan suamiku, aku pernah melakukannya dengan orang lain,”

Aksa perlahan mendatangi Zeva yang tak berkutik sedikit pun ketika tangan pria tersebut mempersilakan tubuhnya untuk duduk dengan nyaman di atas kasur. Sedang tubuh Aksa setengah membungkuk sembari memegang tepi kasur agar tidak terjatuh. Posisi mereka kini sudah saling menghadap dan hanya terpisah jarak satu jengkal.

“Apakah itu alasan mengapa kamu ingin menemui Deren?”

Zeva mengangguk kecil. “Aku hanya ingin memastikan jika aku bisa melupakan satu tahun kebersamaan yang selama ini tidak pernah aku tinggalkan,” terangnya.

Pria itu tersenyum ringan. “Lalu, apa saja yang sudah kamu lakukan dengan orang lain?” tanya Aksa lembut sembari meringkukkan badannya hingga tubuh Zeva ikut tergeser ke belakang.

Perempuan itu hanya menggeleng dua kali. Saat tubuhnya hampir benar-benar terjatuh di atas kasur, tangan kiri Aksa segera menopangnya. Sedangkan tangan kanannya diatur untuk menopang tubuhnya sendiri.

“Aksa,” lirih Zeva pelan membuat Aksa sejenak memejamkan mata dengan kekehan di ujung.

Sesaat kemudian, Aksa langsung mebuka mata dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga Zeva. “Sekarang beri tahu, apa yang tidak mereka rasakan darimu?” Aksa berbisik.

“Itu—,”

“Bagaimana dengan ini?” tanya Aksa sembari tangan kanannya mengusap lembut kedua bibir Zeva.

Saat sekaan sudah semakin jelas, Zeva memejamkan mata seolah menyukai apa yang Aksa lakukan. Mendapati respons semacam itu,tentu saja Aksa merasa tersambut dengan hangat oleh perempuan di hadapannya.

Sentuhan lain akhirnya mendarat tepat mengenai sasaran. Perlahan tangan kanan Aksa ikut bergeser memegangi leher Zeva dan keduanya menikmati apa yang sedang terjadi.  

Setelah sapuan bibir yang terakhir, Aksa menambahkan satu sentuhan lembut di area dahi. “Apakah aku menjadi yang pertama untuk bagian ini?” goda Aksa membuat Zeva mengangguk  menahan malu. Aksa tertawa kecil menyadari kemenangannya.

Ia kemudian membaringkan tubuh miring tepat di samping kiri Zeva dengan posisi tangan menyangga kepalanya. Sedangkan tangan yang lain Aksa gunakan untuk mengusap lembut pipi perempuan itu sembari berucap, “Sekarang berhentilah meminta maaf. Aku sudah memutuskan untuk menerima kekuranganmu di hari pertama kamu berterus terang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status