"Sudahlah, kamu jangan mendramatisir suasana," ucap Sarah ketika Frani mengadukan perselingkuhan suaminya pada ibu mertuanya. Wanita itu sedang mencoba pakaian barunya dan tidak peduli dengan ucapan Frani.
Frani menekan perasaannya yang kacau, "Ibu membela Mas Gani?" Harusnya dia sudah tahu itu.Dengan tajam, Sarah menatap Frani, "Gani tidak bersalah. Kamu yang bersalah karena tidak bisa memberikan anak. Bukan salah Gani kalau dia mencari wanita lain yang bisa memberikan anak. Ibu setuju kalau dia menikah lagi. Apalagi Celia wanita yang sangat cantik dan penampilannya jauh lebih sempurna daripada kamu. Ibu yakin kalau Celia bisa memberikan keturunan pada keluarga ini."Air mata yang ditahan oleh Frani akhirnya luruh juga. Wanita itu menangis, mendengar pembelaan dari Sarah, "Tidakkah ibu tahu bahwa ibu juga wanita? Apa ibu tidak peduli dengan perasaanku? Seumur hidup aku tidak pernah mendapat penghinaan semacam ini. Aku juga tidak akan pernah mengizinkan pernikahan kedua suamiku terjadi."Sarah sudah berniat untuk melayangkan pukulan pada Frani, tapi menantunya menahan gerakan itu. Akibatnya kekesalan Sarah semakin memuncak, "Kamu berani sama ibu? Durhaka kamu sama orang tua! Pantas saja kamu tidak memiliki orang tua karena sikap kamu yang kurang ajar. Pergi kamu dari rumah Ibu! Menantu tidak tahu diri! Sudah tidak memiliki apa-apa tapi berlagak menjadi penguasa."Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Frani kembali ke rumah, mengemasi barang-barangnya. Dia juga mengambil buku tabungan dan barang berharga miliknya meskipun yang tersisa hanyalah beberapa ratus ribu. Perdebatan yang mengusik orang tuanya tidak lagi bisa dimaafkan. Seumur hidup Frani akan mendendam pada ucapan Ibu mertuanya itu.Gani tiba-tiba muncul dan melontarkan kalimat tajam pada istrinya, "Berani kamu membuat ibu sakit hati?""Kenapa aku tidak boleh berani melawan ucapan yang tidak semestinya aku dapatkan?" elak Frani."Sialan! Istri macam apa yang berani melawan suaminya?"Plak!Satu pukulan itu lolos begitu saja. Frani menggantungkan tas pada lengan kirinya sementara tangan kanannya memegang wajahnya yang memerah bekas pukulan itu. Hatinya semakin hancur berkeping-keping. Tidak ibu mertuanya, tidak suaminya, semuanya sama saja."Ceraikan aku, Mas! Aku bisa hidup lebih baik tanpamu karena kalian hanya numpang hidup padaku!" tandas Frani. Dia menggertakkan giginya."Sialan!" Gani berniat melakukan pemukulan lagi, tapi Frani berhasil menepisnya. Dia tidak akan kalah dari Gani.Gani tidak menyangka dengan pembelaan Frani, "Dulu kamu tidak pernah bersikap seperti ini sama aku. Apalagi kamu cinta padaku setengah mati. Sekarang hanya karena kamu punya toko laundry, kamu berani menentang suami kamu sendiri."Tidakkah Gani merasa ucapannya berbanding terbalik? Frani ingin tertawa mendengarnya, "Harusnya aku yang bicara seperti itu sama kamu, Mas. Dulu kamu sangat mencintaiku bahkan tidak bisa hidup tanpaku. Kamu setulus itu, tapi sekarang tidak ada lagi ketulusan yang aku lihat dari mata kamu. Kamu terlalu munafik. Menginginkanku sebagai tulang punggung keluarga, menyalahkanku atas ketidakberhasilan kita mempunyai anak dan sekarang kamu memintaku untuk menjadi Frani yang bodoh seperti dulu setelah melihat kamu berselingkuh? Kalau aku masih bisa menerima kamu, itu berarti aku sudah gila. Tenang saja, Mas! Kamu tidak perlu bermain petak umpet di belakangku. Kamu bisa bermain dengan Celia di kamar kita ini. Lakukan apa yang kamu mau selagi kamu bisa menghidupi gaya hidup Celia. Kalau kamu tidak mau menceraikanku, aku yang akan mengajukan cerai di pengadilan. Aku sudah punya banyak bukti untuk menyudutkan kamu. Laki-laki yang tidak berguna!"Gani terpojok. Dia tidak tahu bahwa istrinya telah menyiapkan segudang bukti untuk melepaskan diri darinya. Dia tidak bisa apa-apa ketika Frani membawa pergi tas besarnya keluar dari rumah mereka. Sebelum wanita itu menghilang dari pandangan, Gani membuat ultimatum, "Jangan berharap kamu bisa kembali ke rumah ini setelah meninggalkan aku! INGATLAH BAHWA KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA BAHAGIA TANPAKU!"Frani tidak menyahut. Dia mengusap air mata yang berderai, meninggalkan lukanya pada rumah yang dia harapkan menjadi masa depannya. Bola matanya tidak bisa melihat dengan jelas karena lelehan air mata yang terus mengalir. Malam ini dia akan tidur di toko laundrynya, menenangkan diri.***Keesokan harinya, Leni bingung melihat tas besar yang ada di dalam laundry. Dia tidak menyangka Frani menginap di sana semalam. Ketika dia datang bosnya sedang menyetrika beberapa baju yang tersisa untuk dipacking ke dalam plastik besar."Bu Frani?" panggilnya.Frani mendongak dari lamunannya, "Pagi, Leni?""Pagi, Bu."Leni melihat kasur kecil yang biasanya digunakan untuk beristirahat dirinya dan Celia jika senggang, belum terlipat sempurna, "Ibu tidur di sini semalam?""Iya.""Apa Ibu sedang bertengkar dengan suami ibu?""Begitulah.""Saya turut prihatin, Bu.""Terimakasih."Leni meletakkan tasnya di dalam nakas, kemudian membantu pekerjaan Frani, "Apa Celia menghubungi ibu?"Mendengar nama itu disebut, Frani ingin meluapkan amarahnya. Tapi Leni tidak tahu apapun tentang masalahnya."Tidak. Katakan padanya, kalau dia saya pecat. Untuk alasannya, dia pasti sudah tahu kesalahan apa yang membuat saya harus memecatnya."Leni mengangguk pelan. Di dalam hatinya dia menduga bahwa Celia bermain api semakin dalam. Sekarang tinggal bagaimana sikap Frani pada anak buahnya itu.Seakan tidak ingin Leni berpikir yang bukan-bukan tentang dirinya, Frani meminta wanita itu untuk bersiap dengan pekerjaannya.Entah kenapa seharian ini, orang yang datang hanya mengambil barang-barang mereka. Tidak ada yang menitipkan cucian atau setrikaan. Padahal biasanya jam-jam makan siang adalah jam paling sibuk. Kenyataannya tidak ada orang yang datang.Terlepas dari semua itu, Frani mendapati banyak orang yang menatap sinis pada toko miliknya. Bahkan ada yang terang-terangan mengejek. Apa yang Frani lakukan sampai semua orang menolak tatapan teduhnya?Sampai seorang wanita paruh baya yang sangat Frani kenal berhenti di depan laundry miliknya. Frani cepat-cepat memburunya, "Bu Ida, lama tidak ada cucian."Ida yang selalu ramah pada semua orang, menatap ketus pada Frani, "Laundry kamu sudah buruk di mata orang-orang. Meskipun pakaian saya tidak semahal pakaian Bu Ningrum, saya tidak mau rugi dengan menitipkan barang di sini.""Maksud ibu apa?""Alah, jangan pura-pura tidak tahu. Bu Ningrum bicara pada semua orang bahwa laundry kamu menghilangkan pakaian mahalnya. Kamu juga tidak mau tanggung jawab kan untuk menggantinya? Dari pada saya kehilangan banyak baju di laundry ini, lebih baik saya menitipkan pakaian saya di tempat lain. Saya benar-benar tidak menyangka dengan kinerja kamu. Pantas saja kalau ibu Sarah tidak menyukai menantu seperti kamu."Frani tidak terima jika masalah laundry disangkut pautkan dengan Sarah, "Masalah laundry tidak ada hubungannya dengan hubungan saya dengan ibu mertua saya, Bu. Tolong jangan bicara begitu!""Kenyataannya memang begitu kan? Pantas Kalau Bu Sarah ingin Gani menceraikan kamu. Sudah tidak bisa bekerja dengan baik, jadi menantu pun tidak becus. Untuk apa menikah kalau tidak mau punya anak? Kalau saya jadi ibu Sarah, sudah saya minta anak saya untuk menceraikan kamu dari dulu. Beruntung karena ibu Sarah baik, makanya dia bisa bertahan dengan menantu macam kamu.""Astaga, Ibu. Kalau punya mulut dijaga. Atas dasar apa ibu menceramahi rumah tangga saya? Ibu bahkan tidak tahu apa-apa tentang kami," ucap Frani setengah kesal. Dia tercekat dengan semua informasi yang ditujukan padanya. Jangan-jangan Sarah sudah menyebarkan gosip tentang dirinya.Ida tentu lebih percaya pada Sarah dari pada Frani, "Heh, Frani! Ibu Sarah sudah menceritakan semuanya pada orang-orang bahwa kamu selalu mencari-cari alasan untuk bercerai. Padahal kamu sudah ketahuan berselingkuh dan hidup menumpang di rumah pemberian mertua kamu. Harusnya kamu bersyukur mendapatkan Gani yang rela pulang larut malam demi menghidupi kamu. Saya juga tahu kalau laundry ini dulunya dibeli dari uang Gani. Jangan sok karena kamu yang memegang kendali!"Deg!Sarah memutar balikkan fakta.***"Secara nggak langsung aku memang khawatirkan keadaan kamu, Gani. Dari awal menikah kita selalu berjuang untuk membahagiakan orang tua kamu tapi mereka nggak pernah sekalipun mengerti bahwa kamu juga butuh untuk dibahagiakan. Mungkin jika sekarang aku masih menjadi istri kamu, aku nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebebas ini," ucap Frani lemah. Jeda sejenak kemudian dia melanjutkan, "bukan karena aku sudah memiliki Mas Rendi dan harta yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya, tapi lebih pada bersyukur karena orang-orang di sekitarku nggak pernah memaksaku untuk bekerja keras. Mereka menghargaiku meskipun statusku, ya kamu pasti tahu. Terkadang aku berfikir, mungkin benar kebahagiaan akan datang setelah kita larut dalam kesedihan. Tuhan itu adil dan aku yakin kamu juga akan mendapatkan keadilanNya."Gani merasa dirinya menjadi suami yang paling bodoh sedunia karena tidak memahami kesulitan Frani selama menikah dengannya. Pria itu menundukkan kepalanya, sebelum air matan
Gani mendesis, "Nggak. Aku lihat lowongan pekerjaan ini di media sosial. Aku juga nggak tahu kalau laundry ini milik kamu, Fran."Frani tidak ingin percaya tapi memang benar dia membuka lowongan pekerjaan di media sosial. Lantas siapa yang harus disalahkan? Gani hanya berjuang untuk menghidupi hidupnya. Sementara Frani, dia juga membutuhkan karyawan baru. Untuk sementara ini, Frani tidak akan mengusik Gani."Ini camilan untuk kalian, Pak kurir yang baik," ucap Tanti sembari meletakkan beberapa bungkus makanan di meja kecil di pojok ruangan. Frani tergagap, dia buru-buru pergi dari sana sebelum Tanti mengetahui dia bertemu dengan pria lain. Apa dia perlu menceritakannya pada Rendi? Kira-kira respon apa yang akan diperlihatkan suaminya? Ya Tuhan, Frani takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.°°°Gani membawa helm miliknya ke meja ruang tamu, dia duduk di sana dengan perasaan tidak karuan. Lelah rasanya. Bukan pekerjaan yang melelahkan tapi bertemu dengan Frani yang membuat dia e
"Kalian bertengkar?" tanya Septi di ujung telepon. Dia iseng menghubungi Frani tapi malah mendengar suara tidak biasa dari sahabatnya itu."Nggak kok. Kenapa kamu telepon? Ada masalah?" elak Frani. Dia selalu bisa menyembunyikan permasalahan dalam rumah tangganya."Yakin nggak apa-apa?""Yakin, Sep.""Oke kalau begitu. Aku telepon hanya ingin tanya apa kamu ingin sesuatu?""Sesuatu?" tanya Frani bingung."Hm. Sesuatu. Siapa tahu bumil ingin makan sesuatu."Frani sedang tidak berselera makan. Sejak Rendi pergi, dia hanya diam di dalam kamarnya. Bahkan ketukan di pintu yang memintanya untuk makan malam tidak dihiraukan. "Aku nggak ingin apa-apa, Sep. Thanks ya perhatiannya," ucap Frani pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya. Kalau kamu butuh apa-apa bicara saja padaku. Kalau aku bisa, aku pasti belikan.""Iya. Selamat malam.""Malam."Frani menghembuskan napas dengan gelisah. Dia merindukan Rendi. Padahal baru beberapa jam mereka berpisah. Hanya saja rasa rindu itu t
"Tanti? Kenapa sendirian?" tanya Rendi bingung. Dia tidak sengaja melihat Tanti yang terduduk di depan ruko dengan mata sembab. Wanita itu mendongak begitu melihat Rendi."Nggak apa-apa, Pak. Kalau bapak cari Frani, dia sudah pulang dari tadi," elak Tanti sembari mengusap air matanya yang masih mengalir pelan. Dia meyakinkan Rendi bahwa dirinya baik-baik saja."Terjadi sesuatu? Saya dengar Rio menikah dengan salah satu staff kantor. Apa itu benar?" Tanti mengangguk lemas, "Dia bahkan nggak memberi saya kabar berbulan-bulan lamanya, Pak. Saya datang ke rumahnya juga nggak diterima baik oleh orangtuanya. Alasannya Rio pergi ke luar kota karena ada pekerjaan di sana. Saya mencoba percaya. Saya nggak pernah berpikir bahwa dia menjauh dari saya. Ketika saya datang untuk kesekian kalinya demi memberimu kabar tentang keguguran saya, saya melihat Rio pergi dengan wanita lain. Maafkan saya, Pak, kalau saya tiba-tiba bicara melantur. Saya permisi dulu."Rendi merasa ada sesuatu yang salah kala
"Tan," panggil Frani pelan.Tanti menunduk sedih, "Aku masih bisa mempertahankan kehamilanku, Fran. Aku yakin kalau bayiku masih ada."Rendi menyingkir dari sana karena beranggapan bahwa dia tidak memiliki kuasa untuk mendengarkan mereka. Mereka memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Frani bangkit untuk duduk di sisi kanan Tanti. Dia menggenggam jemari Tanti, membiarkan Tanti mengerti apa yang dia khawatirkan. "Kata dokter gimana?"Begitu mendengar nama dokter disebut, air mata Tanti meluruh. Dia tidak yakin apakah dia sanggup menceritakan semuanya pada Frani. Beberapa jam lalu menjadi waktu yang paling menakutkan untuknya. Dia yang berharap semuanya akan indah harus merelakan bayinya pergi."Bayinya nggak bisa diselamatkan dan dia harus dikuret segera kalau nggak ingin ada bekas di dalam sana," seloroh Septi yang tidak sabar menunggu Tanti bicara."Kita harus lakukan prosedur itu, Tan," ucap Frani. Dia mempererat pelukan tangannya, "aku temani. Septi juga. Kita ha
"Kamu kenapa, Fran?" tanya Tanti cemas. Sejak berangkat ke pusat perbelanjaan, raut wajah Frani tidak sesantai itu. Ada sesuatu yang dipikirkan melihat bagaimana wanita itu menghela napas selama mereka sibuk memilih pakaian. Frani berusaha tersenyum, sungguh. Namun yang terlihat hanyalah seulas senyum tipis yang tidak berarti apa-apa. "Aku nggak apa-apa."Tanti meminta Frani untuk duduk lebih dulu di area sofa bundar yang digunakan untuk menjajal sepatu atau sandal di toko tersebut. Mereka sudah membeli banyak pakaian meskipun Tanti sudah menolaknya. Berbeda dengan Septi yang tidak bisa menjauhkan pandangan matanya dari barang-barang mahal itu.Tanti ikut duduk di samping Frani, lalu pertanyaan itu kembali muncul. "Ada apa? Kamu bertengkar dengan Pak Rendi gara-gara kami?"Frani agak terkejut karena Tanti sangat peka dengan keadaan. Kepalanya memberikan tanda penolakan. "Nggak. Siapa yang bilang? Kalau aku bertengkar mana mungkin aku bisa menemani kalian di sini?""Maaf ya kalau kami