Share

Part 5 - Pengambilan Paksa

"Sudah cukup, Bu. Ibu keterlaluan. Saya tidak ingin berkata kasar pada ibu. Saya permisi," ucap Frani. Dengan mata nanarnya dia kembali masuk. Sampai seburuk itu dirinya di mata orang-orang? Masalah laundry yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah perselingkuhan suaminya, membuat wanita itu tidak bisa lagi berkata-kata.

***

"Mana Frani?" teriak Sarah dari luar toko.

Frani dan Leni keluar bersamaan dan mendapati Sarah sudah berkoar-koar memanggil menantunya.

"Aku di sini, Bu," jawab Frani. Matanya sembab. Dia menangis tanpa suara.

"Kamu boleh bercerai dengan anak saya tapi saya akan menuntut harta gono-gini."

"Harta gono-gini apa yang ibu maksud? Laundry ini adalah milikku."

"Oh ya? Siapa yang bilang ini milik kamu? Kata Gani, separuh dari uang pembelian ruko ini adalah miliknya. Kamu jangan coba-coba membohongi ibu. Enak saja kamu mau keluar dari rumah ibu dan mengambil semua harta milik bersama. Serahkan sebagian uang penjualan ruko laundry ini pada Gani, dengan begitu kalian bisa bercerai."

"Tidak akan pernah! Aku membeli ruko ini dengan uangku sendiri. Aku juga tidak berniat untuk menjualnya. Ibu jangan seenaknya mengakui apa yang bukan menjadi milik ibu. Aku tidak akan terima dan akan memperjuangkannya," tegas Frani. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang perlu digarisbawahi dalam kehidupan Frani.

"Berani kamu?"

Sarah berlari menghampiri menantunya, menarik paksa rambut wanita itu hingga jeritan Frani terdengar. Permasalahan rumah tangga yang harusnya dibicarakan secara kekeluargaan malah menjadi tontonan banyak orang. Frani tidak sanggup melawan mertuanya karena dia bukan wanita kurang ajar.

Hingga, Leni menengahi mereka dan menarik Frani menjauh. Kerumunan pejalan kaki dan pemilik ruko di samping kanan kiri membuat jalanan macet. Bayangkan betapa menariknya melihat mertua menarik rambut menantunya perkara harta gono-gini.

"Ikuti apa mau ibu atau kamu akan menyesal," ancam Sarah. Dia masih berusaha mengintimidasi lalu pergi.

Frani memeluk Leni, terisak

"Yang sabar, Bu," ucap Leni.

***

Kabar miring rentang perselingkuhan Frani mulai beredar luas. Kemanapun kakinya melangkah, orang-orang menggunjing dirinya. Padahal dia tidak melakukan apapun tapi seolah dirinya yang disalahkan. Usaha laundrynya juga terancam gulung tikar. Tidak ada lagi orang yang mau mempercayakan cuciannya pada mereka.

"Maaf karena saya harus memberhentikan kamu dari pekerjaan ini, Len. Kamu tahu sendiri bagaimana sepinya tempat ini. Saya tidak yakin bisa menggaji kamu dengan layak," ucap Frani pada akhirnya. Keputusannya itu sudah dipikirkan matang-matang sejak beberapa hari yang lalu.

Leni menerima pemecatannya dengan tangan terbuka. Dia juga tidak mau menambah beban Frani, "Maafkan saya kalau selama bekerja di tempat ini saya sering melakukan kesalahan, Bu. Saya berharap ibu bahagia dengan keputusan yang akan ibu ambil ke depannya."

"Terimakasih, Len."

"Saya selalu siap menampung curahan hati ibu. Jangan hapus nomor saya ya?" Leni sedang berusaha berkelakar untuk membuat suasana hati Frani membaik.

Frani mengiyakan. Perpisahan singkat itu akhirnya selesai dengan air mata yang mengalir.

***

"Siapa ya?"

Ketika membuka rukonya seorang pria sedang menunggunya di luar pintu. Pria paruh baya itu membawa sebuah map dan tas kecil di bagian belt celananya. Kumis lebatnya membuat Frani bergidik.

Keadaan wanita itu tidak baik-baik saja karena semalaman dia tidak bisa tidur. Bayangan suaminya yang sedang melakukan sesuatu dengan wanita lain tidak juga mau pergi dari kepalanya. Padahal dia sudah memutuskan untuk tidak lagi mencintai Gani. Tapi hati yang selama lima tahun hanya terpaut pada Gani tentu tidak akan mudah melupakannya.

"Cari siapa?" tanya Frani bingung.

Pria itu tanpa permisi masuk ke dalam ruko untuk melihat-lihat. Dengan menyentuh ujung kumisnya, dia mengangguk santai. Apa yang sedang dia pikirkan?

Frani dengan gelisah menghampirinya, "Bapak siapa? Kenapa main nyelonong? Ini ruko saya."

"Tapi ibu Sarah meminta saya untuk melihat-lihat tempat ini. Saya berani membayar harga di atas rata-rata karena tempat ini masih terawat dengan baik. Oh ya, hampir lupa. Saya Solihin, makelar bangunan yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Tapi kalau kamu mau jadi istri saya, saya akan melipat gandakan menjadi dua kali lipat. Setuju?" Lirikan mata Solihin yang menilai penampilan Frani, terlihat menjijikkan. Dia bukan seperti makelar bangunan tapi mirip pemilik tempat malam.

"Jangan sembarangan kalau bicara, Pak!" Frani mundur beberapa langkah, mengamankan dirinya.

Solihin tertawa, "Alah, bu Sarah saja sudah memberikan lampu hijau. Tidak apa-apalah bekas Gani yang penting masih kinclong. Dari pada kamu cari pria lain yang belum tentu kaya kan? Enakkan sama saya yang uangnya banyak."

"Brengsek! Pergi dari sini! Sampai kapanpun saya tidak akan menjual ruko ini. Tolong sampaikan kata-kata saya pada mertua saya. Silahkan pergi sebelum saya berteriak!" ancam Frani tajam.

Solihin tidak gentar sama sekali, "Kamu ini diberi hati malah minta kaki. Ya sudah. Saya akan pergi. Tapi saya akan kembali lagi dengan pembeli. Lagi pula surat-surat ruko sudah ada pada saya." Pria itu hanya mempermainkan Frani. Padahal surat-surat itu ada pada Sarah, disimpan aman di dalam almarinya.

"Apa? Dari mana bapak mendapatnya? Serahkan pada saya!" Frani nekad menarik tas Solihin untuk memastikan. Tapi dia kalah tenaga dari pria itu. Frani terpelanting dan bagian kepalanya membentur tembok.

Karena tidak mau dituduh melakukan kekerasan, Solihin lari terbirit-birit. Sementara Frani mencoba untuk bangkit dan mencari surat kepemilikan ruko yang dia simpan di dalam tasnya.

Baju-bajunya berserakan di lantai, tangan Frani bergerak cepat untuk mencari. Namun, tidak ada satupun yang berhasil dia temukan. Wanita itu terduduk lemas di antara keributan yang dia buat.

"Kenapa tidak ada?" gumamnya frustasi. Dia yakin sudah membawanya serta saat dirinya pergi dari rumah. Dia tidak ingat kenapa surat-surat itu bisa ada di tangan Sarah. Mendadak semua yang ada di kepalanya lenyap.

Frani bangkit dengan susah payah. Helaan napas kasarnya terdengar menyesakkan. Dia bergumam, "Aku harus memintanya kembali pada ibu."

***

"Berikan surat ruko padaku, Bu. Aku pemilik sahnya. Kenapa ibu mengambil dariku tanpa seizinku? Itu namanya mencuri dan jual beli ruko itu tidak sah di mata hukum," cerca Frani.

Sarah tampaknya tidak peduli dengan wanita yang akan segera menjadi mantan menantunya itu. Dia menikmati pisang goreng yang masih suam-suam kuku dengan santai, "Siapa bilang? Pak Solihin berjanji akan memberikan harga yang pantas. Mau sah atau tidak, yang penting surat-suratnya ada. Meskipun dalam surat itu tertulis nama kamu, tetap saja ada orang yang berhak. Suami kamu."

"Kenapa ibu mengusik apa yang menjadi milikku satu-satunya? Aku sudah berbakti pada ibu selama bertahun-tahun. Buka hati ibu, lepaskan ruko yang bukan milik ibu. Aku mohon," pinta Frani frustasi. Jika dengan keras kepala tidak mempan, Frani mencoba menggunakan cara yang lebih halus.

Sarah meradang, "Ngaca kamu! Apa yang kamu dapatkan selama menikah dengan Gani adalah milik ibu. Pergi dari sini! Ibu muak melihat wanita sok kaya macam kamu."

"Dasar tidak punya malu. Masih saja mengemis kebaikan hati ibu mertua," seloroh seseorang dari belakang. Wanita berpakaian cukup minim itu menatap Frani dengan seringaian sinis.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zi Aldina
mertua durjana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status