Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu?
Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?” “Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!” Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.” “Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!” kata Alya. “Jangan terlalu percaya diri, Alya! Kamu nggak liat? Naya aja nggak sudi liat kamu di rumah ini. Kamu nggak liat penampilanmu sekarang? Kucel, jelek lagi! Emang paling bener kalau kita bercerai!” Alya menghentikan langkah kakinya. Dia mengatur napasnya yang berat, melihat ke arah Hendra berdiri. “Katakan dengan jelas.” “Apa? Kamu mau mendengarku menceraikan kamu? Baiklah … detik ini juga, aku jatuhkan talak padamu, Alya Zahira!” Alya tersenyum kecut. Berakhir sudah rumah tangga yang selama ini dia pertahankan demi Naya. Dia melanjutkan langkah kaki menuju kamar untuk mengambil beberapa barang pribadi. Tiba-tiba saja terjadi pemadaman listrik, seperti mengetahui duka yang Alya rasakan dalam hati. Udara dingin menyelinap masuk lewat celah jendela kamar saat Alya berkemas dalam diam. Bukan berkemas membawa koper besar, tapi hanya dirinya sendiri—berpakaian sederhana dengan ponsel yang dimasukkan di tas kerjanya. Sudah cukup, begitu pikirnya. Tak ada yang perlu dibawa dari rumah itu selain luka dan kenangan pahit. Dengan kesadaran penuh, Alya melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia tidak peduli pada makian Bu Lastri yang tiba-tiba datang dan mengucapkan sumpah serapah. Dia juga mengabaikan lemparan baju yang mengenai tubuhnya. Namun, saat kakinya sudah sampai di pintu gerbang, Alya memberanikan diri untuk menoleh, memastikan apakah ada yang kehilangan atas kepergiannya atau tidak. Sayangnya, pintu telah ditutup rapat menandakan tidak ada yang peduli. Alya menatap rumah itu sekali lagi. Rumah besar yang tampak megah dari luar, tapi di dalamnya hanya ada kehampaan. Napasnya terasa berat, tapi tekadnya sudah bulat. Ketika langkahnya sudah semakin jauh, tetesan air mulai jatuh dari langit. Mendung yang tadi menggantung akhirnya pecah menjadi hujan deras, seakan ikut menangisi keputusannya. Alya berjalan tanpa payung, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya. Setidaknya itu jauh lebih baik karena hujan bisa menyembunyikan air matanya. — Jalanan kompleks perumahan sudah sepi. Hanya suara hujan yang menemani langkah Alya, berkejaran dengan detak jantungnya yang kacau. Bajunya sudah basah kuyup, tapi tak dipedulikannya. Yang dia butuhkan saat ini hanya berteduh sejenak dari semua rasa lelah yang mendera. Matanya menangkap sebuah gardu kecil di ujung jalan. Tanpa pikir panjang, Alya berlari kecil dan masuk ke sana. Tangannya memeluk tubuh sendiri, berusaha meredam rasa dingin yang menggigit kulitnya yang mulai mengkerut. "Ya Allah, kuatkan aku," gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Beberapa saat Alya hanya duduk diam di gardu, memandangi hujan yang kian lama kian deras. Dia terus berpikir akan ke mana setelah ini. Haruskah pulang ke rumah mendiang orang tuanya yang telah tiada? Atau pergi ke rumah teman baiknya selama ini? Di tengah kegalauannya, tiba-tiba pandangan Alya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang berjalan tertatih-tatih di tengah jalan. Wanita itu terlihat membawa kantong plastik besar, kepalanya ditutupi kerudung yang sudah basah kuyup. Langkahnya goyah, mungkin karena jalanannya yang licin. "Hati-hati, Bu," bisik Alya pelan meski tak ada yang mendengar. Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, wanita tersebut terpeleset. Tubuhnya terjatuh ke samping dan masuk ke dalam parit yang airnya meluap akibat hujan deras. Alya terperanjat. Dia secara refleks berdiri dan berlari ke arah wanita itu. Meski hujan masih deras, Alya tak memikirkan dirinya lagi. Yang dia tahu, wanita itu butuh pertolongan. "Bu! Ibu nggak apa-apa?" Alya berteriak panik saat mendekati parit. Air kotor mengalir deras di sana dan tubuh wanita itu hampir tenggelam. Alya turun ke dalam parit, meraih tubuh wanita itu sekuat mungkin dengan sisa tenaga. "Ibu tahan ya, saya bantu!" Perlahan, Alya berhasil mengangkat wanita itu ke atas. Napasnya tersengal, tubuhnya kini basah kuyup dan kotor oleh lumpur. Dia menepuk pipi wanita itu dengan pelan. "Bu, bangun– Bu!" Wanita tua itu terbatuk-batuk kecil, matanya sedikit terbuka. "Te-terima kasih, Nak.” Alya tersenyum lega meski tubuhnya gemetar. "Sama-sama. Ibu nggak apa-apa, kan? Rumahnya di mana biar saya akan anter pulang." Si ibu menggeleng dengan mata setengah terpejam, sepertinya sangat kelelahan sampai suaranya pun tak terdengar jelas, sangat lirih. Saat itulah, suara klakson mobil memecah kebisingan hujan. Sebuah mobil hitam berhenti di dekat mereka. Tak lama, seorang pria muda turun tergesa-gesa, wajahnya terlihat panik. "Ibu! Astaghfirullah, Ibu nggak apa-apa?" serunya sambil mendekati wanita itu. Dia menatap Alya tajam. "Kamu siapa?! Mau bawa Ibu saya ke mana?!" Alya terkejut. "Tidak, saya cuma—" "Jangan banyak alasan! Kamu pikir saya akan diam aja? Saya akan laporin kamu ke polisi!" Pria itu mendekat, wajahnya masih penuh curiga. "Mas, saya cuma nolongin Ibu ini. Tadi beliau jatuh ke parit, terus saya bantu." Alya berusaha menjelaskan, meski suaranya terdengar pelan. “Emangnya siapa yang bakal percaya sama omonganmu?!” Pria dengan setelan jas itu membopong ibunya yang pingsan ke dalam mobil. Dia tak mau sesuatu hal buruk terjadi. Alya menghela napas seraya mengusap lengannya. Sungguh dia merasa sangat dingin sampai menggigil. Dengan langkah cepat, dia menuju ke gardu lagi, tapi tangannya ditarik kuat masuk ke mobil. “Ehhh?! Mau dibawa ke mana saya?” Alya mencoba berontak sekuat tenaga, tetapi tenaganya jelas kalah dibandingkan dengan pria berjas tadi. “Saya tidak akan biarin kamu lolos gitu aja! Enak aja, udah bawa kabur ibu saya terus mau lepas tanggung jawab!” Pria dengan tubuh tegap tersebut menutup pintu mobil, tidak mau memberikan kesempatan Alya untuk bicara. Alya menganga tak percaya. Satu sisi dia merasa tenang tak perlu menunggu di gardu lagi, satu sisi dia takut pada pria yang kini menggenggam tangannya agar tidak kabur. “Saya benar-benar nggak ada niat jahat!” Alya terus menjelaskan. “Simpan pembelaanmu di kantor polisi!” sahut si pria.Seorang wanita asing tiba-tiba menyelinap masuk di antara kerumunan. Gerak-geriknya mencurigakan. Di tangannya berkilat sesuatu — sebilah pisau.Semua terjadi begitu cepat. Wanita itu menyerbu ke arah Alya dengan ekspresi penuh kebencian.Sebelum Alya sempat bergerak, seseorang lebih dulu menerjangnya.Seorang lelaki memakai baju serba hitam berdiri di depan Alya, menjadikan tubuhnya sebagai pelindung. Membiarkan pisau tajam bersarang di perutnya. Tak lama, lelaki itu jatuh. Teriakan panik menggema di udara.Alya membalik tubuhnya dan mendapati sosok itu — Hendra.Pisau itu masih menancap di tubuh Hendra, darah mengalir deras dari lukanya. Matanya menatap Alya dengan ekspresi lega, meski tubuhnya mulai melemah.“Kamu wanita nggak tahu diri! Kamu harus mat–!” Wanita tadi menarik rambut Alya, tapi segera diatasi Alex.“Amankan wanita ini! Laporkan pada pihak berwajib!” seru Alex pada bagian keamanan setelah berhasil melumpuhkan wanita tadi.Pesta berubah menjadi kekacauan. Orang-orang
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Naya dinyatakan cukup stabil oleh dokter, Alya mengurus proses pemulangan putrinya. Bu Titik yang selalu menunjukkan perhatian tulus, mengusulkan sesuatu."Naya tinggal di rumah kami dulu, ya? Biar kami bisa bantu jagain juga. Kamu pasti capek," ujar Bu Titik sambil membelai pipi Naya dengan sayang.Alex yang berdiri di sampingnya turut membujuk dengan senyuman lembut. "Anggap aja kayak rumah sendiri. Kita ini udah kayak keluarga."Alya tersenyum kecil, sungkan menolak kebaikan mereka. Dan untuk sementara dia setuju.Rumah Alex memang cukup besar, hangat dan juga nyaman. Ditambah dengan segala sesuatu yang serba ada, membuat rumah tersebut bak istana dengan berbagai fasilitas tersedia. Belum lagi Bu Titik memperlakukan Naya seperti cucunya sendiri, membelikan mainan, pakaian baru, bahkan menyiapkan makanan kesukaan.Namun, seiring berjalannya waktu, Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bukan karena perlakuan buruk — justru sebalik
Hendra diam saja saat tangan Alya mendarat di pipi. Dia menerima apa pun yang akan dilakukan Alya–sadar kalau semua ini terjadi karena kesalahannya."Naya–anak sekecil itu … harusnya dilindungi! Bukan disiksa!" teriak Alya, telunjuknya nyaris menyentuh dada Hendra. "Tapi kamu malah sibuk dengan duniamu sendiri! Kamu … kamu udah milih perempuan itu buat jadi ibu Naya, tapi apa?! Dia malah nyiksa Naya!"Tubuh Hendra sedikit bergetar. Suaranya nyaris tak terdengar saat berusaha bicara, "Maaf, a-aku nggak tahu, Al.”"Kamu nggak tahu?!" Alya nyaris tertawa karena marah. "Kamu menutup mata! Kamu membiarkan Naya terluka! Dan sekarang? Sekarang kamu mau apa? Minta maaf? Kamu pikir dengan minta maaf semua selesai? Kamu pikir luka di tubuh Naya bisa hilang gitu aja dengan permintaan maafmu yang konyol itu?”Hendra tidak menjawab. Dia hanya menunduk lebih dalam, seolah menerima semua tuduhan itu tanpa perlawanan. Diam-diam, dalam hati kecilnya, dia tahu semua kata-kata Alya benar. Dia telah gaga
Di sisi lain, Alya merasakan sesuatu hal yang buruk telah terjadi, tapi tidak tahu apa. Moodnya jadi gampang berubah membuat Bu Titik merasa khawatir.“Kamu kenapa, Alya?”“Aku nggak tau, Bu. Feelingku nggak enak aja,” jawab Alya.Bu Titik menghela napas panjang. Dia berjalan mendekat dan mengusap rambut Alya penuh sayang. Tentu bukan tanpa alasan dia berlaku demikian. Sejak awal dia ingin Alya menjadi menantunya dan berharap itu akan menjadi kenyataan.Kini, jalan sudah terbuka lebar. Status Alya sudah jelas dan seharusnya bukan masalah jika Alya mulai membuka hati untuk orang lain, khususnya untuk Alex. Hanya saja, dia tidak yakin putranya yang pernah patah hati itu bisa diandalkan atau tidak, terlebih Bu Titik belum memastikan apakah Alex tertarik pada Alya atau tidak. “Mungkin kamu cuma kecapekan aja karena belakangan ini sibuk terus,” kata Bu Titik. “Gimana kalau besok kita pergi ke luar kota untuk refreshing?”“Itu–” Alya tampak ragu, terlebih di pikirannya ada Naya.“Kamu berh
Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah. *** Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya. Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja? Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu. “Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.” Alya mengerutkan kening. "Siapa?" “Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama di
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop