Sudah jatuh malah tertimpa tangga. Mungkin itu adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan situasi Alya saat ini. Beruntung wanita yang ditolongnya sadar tepat waktu dan menjelaskan semuanya.
*** Hendra bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Dia segera mandi, tapi saat ingin memakai baju emosinya seketika muncul. “Alya, mana bajuku!” seru Hendra, matanya mengelilingi seisi kamar, tapi tak menemukan sosok yang dicari. Seketika dia berteriak berulang kali memanggil Alya. “Kamu ngapain pagi-pagi teriak sih?” Bu Lastri tergopoh-gopoh masuk kamar putranya. “Alya ke mana sih?! Harusnya ‘kan dia siapin semua keperluanku,” kata Hendra. “Palingan dia lagi masak. Telinganya ‘kan emang agak bermasalah,” tutur Bu Lastri. Tak lama kemudian Naya masuk dan membuka lemari baju. Dia mengambil kemeja biru milik Hendra lengkap dengan celana dan dasinya. “Jasnya di gantungan itu ‘kan?” Naya bertanya seraya menunjuk belakang pintu. “Naya, kamu udah siap?” tanya Hendra menyadari putrinya sudah rapi dengan seragam sekolah, tapi tidak dengan rambut panjangnya. “Iya, tapi aku nggak bisa ikat rambutku. Nenek bisa bantu aku?” tanya Naya. Bu Lastri bukannya tidak mau, tapi dia berpikir bahwa itu adalah tugas Alya hingga terdengar suara lantangnya. “Alya! Urus anak suamimu!” “Dia kemana sih?” Hendra makin kesal karena tak ada jawaban. “Bunda ‘kan udah pergi dari sini,” ujar Naya. Seketika Bu Lastri dan Hendra saling pandang. Mereka berdua sama-sama lupa dengan kejadian kemarin, tertutup dan rasa amarah dan bahagia yang bercampur jadi satu. Pada akhirnya mereka diam, tak membahas Alya lagi dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bu Lastri membantu Naya siap-siap dengan bibir mengerut. Itu bukanlah keahliannya, dia bahkan tak bisa mengikat rambut Naya dengan rapi. Belum selesai dengan hal itu, Hendra sudah berteriak lagi dari arah ruang makan. “Ibu, mana sarapannya?!” tanya Hendra melihat meja masih kosong, tak ada makanan barang sepiring pun. Hanya ada box berisi sisa cemilan setelah mereka semua makan di luar semalam. “Hah? Biasanya ‘kan Alya yang–” Bu Lastri tak melanjutkan kata-kata, tangannya masih memegang sisir dan di belakangnya muncul Naya yang masih acak-acakan. Sungguh Hendra merasa frustasi melihat kekacauan di rumah. Biasanya semua sudah siap tersedia dan rapi. Dia menatap meja sambil mengusap perut. Pandangannya tertuju pada rak kecil berisi roti tawar dan selai. “Sarapan itu aja,” ujarnya pasrah. “Rambutku gimana, Yah?” tanya Naya. Jelas Hendra pun tak tau harus diapakan selain digerai begitu saja. Dia mengepalkan tangan, kesal dengan Alya. Di matanya, semua ini adalah salah Alya. Selesai sarapan seadanya, Hendra mengantar Naya berangkat sekolah. Setelah itu, dia ke kantornya dan mulai sibuk dengan pekerjaan. Namun, pikirannya tidak bisa fokus karena teringat kata-kata Naya saat di mobil tadi. ‘Ayah harus belajar mengikat rambutku mulai sekarang.’ Hanya sebuah kalimat sederhana, tapi cukup membuat Hendra kesal bukan main. Tangannya meraih ponsel dan mencoba menghubungi Alya. Dia ingin membuat perhitungan dengan wanita yang sudah menjadi istrinya itu karena dianggap mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, tapi sayang nomornya tidak aktif. Hendra melihat jam dinding dan beranjak dari duduknya. Dia meminta izin keluar dengan alasan menjemput anak sekolah, padahal sebenarnya ingin ke pabrik, tempat di mana Alya bekerja. Urusan menjemput Naya sudah menjadi tugas Bu Lastri selama ini. – “Di mana Alya?” tanya Hendra karena bukan Alya yang datang, tapi malah salah satu HRD. “Aku ke sini mau ketemu Alya, bukan kamu!” “Maaf, Pak. Berdasarkan absensi hari ini Alya Zahira tidak masuk tanpa keterangan,” jawab HRD ramah. “Jangan bohong kamu! Pasti Alya sudah minta kamu buat bohong, ya ‘kan? Aku ini suaminya, aku bisa saja tuntut kamu karena bersekongkol dengan Alya!” Hendra bicara ngegas, tak ada rasa hormat sedikit pun. Matanya menatap nyalang ke sekitar, beranjak dari duduknya dan memaksa masuk ke area pabrik yang hanya dikhususkan karyawan. Beberapa satpam segera menutup pintu, menahan lelaki yang tengah menahan emosi itu. "Maaf, selain karyawan dilarang masuk, Pak!" kata salah seorang satpam, menahan dengan satu tangannya. Tanpa diduga, Hendra malah berteriak memanggil nama Alya berulang kali, membuat keributan yang memaksa para satpam mengamankan lelaki tersebut. HRD mengikuti mereka ke pos satpam untuk meminta keterangan dari Hendra. Setelah duduk di salah satu ruangan bersama HRD dan dua orang satpam, Hendra memasang wajah sedih. Sesekali dia mengusap wajahnya kasar, menghela nafas panjang, bersikap seolah dirinya sedang mengalami masalah berat. Dia mulai menceritakan bagaimana Alya kabur dari rumah dan lepas tanggung jawab. "Kalau cuma mengabaikan saya sih nggak apa-apa, tapi anak kami pun ditelantarkan sama dia. Padahal saya sudah minta dia buat resign, fokus urus rumah dan anak, tapi malah begini," tutur Hendra dengan segala cerita karangannya. Pihak HRD yang juga merupakan seorang istri dan ibu sampai mengerutkan kening, seolah tak percaya ada wanita seperti itu. Dia pun bertanya Hendra bekerja di mana sampai meminta Alya resign. Bukankah itu artinya secara finansial mampu? Setelah mendapat jawaban bahwa Hendra adalah seorang manajer di salah satu perusahaan besar, jelas HRD tersebut percaya pada Hendra. Dia bahkan menawarkan bantuan dengan berjanji akan memberitahu jika Alya sudah masuk bekerja. Hendra tersenyum penuh arti. Dia tidak akan membiarkan Alya hidup tenang setelah membuat harinya kacau balau. Tak ada rasa bersalah sedikit pun, padahal dialah yang memicu hal ini terjadi. Hendra pun kembali bekerja. Pikirannya sudah mulai tenang sekarang. Hingga saat sore tiba, dia bersiap pulang dan merapikan meja serta dokumen-dokumen penting lainnya. Sikunya menyenggol sebuah buku hingga jatuh ke lantai. “Ini–” Hendra mengambil selembar foto yang ikut terjatuh, foto pernikahannya dengan Alya kurang lebih 8 tahun yang lalu. Sepersekian detik dia tersenyum melihat wajah cantik Alya, tapi tak lama kemudian senyumnya hilang. Dia ingat bagaimana Alya sering menolak keinginannya ketika malam tiba. Memangnya lelaki mana yang bisa menahan diri terlalu sering? “Coba kalau kamu tetap memperhatikan penampilan seperti dulu, aku nggak bakal mencari kehangatan di luar sana,” kata Hendra, menyimpan kembali foto tersebut di dalam buku. Lelaki tersebut masih sempat menelpon Andin sebelum pulang. Wanita yang sudah menghangatkan ranjangnya beberapa waktu belakangan ini memang sangat sering menelpon sekedar bertanya sedang apa. Pun begitu, Hendra tidak terlalu mempermasalahkannya. Ketika Hendra berhenti di lampu merah, pandangannya tertuju pada sosok wanita yang sangat dia kenal berada di depan ruko seberang jalan, sedang bicara dengan seseorang. Emosinya langsung naik. Tanpa pikir panjang, dia keluar dari mobil. Hendra setengah berlari menyeberang dengan tergesa, tak peduli lampu di sisi jalan sudah berubah hijau. "Alyaaa! Berhenti di sana!"Seorang wanita asing tiba-tiba menyelinap masuk di antara kerumunan. Gerak-geriknya mencurigakan. Di tangannya berkilat sesuatu — sebilah pisau.Semua terjadi begitu cepat. Wanita itu menyerbu ke arah Alya dengan ekspresi penuh kebencian.Sebelum Alya sempat bergerak, seseorang lebih dulu menerjangnya.Seorang lelaki memakai baju serba hitam berdiri di depan Alya, menjadikan tubuhnya sebagai pelindung. Membiarkan pisau tajam bersarang di perutnya. Tak lama, lelaki itu jatuh. Teriakan panik menggema di udara.Alya membalik tubuhnya dan mendapati sosok itu — Hendra.Pisau itu masih menancap di tubuh Hendra, darah mengalir deras dari lukanya. Matanya menatap Alya dengan ekspresi lega, meski tubuhnya mulai melemah.“Kamu wanita nggak tahu diri! Kamu harus mat–!” Wanita tadi menarik rambut Alya, tapi segera diatasi Alex.“Amankan wanita ini! Laporkan pada pihak berwajib!” seru Alex pada bagian keamanan setelah berhasil melumpuhkan wanita tadi.Pesta berubah menjadi kekacauan. Orang-orang
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Naya dinyatakan cukup stabil oleh dokter, Alya mengurus proses pemulangan putrinya. Bu Titik yang selalu menunjukkan perhatian tulus, mengusulkan sesuatu."Naya tinggal di rumah kami dulu, ya? Biar kami bisa bantu jagain juga. Kamu pasti capek," ujar Bu Titik sambil membelai pipi Naya dengan sayang.Alex yang berdiri di sampingnya turut membujuk dengan senyuman lembut. "Anggap aja kayak rumah sendiri. Kita ini udah kayak keluarga."Alya tersenyum kecil, sungkan menolak kebaikan mereka. Dan untuk sementara dia setuju.Rumah Alex memang cukup besar, hangat dan juga nyaman. Ditambah dengan segala sesuatu yang serba ada, membuat rumah tersebut bak istana dengan berbagai fasilitas tersedia. Belum lagi Bu Titik memperlakukan Naya seperti cucunya sendiri, membelikan mainan, pakaian baru, bahkan menyiapkan makanan kesukaan.Namun, seiring berjalannya waktu, Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bukan karena perlakuan buruk — justru sebalik
Hendra diam saja saat tangan Alya mendarat di pipi. Dia menerima apa pun yang akan dilakukan Alya–sadar kalau semua ini terjadi karena kesalahannya."Naya–anak sekecil itu … harusnya dilindungi! Bukan disiksa!" teriak Alya, telunjuknya nyaris menyentuh dada Hendra. "Tapi kamu malah sibuk dengan duniamu sendiri! Kamu … kamu udah milih perempuan itu buat jadi ibu Naya, tapi apa?! Dia malah nyiksa Naya!"Tubuh Hendra sedikit bergetar. Suaranya nyaris tak terdengar saat berusaha bicara, "Maaf, a-aku nggak tahu, Al.”"Kamu nggak tahu?!" Alya nyaris tertawa karena marah. "Kamu menutup mata! Kamu membiarkan Naya terluka! Dan sekarang? Sekarang kamu mau apa? Minta maaf? Kamu pikir dengan minta maaf semua selesai? Kamu pikir luka di tubuh Naya bisa hilang gitu aja dengan permintaan maafmu yang konyol itu?”Hendra tidak menjawab. Dia hanya menunduk lebih dalam, seolah menerima semua tuduhan itu tanpa perlawanan. Diam-diam, dalam hati kecilnya, dia tahu semua kata-kata Alya benar. Dia telah gaga
Di sisi lain, Alya merasakan sesuatu hal yang buruk telah terjadi, tapi tidak tahu apa. Moodnya jadi gampang berubah membuat Bu Titik merasa khawatir.“Kamu kenapa, Alya?”“Aku nggak tau, Bu. Feelingku nggak enak aja,” jawab Alya.Bu Titik menghela napas panjang. Dia berjalan mendekat dan mengusap rambut Alya penuh sayang. Tentu bukan tanpa alasan dia berlaku demikian. Sejak awal dia ingin Alya menjadi menantunya dan berharap itu akan menjadi kenyataan.Kini, jalan sudah terbuka lebar. Status Alya sudah jelas dan seharusnya bukan masalah jika Alya mulai membuka hati untuk orang lain, khususnya untuk Alex. Hanya saja, dia tidak yakin putranya yang pernah patah hati itu bisa diandalkan atau tidak, terlebih Bu Titik belum memastikan apakah Alex tertarik pada Alya atau tidak. “Mungkin kamu cuma kecapekan aja karena belakangan ini sibuk terus,” kata Bu Titik. “Gimana kalau besok kita pergi ke luar kota untuk refreshing?”“Itu–” Alya tampak ragu, terlebih di pikirannya ada Naya.“Kamu berh
Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah. *** Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya. Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja? Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu. “Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.” Alya mengerutkan kening. "Siapa?" “Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama di
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop
“Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre
“Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas
Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se