Reaksi Shella pun tampaknya telah disadari oleh Dion, lelaki itu sontak menoleh dan menaikkan alisnya, "Ada apa?"
Shella mengerjap lalu mendelikkan pandangannya, ia rupanya terlalu menunjukkan reaksi berlebihan sehingga menimbulkan tanya dalam diri suaminya.
"Ah! Tidak apa-apa, aku hanya terkejut melihat berita di sosial media yang sedang ramai," jawab Shella.
"Oh ya? Berita apa memangnya?"
Skakmatt!!
Shella kini ketar ketir, kebohongan yang semakin jauh telah membuatnya tenggelam dalam rasa bersalah. Bahkan ia tak tahu harus menjawab apa karena wanita itupun belum mengetahui apa yang tengah ia bicarakan.
"Umm ... hanya gosip kok, biasalah ... selebriti jaman sekarang sukanya cari sensasi," jelas Shella berusaha menjelaskan meski ia merasa begitu gugup.
Dion hanya menganggukkan kepala dan percaya begitu saja dengan ucapan Shella, meski dalam hati kecilnya ia merasa sesuatu yang tampak aneh dari sikap istrinya.
"Apa kami tahu? Aku merasa kalau sikapmu sedikit berbeda," tutur Dion yang akhirnya menyuarakan pendapatnya, "Ada apa?"
Deg!
Shella kembali terkejut, kenapa Dion sangat peka dengan perubahan sikap istrinya saat ini? Padahal Shella sudah berusaha menyembunyikan semuanya tetapi tetap saja hal itu terendus oleh insting Dion yang memang cukup kuat.
Wanita itu lantas menatap Alex dengan canggung lalu menjawab, "Aku?" Lalu mengernyitkan dahinya, "Tidak, aku tidak apa-apa ... memangnya apanya yang berubah?"
Dion pun mengembuskan napas panjangnya, jawaban Shella memanglah tidak cukup memuaskan. Bahkan terdengar seperti ada hang disembunyikan olehnya.
Tetapi meskipun begitu, Dion tak bisa memaksa Shella untuk berterus terang karena jika hal itu terjadi, bukan tak mungkin kalau Shella justru merasa tersinggung dan merasa tidak dapat dipercaya.
"Ah. Begitu ya, syukurlah kalau tidak ada apa-apa. Mungkin hanya perasaanku saja," tukas lelaki itu bernada rendah dan kembali memandang jalanan dengan raut wajah datar.
Sedangkan Shella, wanita itu bisa bernapas lega kali ini. Karena Dion tidak meneruskan pertanyaannya yang terasa menyesakkan.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan suasana yang sedikit terasa canggung, bahkan Shetta yang duduk di bangku belakang hanya sibuk dengan gadget di tangannya.
***
Jam istirahat telah tiba, namun di dalam ruang kerjanya Dion masih sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Ia tak berhenti membuka dan mengecek berkas-berkas, dengan sebuah komputer yang tengah menyala di hadapannya.Tok, tok, tok!
Hingga sebuah ketukkan pintu mengejutkannya.
"Masuk ... " sahutnya bernada rendah.
Dengan satu gerakkan pintu itupun terbuka, menampilkan sosok lelaki berpostur tubuh tinggi dan berkulit putih, serta bau harum dari aroma wewangian yang seketika tercium membuat Dion lantas bisa menebak siapa yang tengah mendatanginya.
"Kau sudah kembali?" tanya Dion tanpa menatap tamunya.
Lelaki itu kemudian mendengkus mendengar pertanyaan yang terasa dingin dari sosok pria yang duduk di bangku seorang direktur.
"Kenapa kau bisa tahu siapa yang datang bahkan kau belum sempat melihatku?"
Lalu Dion mendengkus sembari mengangkat kepalanya, menatap sosok lelaki yang kini berada di hadapan meja kerjanya.
"Aku sudah tahu dari aroma parfum yang selalu kau pakai, Bryan," sahutnya bernada ketus.
"Tch! Bisa-bisanya ... Tapi, ini sudah jam makan siang kenapa kau masih di sini?"
Dengan pandangan yang terfokus pada layar komputer Dion pun menjawab, "Kalau kau bertanya tanpa membawakanku makanan, diam saja."
Bryan pun terkekeh dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang berukuran besar, sebuah senyuman tipispun mulai terlihat kala ia melihat suasana di dalam ruangan tersebut.
"Kau tidak berubah sedikitpun ya, sudah naik jabatanpun masih mengoleksi komik," cibir Bryan dengan terus memandangi sebuah rak kecil berisi beberapa komik serta beberapa miniatur lainnya.
Dion pun mengikuti arah pandang Aidan dan menganggukkan kepalanya kemudian menjawab, "Aku hanya menjaga apa yang aku miliki."
Untuk sesaat Bryan terdiam, mendengar perkataan Dion yang cukup aneh, namun dalam hati ia berkata, "Menjaga? Ck!"
Bryan tentu merasa konyol dengan ucapan Dion yang seketika membuat ingatan masa lalu muncul kembali.
Ya! Ingatan saat Dion masih memiliki berstatus sebagai suami Rumi.
"Aku tidak pernah lupa bagaimana kau memperlakukan Rumi demi MENJAGA wanita lain," gumam Bryan dalam hati.
Ingatan itu tentunya masih melekat dan mungkin tak akan terlupakan, bagaimana pahitnya Bryan menyaksikan lika-liku kehidupan yang Rumi jalani saat dicampakkan oleh suaminya sendiri.
"Ada perlu apa?" tanya Dion memecah keheningan, seakan-akan ia tak ingin berbasa basi lagi dengan saudaranya.
Bryan pun mengerjap dan berusaha tersadar dari lamunannya, ia menatap saudara sepupunya yang masih sibuk dengan tumpukkan pekerjaannya.
Bahkan Dion terlihat tak nyaman saat Aidan berkunjung ke kantornya, dan hal itu tentu disadari oleh Bryan.
Betapa tidak? Sejak Bryan menginjakkan kaki ke dalam ruang kerja saudara sepupunya, Dion tidak menampakkan senyumannya, bahkan tidak menyambutnya dengan baik.
Lelaki itu memilih peduli dengan dunia dan pekerjaannya sendiri, dibanding berbincang dan bertukar kabar dengan kerabat yang baru saja tiba dari luar negeri.
Bryan pun menghela napas panjang, merasa dirinya terabaikan.
Lalu tanpa berbasa-basi lagi, Bryan segera mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jasnya.
"Aku hanya ingin mengundangmu dalam acaraku nanti," ucapnya sembari menyodorkan sebuah kartu undangan.
Hal itu sontak membuat Dion terkejut dengan sepasang mata terfokus pada benda tersebut.
Lalu Dion mengangkat kembali wajahnya dan bertanya, "Akhirnya bujangan tua ini menikah, dengan siapa?"
Alih-alih menjawab, Bryan justru hanya tersenyum seolah tak berniat menanggapi pertanyaan dari kerabatnya.
Bahkan Aidan mengalihkannya pada pembicaraan lain, "Pokoknya jangan lupa datang, dengan istri dan anakmu. Aku tunggu!"
Dengan percaya diri dan keyakinan yang kuat, Bryan pun berpamitan dan kemudian berlalu meninggalkan ruangan itu.
Sepeningggal Bryan, Dion justru kembali bergelut dengan pekerjaan sampai-sampai melupakan bahkan tak menyentuh kartu undangan pemberian Aidan.
Hingga saat matahari mulai bersembunyi dan langit berubah warna jingga, kala itu Dion mulai mengemasi barangnya bersiap untuk pulang.
"Fyuh ... akhirnya selesai juga," ucapnya seraya meregangkan tubuh dan otot-ototnya, "Kupikir berada di posisi ayah itu menyenangkan, tetapi nyatanya? Ck! Jauh dari ekspektasi."
Sangat disayangkan, ambisinya sebagai seorang pewaris yang berhasil memiliki salah satu aset berharga di dalam keluarga Santoso, rupanya tak sesuai dengan harapan indahnya.
Ia pikir menjadi seorang pemimpin cukup mudah karena ia mempunyaibkuasa yang lebih tinggi, namun nyatanya Dion harus mengubur harapan itu dalam-dalam.
"Kalau begini caranya, lebih baik aku tetap menjabat posisiku sebelumnya," kelakarnya dengan terus menggerakkan beberapa anggota badan lainnya.
Akan tetapi gerakkannya terhenti saat sepasang matanya tak sengaja menangkap sebuah undangan yang belum sempat terjamah olehnya.
Dengan helaan napas panjang Dion pun bergumam, "Astaga ... aku bahkan belum sempat membuka undangan itu saking banyaknya pekerjaanku."
Lalu Dion lekas meraih benda tersebut dan mengamati sampul bagian depan yang bertuliskan 'B&R'
Untuk sesaat lelaki itu terdiam dengan jedua mata menyipit, hingga pada akhirnya kala ia membuka kartu undangan itu, kedua bola matanya membulat sempurna.
Kerutan pada keningnya kini mulai tampak jelas, kala lelaki itu membalikkan amplop putih yang ternyata mempunyai lambang yang menggambarkan salah satu lambang Laboratorium terkemuka di kota itu.Mulanya Dion merasa aneh hingga bertanya-tanya dalam benaknya. Tanpa menunggu lama lagi Dion lantas mulai membuka isi amplop dan memgeluarkan secarik kertas putih dengan beberapa deretan huruf dan angka di dalamnya."Surat apa ini?" tanyanya masih menerka-nerka bahkan belum menyadarinya.Perlahan namun pasti, Dion kini mulai membaca kata demi kata yang tertulis di dalam surat tersebut. Untuk sesaat ia kembali heran, terlebih ketika lelaki itu menyadari terdapat beberapa nama yang tidak asing lagi baginya tertera di dalam tulisan tersebut."Kenapa ada nama anakku di sini!? Arshetta Puteri Santoso!?"Ya! Rasa penasaran lelaki itu semakin meluas, bahkan merasa begitu heran mengapa nama itu ada di dalamnya. Ia pun lekas membaca dengan lebih teliti lagi, kata demi kata yang menjelaskan terkait hasi
Seperti rencana sebelumnya pagi ini Hans akan melancarkan aksinya dengan memberi pelajaran pada Dion dan Shella terkait Kejadian beberapa malam yang lalu yang membuat dirinya merasa dipermalukan di hadapan semua orang bahkan di tempat yang selalu ia kunjungi. Lelaki itu telah bersiap dengan pakaian rapinya dan segera meluncur meninggalkan kediamannya menggunakan mobil mewah miliknya yang berharga milyaran rupiah.Dengan ditemani sopir pribadinya Hans segera saja menuju perusahaan milik Dion yang berada di pusat kota tersebut. Raut wajahnya kini menampakkan bahwa dirinya sangat percaya diri dengan rencana ini bahkan Hans sangat yakin bahwa ia akan segera membuat Dion menderita dan bisa memiliki Shella seutuhnya."Tunggu saja, Dion, aku akan menunjukkan Siapa yang paling kuat di antara kita dan aku akan membuktikan siapa yang paling pantas berada di samping Shella, " ucapnya dengan penuh keyakinan dan percaya diri.Tak butuh waktu beberapa jam untuk bisa tiba di kawasan perusahaan elit
Sudah berhari-hari Hans selalu melamun, asyik dengan pikirannya sendiri. Ya! Setelah perdebatannya bersama Dion dan Shella malam itu, ia kini lebih banyak diam dari biasanya, ponsel yang selalu ia mainkanpun kini hanya tergeletak tak karuan di atas meja kerjanya.Ia sungguh tidak berselera untuk melakukan apapun, bahkan ia hanya melakukan beberapa pekerjaan kantornya dan pulang tepat waktu. Tanpa mampir ke sebuah tempat atau melakukan sesuatu seperti biasanya."Ini terasa membosankan, aku hanya dian seperti ini dan tidak melakukan apapun."Hans lalu merebahkan dirinya di atas kursi santai di sebelah kolam renang miliknya, menandangi langit malam yang gelap dan penuh dengan berbagai cahaya bintang menghiasinya.Tak dapat dipungkiri, beberapa ucapan serta cibiran yang ia terima dari Shella tentu berdampak buruk dan cukup panjang hingga membuaynya seperti ini. Lelaki itu semakin terlarut dalam lamunannya sendiri membayangkan semua rentetan kejadian yang secara tidak langsung telah menyin
Bryan baru saja tiba di kantornya dengan suasana hati yang sedikit kurang baik. Setelah perbincangan bersama pamannya yang terjadi semalam, Bryan tentu saja kini merasa bingung dengan saran yang diberikan oleh Handi.Bagaimana tidak? Saran yang dikatakan oleh Handi telah cukup membuat Bryan kembali berpikir, lagi dan lagi.Ia merasa cemas dan takut dengan keadaan Arumi yang belum sepenuhnya merasa lebih baik, bahkan saat terakhir ia makan siang dengan Arumi, wanita itu masih saja terlihat murung, menjawab pertanyaan Bryan seperlunya."Ini benar-benar membuatku pusing," ucap Bryan kala ia menduduki kursi kerjanya dan hendak memulai aktifitasnya.Tetapi, alih-alih segera menggarap beberapa pekerjaannya, lelaki itu justru hanya diam dengan kedua mata terfokus menatap layar komputernya.Diam ... dan tidak bergeming ....Di dalam pikirannya kini hanya terdapat berbagai macam hal yang tentang Arumi dan Askara."Bagaimana kalau tante Rose berbuat nekad dan bersikukuh menginginkan Askara? Lan
Hari-hari setelah malam itu, Shella kini terlihat murung. Meski ia tetap menemani Vena membuka tempat karaokenya, namun semuanya tidak berjalan seperti sebelumnya. Wanita itu jadi lebih pendiam, senyuman manis yang ia miliki kini hanya tertuju untuk para customer.Ya! Shella cukup profesional dalam mengelola emosinya kali ini.Akan tetapi tetap saja, terlihat sekali perbedaan sikap dalam dirinya. Vena pun merasakan hal itu, merasa iba melihat sahabatnya yang harus berada dalam situasi seperti ini."Hmm, saituasi macam apa lagi ini!? Aku benar-benar tidak habis pikir ... "Semua terjadi jelas karena Dion, lelaki yang tiba-tiba datang mengacau. Hal itu membuat Vena memutuskan untuk melakukan sesuatu."Aku harus segera bertindak, karena seperti ini saja sudah membuatku lelah."Ya! Pagi ini lebih tepatnya sesaat setelah matahari muncul dari ufuk timur, para orang-orang yang memulai aktifitasnya, Vena telah bersiap dan segera pergi menuju kantor Dion. Vena berjalan mengendap-endap melewati
Kini, Handi tengah duduk tegap di sebuah ruang tamu yang terdapat pada rumah mewah bergaya modern tersebut. Lelaki itu tak berhenti mengatur pernapasannya, dan juga mengatur beberapa bahasan yang akan ia katakan pada keponakannya.Ia ingin mengulur waktu, memikirkan lagi semuanya hingga terasa tepat untuk disampaikan. Tetapi Bryan sepertinya tidak akan memberinya kesempatan."Baiklah, Om. Apa yang membawa Om hingga malam-malam begini mendatangiku?" tanya Bryan langsung pada intinya.Bryan yang memang sedari dulu tak begitu menyukai basa-basi serta selalu membahas inti dari setiap permasalahan tentu sudah menjadi hal biasa bagi Handi, dan lelaki itu tak pernah menunjukkan aksi protesnya.Handj lalu membenahi posisi duduknya, sebelumm akhirnya menbahas apa yang membuat pikirannya mengganjal."Maaf sebelumnya kalau Om tiba-tiba menanyakan ini padamu," ucap Handj sedikit ragu, "Apa rencanamu saat kalian berdua resmi menikah?"Bukannya lekas menjawab, Bryan justru dibuat bingung dengan per