“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah.
“Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik, Bu? Seharusnya Mas Ardi yang kualat karena dia mengabaikan anak dan istrinya.” “Eh, eh, jangan fitnah anak saya! Bukankah selama ini Ardi selalu kasih nafkah buat kamu?” Ibu mertua meninggikan suara sambil berkacak pinggang. “Mas Ardi memang kasih nafkah, tapi jumlahnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah. Tapi buat adik-adiknya, dia sanggup bayarin sepatu dan tas yang mereka beli. Belum lagi makanan enak-enak yang mereka santap tanpa memikirkan aku dan Sisil,” balas Sindy mengeluarkan segala unek-unek dalam hatinya yang selama ini terpendam. “Sin, Sin ... Jadi istri kok nggak bersyukur kamu itu, memang sudah kewajiban Ardi untuk membahagiakan adik-adiknya. Kenapa sih kamu kelihatan nggak suka?” “Masalahnya Mas Ardi juga punya kewajiban untuk membahagiakan kami, keluarga kecilnya. Aku ini istri Mas Ardi dan Sisil adalah anak kandungnya, jelas aja aku iri kalau dia nggak bisa adil seperti ini!” Ibu mertua geleng-geleng kepala menghadapi sikap keras yang diperlihatkan Sindy. “Pokoknya saya nggak mau kejadian ini terulang lagi, hargai suami kamu berapapun nafkah yang dia kasih. Bersyukur jadi istri, karena di luar sana masih banyak istri yang mungkin nggak dapat nafkah dari suaminya.” Ibu mertua balik badan dengan pongah, kemudian berjalan pergi dari hadapan Sindy. “Astagfirullah, Ya Allah ...” Sesak di dada Sindy semakin menjadi-jadi setelah kedatangan mertuanya yang tidak membantu sama sekali, malah justru terkesan menyudutkan dirinya sebagai istri yang tidak pandai bersyukur. “Aku cuma ingin kami diperlakukan dengan layak, apa itu salah?” rintih Sindy dalam hatinya. *** “Sin, ini nafkah buat minggu ini.” Sindy melirik tiga lembar uang berwarna merah yang diulurkan Ardi kepadanya. “Cuma segini? Mana yang lainnya, Mas?” “Anu ... beras di rumah ibu habis, jadi tadi aku beli dulu untuk kebutuhan ibu.” Sindy memejamkan matanya, lagi-lagi seperti ini. Entah dia harus apa untuk membuat Ardi memprioritaskan dirinya. “Kalau cuma segini, kamu juga jangan nuntut menu yang mahal-mahal.” “Lho, kok gitu? Asal kamu pintar mengelola, mau uang berapapun jumlahnya pasti bisa cukup untuk masak makanan bergizi.” Ardi sok menggurui Sindy. “Pintar mengelola saja nggak cukup kalau duitnya cuma segini, sana belanja ke warung sayur biar kamu tahu harga-harga kebutuhan pokok!” Sindy merasa hatinya mulai lelah jika setiap gajian harus berkonflik seperti ini. Dia bukan tidak suka Ardi membantu kebutuhan orang tuanya, hanya saja jangan jomplang seperti ini. Tak terhitung sudah berapa kali Sindy harus mengganjal perutnya dengan lauk tahu tempe sementara di rumah orang tuanya tersaji soto daging sapi, ikan bakar, dan menu lainnya yang menggugah selera. Kalau sudah begitu, Ardi akan mulai nyinyir membanding-bandingkan menu yang Sindy buat dengan menu di rumah orang tuanya. “Tiap hari tahu tempe, mana ada gizinya ...” Itulah komentar Ardi saat istrinya hanya mampu menyajikan oseng tempe dan juga sayur bening untuk putri mereka. “Ibu lho, selalu bisa bikin masakan enak-enak dengan dana terbatas. Kamu kan tahu gaji ayahku seberapa, tapi ...” “Tapi kan setiap minggu dapat sokongan dari kamu, makanya bisa masak menu mewah. Sedangkan aku? Nafkah pas-pasan saja masih dikorupsi pula.” Ardi berdecak tak senang. “Istri kok nggak bisa bersyukur sama pemberian suami.” “Bersyukur itu kalau gaji kamu diprioritaskan buat anak istri, lah ini cuma gaji sisa saja kebanyakan nuntut ...” “Sindy! Jangan ngelunjak kamu, ya!” Sindy melengos, dia segera meraih tangan kecil putrinya dan pergi dari meja makan. Sadar jika dirinya diacuhkan, Ardi mengepalkan tangannya. Rasa lapar yang tadinya menggebu kini berangsur menghilang, ditambah menu yang Sindy sajikan sama sekali tidak membangkitkan selera makannya. “Makan di rumah orang tua sajalah!” gerutu Ardi sambil menyalakan mesin motornya. Sementara itu di perempatan, Sindy dan putrinya sedang menikmati cakue dan batagor kesukaan. “Kamu bikin sampel dong buat restoran bosku, siapa tahu tembus kan?” Sindy mengunyah batagor sambil memikirkan tawaran Nesi, tetangga yang cukup akrab dengannya. “Bisa sih, tapi aku nggak ada modal buat beli bahan bakunya.” “Sama sekali? Bukannya istri itu setidaknya dapat uang nafkah dari suami?” Sindy tertawa miris. “Kalau yang aku dapat adalah nafkah sisa, apa sih yang bisa diharapkan? Justru aku sering nombok untuk menutupi kebutuhan, boro-boro nabung.” Nesi geleng-geleng kepala. “Pakai uang aku saja dulu, tapi kamu harus serius bikin menunya.” Sindy sibuk berpikir. “Kamu yakin bos kamu suka sama resep masakanku?” “Mana aku tahu aku kalau kamu belum mencobanya, tapi aku cocok sama masakan kamu. Apalagi yang ikan bakar bumbu kecap itu, Sin!” Dulu saat gaji Ardi masih stabil, Sindy suka coba-coba resep salah satunya ikan bakar. Nesi adalah pencicip pertama dan tidak pernah lupa dengan citarasa ikan bakar buatan Sindy. “Kasihan anak kamu, Sin. Dia dalam masa pertumbuhan, tapi gizinya nggak maksimal karena bapaknya yang pelit.” Nesi berbisik. “Kamu harus mengubah nasib, setidaknya demi masa depan kamu dan anak kamu.” Sindy termenung memikirkan ucapan Nesi yang masuk akal baginya. Semakin ke sini Ardi semakin keterlaluan memperlakukan keluarga kecilnya, karena itu Sindy tidak bisa terus diam saja. Berbekal modal pinjaman dari Nesi, Sindy segera membuat menu ikan bakar andalannya. Usai mencicip, Nesi membawa satu porsi ikan bakar baru ke restoran tempatnya bekerja. Di rumah, perasaan Sindy tidak menentu menantikan kabar dari temannya. Ibarat laga hidup dan mati, keputusan yang dibawa Nesi nanti akan menjadi penentu nasib dirinya. “Pak Bos mau bertemu kamu,” kata Nesi saat mampir ke rumah Sindy. “Resepku diterima?” tanya Sindy was-was, tapi Nesi hanya mengangkat bahu. Keesokan harinya, Sindy bertemu lelaki yang merupakan bos Nesi di restoran. Aura tegas dan kepemimpinannya langsung terasa begitu mereka bertatap muka. Terlebih lelaki itu sempat mengamati Sindy dengan saksama dari balik lensa kacamata miliknya.Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan