Share

6. Kartu undangan mantan

Perlahan namun pasti, Dion membaca isi dari kartu undangan itu, yang tertulis dua buah nama.

"Rumi??" gumamnya dengan mata menyipit, "Mungkinkah ...."

Dion pun menghentikan ucapannya kala ia mengingat sebuah nama yang ia kenal dengan sangat baik, bahkan menerka-nerka siapa Rumi yang dimaksud dalam kartu undangan tersebut. Terlebih calon istri Bryan memanglah memiliki nama yang sama dengan mantan istrinya.

Seketika itu pula sosok wanita itu membayangi pikirannya, hingga membuat Dion terhanyut di dalamnya.

"Tapi bukankah banyak orang yang memakai nama itu?"

Dio terus menerus menerka dan mengira calon istri Bryan, mungkinkah hubungan keduanya terjalin dengan baik selama ini?

Lalu detik itu pula, Dion berdecih dan menampakkan senyuman sinisnya, "Apa peduliku? Toh dari dulu mereka memang menjalin hubungan di belakangku."

Ya! Pendapat tersebutlah yang selalu ia pegang sedari dulu, sebuah tuduhan yang tak berdasar hingga membuat dirinya yakin untuk segera menceraikan Rumi, sang istri yang ia nikahi secara sah.

Bahkan tanpa ia ketahui kejadian yang sebenarnya, karena lelaki itu telah dibutakan oleh perasaannya yang teramat dalam terhadap Bella, sang istri siri yang kini menjelma menjadi istri sah.

"Kalau dilihat lagipun, mereka memang cocok. Dua orang pengkhianat bersatu," ucap Dion dengan sorotan tajam serta senyuman sinis.

Sementara itu di tempat lain, lebih repatnya di kediaman Dion Santoso. Shella tengah berbaring terdiam di dalam kamar Shetta setelah ia menemani buah hatinya membaca dongeng hingga tertidur.

Shella menatap wajah lugu sang anak yang telah terlelap, sosok anak perempuan yang menjadi alasan mengapa sampai detik ini sikap ibu mertuanya berubah total.

"Hmmm ... Entah sampai kapan ini akan berakhir, Nak. Kamu seorang cucu pertama dari keluarga terpandang tetapi tidak pernah mendapat pengakuan dari nenek dan kakekmu sendiri," gumamnya lantas mengusap-usap kepala Shetta dengan lembut.

Betapa tidak? Rose yang selalu bersikukuh berpendapat bahwa Shetta sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan ayahnya sendiri, Dion.

"Sejak saat itu, setelah kamu lahir. Nenekmu berubah sikap, beliau yang selalu menemani Mama saat sedang hamil dan tidak sabar melihatmu tiba-tiba saja tidak bersemangat, bahkan beliau berkunjung ke sinipun sangat jarang."

Tak dapat dipungkiri kalau Shella sangat menyayangkan hal itu, bahkan Rose bersikap menolak kehadiran Shetta dalam hidupnya.

Dalam keheningan malam, Shella terdiam dan terhanyut dalam lamunannya. Ia mencoba untuk tetap tegar menghadapi sikap Rose yang persis seperti saat mereka masih berselisih, pun saat Rose menolak dirinya kala itu.

Shella pun menyeringai, memperlihatkan senyuman sinisnya seraya berkata, "Sepertinya aku memang terselamatkan karena Rumi mendua saja, kalau tidak ... aku mungkin sudah ditendang jauh-jauh setelah mereka tahu kalau aku sudah menikah dengan mas Dion."

KRIET ....

"Di sini rupanya."

Mendengar suara itu sontak membuat Shella terkejut dan kemudian menoleh ke belakang, melihat sosok pria yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Kamu sudah pulang ternyata," ucap Shella sembari bangkit dari duduknya menyambut kedatangan sang suami.

Dion mengangguk pelan dan kemudian mengecup kening Shella lalu beralih pada kening sang buah hati tercinta.

"Pantas saja, Mas cari kalian di ruang tengah tidak ada. Rupanya di sini," ucapnya dengan memandangi raut wajah Shetta yang tertidur pulas, "Tumben sekali Shetta tidur lebih awal?"

"Ah, ya ... mungkin dia lelah, Mas. Karena hari ini dia mendapat jadwal olah raga di sekolah, setelah itu Shetta bermain petak umpet sama teman-temannya," jelas Shella dengan menunjukkan raut wajah penuh kesenangan.

"Syukurlah, dia puas bermain," sahut Dion sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ia tentu merasa senang melihat puterinya tumbuh dengan sangat baik, bahkan terasa hingga puteri kecilnya sudah memasuki taman kanak-kanak.

"Kamu sudah makan, Mas?" tanya Shella.

Dengan gelengan kepala Dion pun menjawab, "Belum, mana bisa Mas makan di luar. Lagi pula kerjaan Mas baru selesai jadi Mas belum sempat makan malam."

Mendengar hal itu, Shea segera bangkit dari duduknya, "Baiklah, aku siapkan makan dulu."

Belum sempat ia beranjak pergi, sebuah dering telepon yang masuk melalui gadgetnya seketika saja mengurungkan niatnya.

Saat Shella meraih ponsel itu tiba-tiba ia kembali terkejut melihat deretan angka yang ia kenal sebelumnya.

"Bukankah ini nomor ponselnya ... Hans!?"

Ya! Bukan tidak mungkin bagi Shea untuk mengenali deretan nomor telepon tersebut, setelah ia selalu menerima panggilan serta pesan singkat yang selalu membuatnya jengah dan muak.

"Siapa? Kok gak diangkat?" tanya Dion tampak heran.

Shella kini ketar ketir, di satu sisi ia tidak mungkin menerima panggilan suara itu, terlebih Dio belum sempat ia layani dengan baik.

Beberapa saat kemudian dering ponsel tersebut sudah terhenti dan tak terdengar lagi membuat Bella sedikit merasa lega.

Akan tetapi rupanya keberuntungan belum berpihak padanya, bahkan setelah dering ponsel itu kembali terdengar.

Tak ada pilihan lain dalam benaknya sehingga ia harus mengangkat teleponnya.

"Angkat saja, siapa tahu penting," ujar Dion yang sedari tadi memperhatikan raut wajah istrinya yang tampak gelisah.

Shella pun akhirnya menurutinya, ia segera bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar dari ruang tidur tersebut.

Shella melangkah semakin cepat hingga tiba di sebuah dapur dan ia pun segera mengangkat telepon itu.

["Astaga, lama sekali kamu manjawab teleponku."]

Seketika saja Shella merasa geram setelah mendengar suara dari seberang sana, suara yang tak lain dan tak bukan milik Hans, lelaki yang akhir-akhit ini mengganggu kehidupannya.

"Ada perlu apa lagi!? Kenapa kamu belum mengerti juga dan terus menghubungiku!?" cecar Shella dari balik sambungan telepon tersebut.

Shella tentu sudah lelah dengan tingkah polah yang ditunjukkan oleh Hans, hingga membuatnya selalu melamun akhir-akhir ini.

["Santai dong. Aku hanya ingin mengajakmu besok, kita senang-senang saja dan aku yang akan mentraktirmu,"]

Alih-alih menanggapinya. Shella justru terlihat kesal dengan ajakkan Hans yang dirasa semena-mena.

"Apa kau sudah gila sungguhan!? Harus berapa ribu kali aku katakan padamu untuk tidak muncul lagi!?"

Shella kesal, ia murka dengan sikap Hans yang tak kunjung mengerti, bahkan kini semakin berbuat lebih padanya.

Lalu tanpa ingin mendengar ucapan Hans lagi, Shella lantas segera memutus sambungan telepon tersebut begitu saja.

"Ck! Bisa-bisanya dia ... "

Ucapan Shella sampai terhenti karena sikap Hans yang sudah di luar batas menurutnya, bahkan ia tak bisa hidup tenang dan merasa seperti dikejar-kejar sesuatu. Hingga tanpa disadari olehnya, Dion yang tak sengaja melewati sebuah dapurpun lantas menghampiri sang istri.

"Siapa yang telepon? Kenapa kamu seperti kesal setelah menerima telepon itu?" ucap Dion berdiri di ambang pintu.

Deg!!

Ucapan Dion sontak membuat Shella terkejut, wanita itu lantas mendelikkan pandangannya mengarah kepada sang suami, dengan otak yang terus memikirkan sebuah jawaban.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status