Pias. Sejenak Mas Adrian terdiam membisu melihatku uring-uringan sore ini.
"Oh untuk soal itu, Mas ada urusan!" ringan saja Mas Adrian menimpali, kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kamar.
"Mas! Aku belum selesai ngomong!" sergahku.
Mas Adrian menoleh.
"Nisa, sudahlah Mas capek! Itu semua urusan Mas! Yang penting jatah untuk kamu sudah Mas penuhi! Kamu harusnya bersyukur punya suami tanggung jawab sepertiku." Usai mengatakan itu Mas Adrian melanjutkan langkahnya dan masuk ke kamar.
Brak! Suara dentuman pintu yang di tutup dengan keras.
Kenapa Dia yang marah! Harusnya aku yang sedang marah di sini, kenapa jadi kamu yang marah Mas!
Kamu memang memenuhi kebutuhan kita Mas! Tapi itu sangat pas-pasan. Bukannya aku kurang bersyukur, aku hanya ingin tahu kenapa sampai kamu berbohong. Kemana suamiku dulu yang begitu terbuka dengan semuanya.
Kalau semua pengeluaran jelas larinya kemana, mungkin aku nggak akan marah sampai seperti ini Mas!
Jika biasanya sepulang kerja aku sudah memasak untuknya tapi tidak untuk hari ini. Aku masih terdiam di sofa ruang tamu ini, cara apa yang harus kuambil untuk mencari tau semuanya.
"Nisa! Kenapa di meja makan kosong melompong! Nggak ada makanan yang bisa di makan? Kamu seharian ini di rumah ngapain aja sih! Sampai nggak masak, Hah?" teriak Mas Adrian dari dapur.
Aku pejamkan mata ini rapat-rapat untuk beberapa saat. Sudah berani berbohong, masih juga tak merasa! Dasar tidak peka! Tidakkah ia tahu aku sedang kesal padanya!
"Nisa! Kamu dengar nggak sih, Mas panggil!" serunya lagi karena aku tak menyahutinya.
"Apa sih Mas, teriak-teriak!" sungutku menyusul ke dapur.
Seharian ini memang aku tak masak, siang tadi aku makan di rumah Tante Ranti.
"Nisa aku ini suamimu! Sudah kewajiban kamu menyiapkan semua keperluanku! Termasuk makanan untukku!"
"Suami macam apa, yang sudah bohongin istrinya!" cebikku.
"Anisa! Sudah Mas bilang, yang penting jatah untuk kamu kan tetap utuh! Jadi yang lain biar jadi urusan Mas, ngerti!"
"Aku takkan seperti ini jika semuanya jelas Mas! Aku pun selama ini tak pernah meminta yang macam-macam! Aku cuma ingin kita terbuka dalam segala hal. Sekarang kamu mau makan, masak sendiri lah!"
Aku berlalu meninggalkannya yang tengah duduk di ruang makan. Sepertinya aku harus cari tau sendiri apa yang sebenarnya kamu sembunyikan Mas!
Malam ini kami saling diam. Sedangkan Mas Adrian sejak tadi menonton televisi. Ah tidak. Tepatnya TV yang menontonnya, karena sejak tadi ia sibuk dengan ponselnya, sesekali senyum mengembang di bibirnya. Jika kutanya mengapa senyam-senyum, ia menjawab lagi main game aja. Sedangkan aku menyibukkan diri membaca cerita-cerita di aplikasi online di ponsel kesayanganku.
Banyak kisah cerita yang menarik. Sejenak aku jadi berpikir bagaimana jika Mas Adrian selingkuh. Aku menjadi was-was akan perubahan sikap Mas Adrian, apakah Mas Adrian punya wanita lain di luar sana seperti cerita yang sudah kubaca.
Bagaimana jika Mas Adrian diam-diam telah mengkhianatiku. Seperti ada yang mengganjal di hati ini. Membayangkan Mas Adrian jika benar ia selingkuh, belum apa-apa nyatanya hati ini begitu panas.
Pagi ini seperti biasa Mas Adrian pamit berangkat, tak semesra biasanya, perlakuannya pun tak sehangat biasanya. Kuakui semua telah berubah.
Aku mengantarkannya hingga ke depan pintu.
Setelah Mas Adrian mulai melajukan motornya. Bergegas aku membuka ponsel.
"Pak maju sedikit ya!" ucapku pada seseorang melalui sambungan telepon. Ya! Aku memesan taksi online sejak tadi untuk membuntuti Mas Adrian. Kemana Mas Adrian pagi ini.
Tak berapa lama mobil hitam berada tepat di depan rumahku. Bergegas aku mengunci pintu dan berlari kecil memasuki mobil.
"Cepat ikuti motor di depan itu Pak!" pintaku pada supir taksi.
Aku memang memesan taksi online dengan destinasi ke tempat kerja Mas Adrian. Mobil berjalan mengikuti motor yang dikendarai Mas Adrian. Aku sengaja membuntutinya dengan menggunakan taksi online agar Mas Adrian tak curiga.
Motor Mas Adrian memang benar ke arah tempat kerjanya. Hingga 20 menit perjalanan kami sampai di depan PT tempat kerja Mas Adrian. Terlihat Mas Adrian masuk ke dalam perusahaan.
Ternyata benar Mas Adrian pergi kerja, tidak pergi kemana-mana.
"Kita pulang ke rumah saya tadi Pak," ucapku pada supir taksi online.
Aku tak kan kehabisan akal, akan aku ikuti lagi nanti saat jam pulang kerja. Jika yang dikatakan Riko benar tidak ada lembur, maka jam kerja normal pukul setengah lima sore waktunya Mas Adrian pulang.
Aku tak kan bisa menerima jika cinta ini kau khianati Mas!
Seperti biasa pukul sembilan pagi aku pergi ke rumah Bu Salma, untuk membantunya membuat kue. Bagaimanapun aku juga butuh uang tambahan untuk kebutuhan pribadiku yang tak pernah bisa Mas Adrian penuhi.
"Eh Ada Mbak Nisa di sini? Kirain sekarang sudah nggak mau bantu-bantu Mama lagi, Mbak!" sapa Mas Fariz tiba-tiba muncul dari dalam. Aku dan Bu Salma sedang sibuk mengocok adonan dengan mixer.
"Ya masih lah Mas! Memang apa alasan saya sudah nggak mau bantuin Bu Salma," ucapku seraya mengulas senyum pada anak sulung Bu Salma.
"Ya siapa tahu, karena sekarang Mas Adrian sudah diangkat jadi salah satu team leader di perusahaan, tentu gajinya pun sudah lebih besar, karena sudah naik jabatan."
Degh!
Apa? Mas Adrian naik jabatan? Sudah bukan lagi operator produksi yang selalu ia katakan?
"Apa? Sudah jadi leader? Sejak kapan Mas?" tanyaku.
Jujur aku terkejut, kenapa Mas Adrian tidak pernah bilang padaku. Mas Fariz memang bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Adrian, Mas Fariz sebagai manager produksi di sana. Melalui Mas Faris inilah aku meminta bantuan untuk bisa memasukkan Mas Adrian masuk kerja di perusahaan itu.
"Lho? Memangnya Mbak Nisa tidak tahu? Sudah sejak tiga bulan ini Mbak!"
"Oh, ehm mungkin Mas Adrian lupa mau bilang ke saya, ehm kok hari ini Mas Faris nggak masuk?" Aku mencoba menyembunyikan keterkejutanku.
"Ehm hari ini aku cuti," jawabnya.
"Iya hari ini Dia cuti, katanya ada urusan penting sama Bella. Biasalah urusan anak muda, Nis!" Bu Salma menimpali. Diiringi senyum mengembang dan mengedipkan matanya.
Bella adalah pacarnya Mas Faris.
"Mamah!" Mas Faris hanya memutar bola matanya ke atas karena ledekan mamanya. Terkadang memang lucu tingkah ibu dan anak ini, mereka kompak. Terkadang bukan seperti Ibu dan anak, tapi seperti sahabat.
"Jangan lupa nanti ajak Bella ke rumah ya Ris!" pinta Bu Salma. Mas Faris pun berlalu meninggalkan kami.
"Ya!" sahut Mas Faris dari ruang tengah.
"Minggu depan Faris mau tunangan, mungkin hari ini mereka akan membeli keperluan mereka," ucap Bu Salma padaku. Aku hanya mengangguk paham.
"Semoga semuanya lancar ya, Bu!" ucapku tulus.
Tak terasa semua kue-kue pesanan hari ini telah selesai di buat, tinggal tunggu Imam–keponakan Bu Salma datang kembali untuk mengantar ke beberapa alamat pelanggan Bu Salma. Sejak jam sepuluh tadi sudah ada beberapa yang diantar, tinggal beberapa lagi yang memang meminta untuk diantar sore hari.
Setelah semuanya selesai aku pun pamit pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore.
Sepulang dari rumah Bu Salma aku langsung mandi dan bersiap untuk pergi. Tak lupa aku memesan taksi online untuk mengantarku.
Tepat pukul setengah empat sore aku sudah berada di dalam mobil taksi yang kupesan. Destinasi ke perusahaan tempat kerja Mas Adrian. Sengaja aku meminta supir untuk menunggu di tepi jalan agak jauh tidak tepat di depan Perusahaan
"Tunggu sebentar ya Pak, sampai jam pulang kerja pabrik di depan itu," ucapku pada Pak supir taksi.
"Iya Bu!"
"Terimakasih Pak, nanti ongkosnya saya lebihkan." Sang supir pun mengangguk setuju.
Cukup lama aku menunggu hingga pukul setengah lima beberapa karyawan mulai berhambur keluar Perusahaan. Aku perhatikan satu per satu dari mereka.
Saat netra ini menangkap seseorang yang sejak tadi kutunggu. Mas Adrian keluar dengan motor maticnya.
"Ayo Pak ikuti orang itu Pak!" Aku menepuk punggung pak supir. Mobil pun bergerak maju.
Benar saja Mas Adrian tidaklah lembur, tapi tidak ke rumah. Mobil terus melaju mengikuti motor Mas Adrian, jelas jalan yang kami lewati bukanlah jalan pulang ke rumah.
Mau kemana kamu Mas? Aku bermonolog.
"Jangan sampai kehilangan jejak ya Pak!" pintaku. Karena penasaran kemana sebenarnya suamiku pergi.
Jalanan yang kami lewati pun bukan juga jalan ke rumah Ibu.
Motor Mas Adrian memasuki sebuah gerbang sebuah perumahan. Aku ingat-ingat Mas Adrian tidak punya saudara yang tinggal kawasan perumahan ini. Atau ke rumah temannya?
Mobil terus berjalan mengikuti ke arah mana Mas Adrian mengemudikan motornya, menyusuri rumah demi rumah di sini. Mata ini tak pernah lepas dari pandangan punggung Mas Adrian yang berada tak jauh di depan kami.
Hingga motornya Mas Adrian berhenti di depan sebuah rumah. Rumah kecil dengan gaya minimalis, bercat abu-abu, dan pagar rumah berwarna cokelat.
Mas Adrian langsung memasuki pagar, memarkirkan motornya kemudian menutup kembali pagar rumah itu. Terlihat jelas Mas Adrian seperti sudah biasa memasuki rumah itu.
Aku menyipitkan mata memperhatikan dengan seksama, aku tak ingin terlewatkan sedikitpun, rumah siapa sebenarnya ini. Dadaku berdegup kencang.
Beberapa saat kemudian terlihat seorang wanita keluar dari rumah itu. Jantungku seperti ingin lompat dari tempatnya.
Mataku membeliak sempurna saat melihat pemandangan di depan mata. Wanita itu keluar dengan tidak tahu malunya langsung mencium punggung tangan Mas Adrian. Seolah dia adalah istrinya, bergelayut manja di lengan kekar laki-laki yang masih bergelar suamiku.
Kurasakan darahku seperti mendidih hingga ke ubun-ubun. Netra ini menatap nanar pemandangan yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku.Dress selutut berwarna biru muda, membalut tubuh rampingnya. Rambutnya di cepol memperlihatkan leher jenjangnya. Senyum mengembang di bibir mereka berdua. Bahkan Mas Adrian mencium kening wanita itu, dan mengusap pipinya.Hati ini bagai di tusuk belati tajam. Sakit tak terkira. Inikah alasan kamu lembur setiap hari Mas?Astaghfirullah! Netra ini memanas, berusaha keras agar bulir bening yang menyeruak hendak keluar dari pelupuk mata ini tak sampai tumpah di sini.Ya! Suamiku selingkuh. Yang lebih mengejutkan lagi wanita itu adalah seorang yang sangat dekat denganku. Aku ternganga. Mungkin rona wajahku kini sudah merah padam menahan emosi yang siap meledak.Aku tak bisa lebih lama lagi berdiam di dalam mobil."Tunggu di sini sebentar ya Pak! Saya ada urusan sebentar dengan dua orang itu!" ucapku dengan suara bergetar dan tetap memandang ke arah
Aku menatap lekat ke arah Intan yang tampak sedang berpikir."Tunggu! Maksud kamu Vivi Anggraini kan?" Aku mengangguk. Karena itu memang nama lengkap Vivi."Bukankah Vivi itu pacarnya Rendi.""Rendi?""Iya. Rendi teman kita waktu SMA dulu, inget nggak? Rendi yang dulu pernah suka sama kamu tapi kamu tolak itu." Aku terdiam. Mencoba memutar ingatanku beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah. Aku ingat sekarang, ya! Rendi yang dulu pernah mengutarakan cinta padaku, bahkan ia mengatakan itu di depan kelas, tentu membuatku malu sekaligus terharu atas aksinya.Namun aku menolak halus perasaannya. Meski sejujurnya waktu itu aku pun menyukainya. Tapi aku sadar diri, aku hanya seorang anak yatim-piatu, hidup menumpang di rumah Tante Ranti. Tante Ranti masih mau menyekolahkan aku sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi aku tak ingin banyak tingkah dengan menjalin hubungan atau berpacaran semasa sekolah.Fokusku hanya untuk belajar. Aku tak ingin tanteku kecewa.Tanpa sadar aku ters
Tok! Tok! Tok!"Nisa! Apa Kau sudah bangun?" Suara Intan mengagetkanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding ternyata sudah hampir jam tujuh pagi."Iya Tan!" sahutku kemudian membuka pintu kamar.Ternyata Intan sudah rapi dengan pakaian kerjanya."Kamu sudah mau berangkat?""Sebentar lagi. Ayo, sarapan dulu," ajaknya.Kami berjalan ke ruang makan. "Nis, selama aku kerja, kamu di rumah ini bersama Bik Mirna nggak apa-apa kan!" Intan berkata sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya."Ehm, hari ini aku pulang aja ke rumah, Tan." "Apa? Kamu yakin?"Sejenak aku terdiam. Karena sebenarnya di dalam hati ini juga masih ragu, apakah aku sanggup bertemu dengan dia hari ini. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik, ini kenyataan, mau tak mau, siap tidak siap, aku harus menghadapi ini."Insya Allah aku yakin, Tan!" jawabku kemudian. Aku ingin buat perhitungan dengan Mas Adrian. Meski aku sendiri tak yakin dengan langkah yang akan kuambil ini."Nisa! Kalau kamu mau di sini dulu beberapa har
"Kamu yakin, apapun yang kumau akan kamu lakukan Mas?" tanyaku dan Mas Adrian mengangguk cepat. Bersamaan dengan senyum mengembang di bibirnya, namun ada gurat gelisah juga tergambar diwajahnya.Aku paham Mas Adrian sampai memohon untuk aku tetap bertahan pasti karena Ibu, ia tahu sedekat apa aku dengan ibunya. Aku tahu perpisahanku dengannya pasti akan membuat Ibu syok. Mas Adrian pasti khawatir akan kesehatan ibunya. Ibu punya riwayat jantung dan bisa kambuh sewaktu-waktu jika ada hal yang membuatnya syok."Aku mau kau meninggalkan Vivi," ucapku.Mas Adrian melebarkan pupil matanya. Bibirnya terbuka untuk beberapa detik.Aku menatap lekat kearahnya. Bisa kusimpulkan Ia teramat berat memenuhi permintaanku, hatiku seperti teriris. Nyeri melihat Mas Adrian nyatanya begitu berat melepas pelakor itu. Meski ia belum mengatakannya."Ehm, Nis! Begini, maafkan Mas. Nanti Mas akan bicara dengan Vivi," jawabnya gugup.Aku menggeleng tak percaya."Kenapa? Berat melepaskan Vivi?" Aku tersenyum k
Yes. Akhirnya berhasil terbuka. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar mandi membawa ponsel Mas Adrian.Jemariku langsung membuka aplikasi berwarna hijau bergambar gagang telepon. Chat paling atas terulis nama Vie dengan emoticon bentuk hati disampingnya. Sekali lagi aku menghirup napas dalam-dalam. Menyiapkan hati sebelum membuka apa saja isi chat mereka.Ada banyak sekali chat mereka. [Makasih ya Mas udah beliin yang aku mau.] Sebuah isi chat diiringi foto Vivi tegah memperlihatkan leher jenjangnya mengenakan kalung. Bagus banget. Ucapku dalam hati di iringi rasa nyeri di dada ini. Aku bahkan belum pernah dibelikan kalung sebagus itu oleh Mas Adrian. Satu-satunya kalung yang ia berikan adalah saat pernikahan kami, itupun sudah kujual untuk membayar sewa rumah ini. Waktu itu Mas Adrian lagi nganggur.[Sama-sama Sayang! Untuk kamu memang selalu bisa memuaskanku.] Balasan chat dari Mas Adrian seketika membuatku bergidik.[Aku pasti akan selalu menyenangkan hatimu Mas.][Untuk di at
"Mama selalu saja membela dia! Aku yang anak Mama bukan dia!" teriak Vivi.Dia? Dia siapa yang dia maksud. Aku menunda untuk masuk ke dalam rumah, tampak mereka tengah bersitegang di ruang tengah tapi suaranya jelas terdengar hingga ke teras rumah."Vi! Kamu ini memang sudah keterlaluan! Nisa itu Mbakmu! Mama bukan membela Dia! Tapi kamu memang salah!" seru Tante Ranti.Itu artinya Tante Ranti sudah tahu tentang hubungan mereka lalu mengapa Tante Ranti mengijinkan mereka Vivi menikah dengan Mas Adrian, sedangkan jelas Mas Adrian itu masih suamiku. "Sudahlah Ma! Ini sudah terjadi, dan memang Mas Adrian lebih milih aku kok daripada Mbak Nisa. Apalagi sekarang udah ada calon anaknya di dalam sini."Degh! Anak? Itu artinya Vivi sedang hamil anaknya Mas Adrian? Astaghfirullah!Sakit sekali rasanya, di saat pernikahan kami sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya, Allah belum menitipkan anak di rahimku, tapi dengan Vivi Allah langsung memberinya keturunan. Aku merasa ini tidak adil Ya T
"Apa ini maksudnya Tan? Selimut siapa ini?" tanyaku."Itu selimut milikmu saat kau masih bayi."Sebuah selimut bayi bahanya bagus tebal, halus, lembut, berwarna pink, ada gambar beruang kecil di ujungnya, serta di balik selimutnya pun ada bordiran nama bertuliskan 'Anisa Andara Putri Hadiwijaya'Hadiwijaya adalah nama Bapakku.Kubuka kotak persegi panjang itu, mata ini membeliak ketika tahu isinya. Sebuah kalung silver dengan liontin berbentuk hati. Di tengah ada sebuah batu safir kecil kebiruan, yang diapit oleh tiga buah permata. Cantik sekali. Berkilau, melihatnya saja aku bisa menebak jika ini bukan barang murah."Ta–Tante, apa maksudnya ini Tan?" Aku tergagap, ini bagus sekali. Baru kali ini aku melihat kalung seindah ini."Itu milikmu Sayang, selama ini Tante menyimpannya, sekarang Tante pikir, sudah saatnya kamu sendiri yang menyimpannya. Dulu sewaktu ibumu sakit, dia menitipkan ini untuk diberikan padamu saat Kau dewasa. Dan sekarang saatnya.""Tan, ini bagus sekali." Aku mas
Deru suara motor terdengar di halaman rumah ini, semakin lama suaranya semakin kecil dan menjauh. Sepertinya Mas Adrian pergi entah mau kemana, mungkin ia menemui Vivi.Pelan kubuka pintu kamar ini. Benar saja ia telah pergi, aku menyingkap gorden jendela, motor yang tadi sore terparkir di halaman telah tiada.Hati ini gerimis mendapati kenyataan ini, tak kupungkiri hati ini sakit saat tahu suamiku kini punya tempat singgah selain aku, selain rumah ini.Kuhabiskan waktu malam ini dalam kesunyian, hanya televisi yang menemani, itu pun tidak sepenuhnya ku lihat, hanya sekedar untuk mengisi suara di rumah ini agar tak sepi.Aku membuka lemari baju dan menyimpan selimut bayi pemberian Tante Ranti tadi siang. Sekali lagi aku mengamati kalung ini, begitu cantik aku ingin sekali memakainya.Aku pun menyematkan di leherku, dan menatap diri di pantulan cermin. Cantik.Dering ponsel mengagetkanku yang masih mematut diri di depan cermin.Ibu mertua memanggil."Hallo Assalamualaikum Bu," ucapku