Lima tahun kemudian!Setelah lima tahun berlalu, Nayara masih tinggal di kontrakan sepetak nya bersama putra kecilnya yang kini sudah berusia lima tahun.Tidak banyak yang berubah, Nayara masih berjualan bubur untuk dicukupi kebutuhan sehari-hari. Bedanya sekarang bubur yang dijual oleh Nayara sudah banyak dikenal oleh orang-orang sehingga Nayara hanya fokus penjualan di depan kontrakan tidak diselingi dengan berkeliling lagi. Selama 5 tahun ini, hidup Nayara sangat tentram. Jauh dari orang-orang jahat yang tidak punya hati, dan juga sangat bahagia karena karena putra kecilnya tumbuh menjadi anak yang pintar dan penurut.Nayara berhasil mendidik anak itu dengan baik.Seperti kali ini contohnya, Nayara sedang mencuci piring setelah berjualan seharian. Rayhan begitu tenang duduk di samping Nayara.Raihan sangat tampan, tak jauh berbeda dengan ayah kandungnya."Mama, kapan bisa temani Ray main?" Anak berusia lima tahun itu
"Sudah lima tahun, Nara. Sudah lima tahun kamu menyembunyikan diri dariku," bentak Alvano."Alvano, kamu ...." Nayara menatap Alvano lalu beralih menatap Dokter tadi. "KAMU TIDAK BENAR-BENAR SAKIT?" Nayara meninggikan nada suaranya dan sadar dirinya telah ditipu."Kamu tega menipu aku, Al?" Suara Nayara berubah lirih.Alvano tertawa sinis. "Benar, aku menipu kamu. Kalau tidak begitu." Alvano menarik kasar tangan Nayara sampai membentur dadanya. "Kami tidak akan pernah muncul lagi, Nara." Alvano mendorong Nayara dengan kasar."Untuk apa kamu melakukan semua ini? Bukankah kita sudah bercerai?" Mata Nayara berkaca-kaca."Cerai ya?" Alvano menatap tajam Nayara. "Apa kamu pikir aku sudah menyetujui perceraian itu? Kamu memang tidak tau diri, belum menebus semua hutang-hutang kamu padaku, tapi sudah berani kabur selama lima tahun."Nayara sudah terbiasa dengan kata-kata pedas yang Alvano katakan padanya.Nayara hampir menangis
"Aku tidak butuh persetujuanmu, Nara. Asal kamu tahu, kamu tidak berhak menolakku." Alvano berdiri tegak. "Coba selidiki lebih jauh lagi, dari mana para perawat tadi menemukan dia?" Alvano menatap Keenan.Mendengar itu, Nayara langsung panik. Nayara langsung berdiri sambil menatap Alvano."Apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Nayara yang mencoba menyembunyikan rasa paniknya. "Apa yang aku inginkan?" Alvano mengulang pertanyaan Nayara. "Mungkin saja ada pria hidung belang di luar sana yang mau menampung istriku selama 5 tahun, bukankah aku harus berterima kasih kepada mereka?" Alvano tersenyum miring.Sejak awal Alvano sudah yakin kalau Nayara pasti hidup dengan seseorang, Alvano lebih yakin lagi karena selama ini Nayara itu adalah anak manja yang tidak bisa hidup sendiri dan sangat bergantung kepada harta keluarga Widjaya.Nayara semakin panik, bukan karena apa yang dipikirkan Alvano itu benar. Tapi karena masih ada hal besar yang dia se
Sadar dengan tindakannya, Alvano langsung mendorong kepala Nayara sampai wanita itu terbentur ke dinding mobil.“Kamu jahat, Al.” Nayara yang merasa dilecehkan pun menghapus bekas ciuman Alvano.Setelah itu mereka tidak terlibat percakapan apa pun lagi, Nayara menatap keluar jendela selama perjalanan, sedangkan Alvano sibuk dengan pikirannya sendiri.Alvano menyesal telah kelepasan mencium Nayara.Satu jam kemudian, Nayara meminta berhenti di pinggir jalan yang lumayan jauh dari kontrakannya. Nayara sengaja turun di sini agar Alvano tidak bertemu dengan Rayhan.“Tunggu!” Alvano masih menahan Nayara saat wanita itu hendak pergi.“Apalagi?” tanya Nayara lirih.“Aku sarankan kamu jangan kabur lagi! Jika sampai kamu tidak bisa ditemukan lagi, aku tidak akan segan-segan benar-benar membuat kamu hancur.” Setelah mengatakan itu, mobil Alvano berjalan meninggalkan Nayara dengan rasa sakitnya.“Sejauh ini kamu sudah memb
“Aku jadi penasaran, dia itu anak haram dari pria brengsek yang mana sampai kamu rela sampai seperti ini.” Alvano menunjuk Nayara yang masih berlutut.Vanya muncul di tempat itu dengan langkah tertatih dan pakaian rumah sakit yang melekat di tubuhnya, gadis itu baru saja sadar setelah mendapatkan transfusi darah dari Nayara.“Tolong jangan panggil dia anak haram, dia bukan anak haram, Al. Dia anak hasil dari pernikahan yang sah,” desis Nayara.“Kalau begitu katakan siapa ayahnya!” titah Alvano.“Sebenarnya dia anak kam—”“Kak, Alvano! Ada apa ini?” Suara Vanya membuat Nayara menelan kata-katanya kembali.Alvano langsung khawatir melihat kedatangan gadis itu. “Kenapa kamu datang ke sini?”“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih pada Kak Nara karena dia sudah melakukan transfusi darah untukku,” jawab Vanya sambil menatap Nayara, “terima kasih banyak, Kak Nara,” lanjutnya dengan suara yang begitu lembut mendayu-dayu.
Setelah menunggu semalaman, akhirnya Rayhan sadar juga pagi ini.“Ayo makan satu suap lagi, Sayang!” Nayara menyodorkan sendok berisi bubur putih pada putranya itu.Nayara menggigit bibir bawahnya menahan tangis saat teringat apa yang dikatakan dokter setelah hasil lab kesehatan Rayhan keluar tadi pagi.Flashback on.“Rayhan mengalami penyakit leukemia yang sudah sangat parah, dia butuh transfusi sumsum tulang belakang.”Dunia Nayara terasa runtuh saat itu juga, anak yang dia jaga sepenuh hati sejak dalam kandungan seorang diri tanpa bantuan siapa pun—kini menderita sakit separah itu.“Dokter, tolong pikirkan cara untuk menyelamatkan anak saya, Dokter.” Nayara sampai tidak bisa membendung air matanya saat itu juga.“Anda jangan cemas dulu, Nyonya. Kami akan bantu mencarikan pendonor sumsum tulang belakang yang cocok untuk anak Anda.”Nayara sedikit merasa lega mendengar itu.“Hanya saja … Anda perlu mem
Plak!“Argh!”Tubuh Nayara langsung terhempas ke dinding hanya karena satu tamparan keras dari Alvano.Pria itu langsung marah melihat Vanya yang terduduk di lantai dan seperti di dorong oleh Nayara padahal kenyataannya tidak begitu.Vanya buru-buru berdiri. “Kak Alvano, dia mendorongku.” Vanya mengadu dan memasang wajah yang terluka.Nayara hanya diam dipojokkan sambil menahan rasa perih di pipinya akibat tamparan Alvano.“Nayara, kamu cari mati,” desis Alvano yang sangat marah.“Dasar paham jahat! Jangan menyakiti ibuku!” Si kecil Rayhan memasang badan untuk membela ibunya.Rayhan yang biasanya diajari sopan santun pada orang dewasa itu, kini mendorong Alvano sekuat tenaga karena telah berani menampar ibunya.Gyut!Secara tiba-tiba Rayhan membalas Alvano dengan cara menggigit punggung tangan pria itu.“Arghh!” Alvano yang merasak
“Kak!” Vanya memanggil Alvano dengan suaranya yang lembut mendayu-dayu itu."Ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat lagi ke kamarmu. Kata dokter besok kamu sudah boleh pulang, siap-siap dan besok akan aku jemput." Alvano mengusap pipi Vanya dengan begitu perhatian di depan muka Nayara.Tidak bisa dibayangkan sesakit apa perasaan Nayara saat ini.“Baiklah,” balas Vanya dengan patuh.Alvano pergi dari sana karena masih ada urusan lain, sebagai orang penting tentunya Alvano memiliki banyak pekerjaan dan jadwalnya sangat padat.Vanya menatap Alvano sampai pria itu benar-benar menghilang, setelahnya Vanya melirik Nayara yang tengah memeluk Reyhan.“Kamu benar-benar wanita tidak tahu diri, Kak Nara. Kamu itu hanya anak dari seorang pelakor, kenapa kamu masih berani ngerayu Kak Alvano yang jelas-jelas adalah milik aku? Kamu pasti belajar dari ibumu yang pelakor itu kan?” Vanya memaki Nayara habis-habisan.“Aku bahkan nggak p
“Shh!”Nayara terus meringis sepanjang Anik mengobati luka-luka di sekujur tubuhnya karena pukulan dari Clarissa.“Kalau Bibi boleh bertanya, untuk apa Nona melakukan semua ini?” Anik membereskan semua peralatan yang dia gunakan untuk mengobati luka Nayara tadi.Nayara pun memakai kembali bajunya dengan benar setelah tadi kancingnya sempat dia buka beberapa agar Anik lebih leluasa mengobatinya.“Bi, apa pun akan aku lakukan untuk menyelamatkan putraku. Luka ini tidak seberapa bagiku,” jawab Nayara.“Hah.” Anik menghela napas kasar sambil mengambil sesuatu di bawah bantal. Benda itu adalah sebuah amplop cokelat yang lumayan tebal.“Ini adalah uang tabunganku selama bertahun-tahun, jumlahnya memang tidak seberapa. Semoga saja ini bisa membantumu sedikit.” Anik memberikan amplop itu pada Nayara.“Ini tidak perlu, Bi.” Tentu saja Nayara langsung menolak karena tahu Anik juga sangat membutuhkan uang itu.“Nona, aku telah merawatmu selama bertahun-tahun. Jangan sungkan padaku, aku sudah men
Ruby meneguk ludah, mencoba tetap tenang. Tapi sulit sekali, apalagi ketika Julian berdiri begitu dekat, menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.Oke, Ruby. Tenang. Jangan goyah!Tapi bagaimana bisa tenang kalau Julian berdiri begitu dekat, dengan ekspresi penuh percaya diri yang menjengkelkan itu?"Apa kau takut?" Julian bertanya, suaranya rendah dan penuh godaan.Ruby memaksakan senyum. "Takut? Aku? Tidak mungkin.""Benarkah?" Julian semakin mendekat, membuat Ruby hampir tersudut ke meja."Jangan terlalu percaya diri, Bos," kata Ruby, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Kau bukan satu-satunya pria yang bisa membuat seorang wanita salah tingkah."Julian mengangkat alis. "Oh? Jadi, kau mengakui kalau aku membuatmu salah tingkah?"Sial. Dia membalikkan kata-kataku!Ruby segera meralat, "Aku tidak bilang begitu."Julian hanya menyeringai. "Tapi kau berpikir begitu."Ruby menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan tajam. "Aku tidak terintimidasi olehmu, Julian."Julian terse
Lama menunggu, namun tidak ada juga satupun orang yang keluar dari rumah itu. Nayara pun mulai nekat. “Pa, aku mohon bantulah aku. Sekarang putraku sedang sakit, perlu biaya operasi 6 miliar. Kau sudah tidak punya jalan keluar lain lagi, dia adalah cucu Papa juga.”Suara Nayara yang lumayan keras terdengar sampai ke dalam rumah.Dimas terlihat gelisah, sementara Clarissa terlihat biasa saja.“Kenapa? Kamu kasihan? Dimas, kamu tetap saja tidak bisa berubah. Dulu dengan ibunya kamu juga kasihan, sekarang anaknya. Apa kamu tidak kasihan dengan putri kita Vanya?” cecar Clarissa.Dimas diam, dia tau harus bereaksi seperti apa.“Pa, Papa harus ingat. Nayara dan Kak Alvano belum cerai, jika keluarga Kak Alvano tau tentang anak haram itu mereka akan menyalahkan mama dan papa tidak bisa mendidik anak. Kalau anak Nayara mati itu demi menjaga nama baik keluarga Widjaya,” hasut Vanya.“Dasar anak itu, belum bercerai sudah berani mencari pria lain. Sungguh keturunan pelakor, sungguh mirip dengan
“Maafkan aku, Nyonya. Aku salah, aku akan menampar diriku sendiri.”Pelayan itu benar-benar menampar dirinya sendiri berkali-kali sampai wajahnya membengkak dan memerah.“Sudah cukup, sekarang kamu boleh pergi dan katakan kepada Kak Nara kalau Mama dan Papa tidak mau menemuinya,” titah Vanya.“Kenapa kamu masih membela anak itu? Apa jangan-jangan dia sudah memberimu jampi-jampi agar tetap simpati padanya?” Clarissa jadi semakin berpikiran buruk tentang Nayara. “Padahal Vanya sudah tinggal selama 5 tahun dengan kita, tapi kamu masih saja tidak bisa melupakan anak itu.” Clarissa benar-benar marah pada suaminya.“Bukan begitu maksudku.” Dimas begitu dilema sekarang.Di satu sisi dia ingin bertemu dengan Nayara, tapi di sisi lain dia takut pada Clarissa kalau dia berani menemui Nayara.“Pa, aku tidak tahu seperti apa kedekatanmu dengan Kak Nara. Kalian sudah hidup bersama selama dua puluh tahun lamanya, tapi Papa tidak pantas berlaku seperti itu pada Kak Nara.” Vanya tidak terima melihat
“Selamat pagi, Dokter Ardian.” Nayara tersenyum ramah pada seorang dokter paruh baya yang Nayara kira sudah menghubunginya.“Terima kasih banyak sudah menyisakan satu kamar untuk Rayhan,” ujar Nayara.“Kamar apa?” Dokter Ardian terlihat bingung menanggapi pertanyaan Nayara.“Kamar untuk Rayhan, bukankah Anda yang membantuku?” Nayara terlihat begitu bahagia.Sepertinya Dokter Ardian tidak tahu apa-apa tapi juga tidak berani mengatakan apa pun. Tentu saja, kamar itu disediakan oleh Alvano, jelas Dokter Ardian tidak akan tahu apa-apa.“Sudahlah, berhubung Anda ada di sini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.” Dokter Ardian memberikan sebuah kertas. “Ini laporan kesehatan Rayhan, kondisinya semakin menurun. Hal ini sangat tidak baik, tidak bisa kalau hanya memakan obat-obatan saja.”Nayara memejamkan mata, sebelumnya dia sudah menduga hal ini akan terjadi.“Dokter, tolong bantu selamatkan putraku. Dia baru berusia lima tahun, tolong, Dok,” pinta Nayara.“Segera urus semua biayanya, Nyon
“Uhuk!” Rayhan batuk-batuk sampai hidungnya mengeluarkan darah.Tapi anak itu tidak mengatakan apa pun, dia cuma fokus bermain dengan Ultraman baru yang dibekali oleh ibunya.“Astaga, kamu mimisan lagi?” Nayara mengambil selembar tisu. “Sini biar Mama lap darahnya.” Nayara menghapus darah dari hidung Rayhan.“Ray, waktunya minum obat. Kamu mau sembuh kan, Sayang?” Nayara mengeluarkan obat-obatan yang begitu banyak yang harus dikonsumsi anak sekecil Rayhan.“Ray tidak mau, Mama. Obatnya sangat pahit,” tolak Rayhan sambil menutup mulutnya.“Kamu ingin mendengar sebuah cerita?” Nayara mencari akal untuk membujuk Rayhan agar mau meminum obat.“Cerita apa, Mama?” Mata polos Rayhan berkedip-kedip lucu menatap Nayara.“Dulu Ultraman ini juga sakit, dia baru sembuh setelah minum obat.” Nayara mengarang cerita yang menarik untuk anak-anak.“Benarkah?” Dan sesuai dengan harapan Nayara, Rayhan tertarik dan percaya dengan a
Setelah semua masakannya selesai, Nayara menata semuanya di atas meja makan yang di sana sudah dihuni oleh Alvano dan Vanya.Nayara menyiapkan semuanya dengan hati-hati, jangan sampai dia membuat kesalahan yang berakhir dirinya menerima kekerasan lagi dari Alvano ataupun Vanya yang licik.Gadis itu manipulatif, jadi Nayara harus berhati-hati dengan gadis yang saat ini bersama suaminya.“Tuan Alvano, Nona Vanya, silakan menikmati hidangannya!” Nayara benar-benar sangat profesional dan sadar diri dengan statusnya di tempat ini.Alvano terdiam dan tampak begitu murung, hati kecilnya sangat tidak rela melihat Nayara berada di posisi seperti ini. Sementara itu, egonya mengatakan bahwa wanita itu pantas menerima perlakuan seperti ini.Alvano mulai makan, mata terpejam menikmati sensasi makanan khas buatan Nayara yang sudah lama tidak ia makan.Jujur saja, Alvano merindukan masakan ini. Tapi bahasa bancinya pada Nayara mengalahkan segal
Nayara memberikan surat-surat yang sudah dia tandatangani pada Alvano.“Selesai, Tuan. Apalagi yang harus saya lakukan?” Nayara begitu sabar dan pasrah menghadapi Alvano.Alvano menerima surat itu lalu berkata, “Besok pagi jam delapan kamu harus sudah ada di sini, harus tepat waktu tidak boleh terlambat.” Kali ini Alvano berbicara baik-baik pada Nayara.“Baiklah, Tuan.” Nayara membungkuk hormat layaknya para pelayan pada umumnya. “Kalau begitu saya izin pamit dulu.”Alvano mengangguk sehingga Nayara bisa pergi dari tempat itu.Alvano menatap surat-surat di tangannya cukup lama, raut wajah pria itu begitu sulit untuk dijelaskan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Alvano saat ini....“Mama, rumah ini sangat besar.” Mata Rayhan berbinar menatap rumah mewah yang dia pijaki sekarang.Nayara hanya tersenyum mendengar itu, Nayara tidak tega jika harus meninggalkan Rayhan yang sedang sakit sendiria
“Kak!” Vanya memanggil Alvano dengan suaranya yang lembut mendayu-dayu itu."Ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat lagi ke kamarmu. Kata dokter besok kamu sudah boleh pulang, siap-siap dan besok akan aku jemput." Alvano mengusap pipi Vanya dengan begitu perhatian di depan muka Nayara.Tidak bisa dibayangkan sesakit apa perasaan Nayara saat ini.“Baiklah,” balas Vanya dengan patuh.Alvano pergi dari sana karena masih ada urusan lain, sebagai orang penting tentunya Alvano memiliki banyak pekerjaan dan jadwalnya sangat padat.Vanya menatap Alvano sampai pria itu benar-benar menghilang, setelahnya Vanya melirik Nayara yang tengah memeluk Reyhan.“Kamu benar-benar wanita tidak tahu diri, Kak Nara. Kamu itu hanya anak dari seorang pelakor, kenapa kamu masih berani ngerayu Kak Alvano yang jelas-jelas adalah milik aku? Kamu pasti belajar dari ibumu yang pelakor itu kan?” Vanya memaki Nayara habis-habisan.“Aku bahkan nggak p