“Saya izinkan kamu bawa anak, Nesi yang akan asuh sementara kamu memasak menu. Kalau respons pelanggan bagus dan resto ini kembali ramai secara bertahap, kamu saya angkat jadi pegawai tetap di sini.”
Bak terhipnotis, Sindy mengangguk saja ketika pria berkaca mata itu memberikan penegasan dalam setiap kata-katanya. “Pak Zayyan memang gitu, tegas. Tapi aku yakin kok kalau kamu mampu, Sin.” Nesi menghibur Sindy saat menceritakan sikap bos mereka. Hari pertama, sampel ikan bakar buatan Sindy mendapatkan respons yang lumayan positif. Beberapa pelanggan bahkan tak ragu memesan untuk dimakan di rumah. Hal itu membuat Sindy termotivasi, dia akan bekerja diam-diam tanpa sepengetahuan Ardi jika bos memberinya kesempatan. “Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi suatu hari, tanpa rasa sungkan sedikitpun. Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri yang sedang makan. Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy. “Mau ya, ini demi masa depan kita juga.” Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar. “Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?” “Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.” “Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?” “Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.” “Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.” “Kamu ini ya, nggak pernah bisa kayak ibuku.” Ardi mengeram kesal. “Lah, aku kan memang bukan ibumu, Mas. Aku Sindy, istri kamu.” “Justru itu, seharusnya kamu bantu suami biar kita bisa nabung buat masa depan!” Sindy menatap tajam Ardi, dia geram sekali karena sampai detik ini suaminya itu belum juga jujur tentang gaji yang selama ini dia terima. “Dengar ya, Mas? Lima ratus ribu seminggu itu mungkin masih bisa aku cukup-cukupkan asal kamu juga nggak banyak nuntut soal menu masakan. Apa selama ini aku pernah ngeluh sejak kamu pindah kerjaan di gudang besi dengan gaji pas-pasan?” Ardi membisu. “Kalau mau ngeluh, aku sudah ngeluh dari dulu. Masalahnya sudah berminggu-minggu ini aku cuma dapat nafkah sisa, kamu mikir dong!” “Itu bukan sisa, aku membaginya untuk orang tuaku karena penghasilan ayahku juga nggak nentu ...” “Sekarang aku tanya, gaji kamu cukup nggak untuk dua keluarga?” Ardi terpaku sejenak, sedangkan Sindy menunggu jawaban jujur dari suaminya itu. “Cukup nggak cukup, yang namanya membantu orang tua itu wajib!” “Tapi nggak dengan menelantarkan anak istri!” “Jangan fitnah, ya! Buktinya aku masih menafkahi kamu, nggak ingat?” Sindy mengatupkan bibirnya, meladeni Ardi hanya bikin emosi makin membuncah di dada. Baiklah, tekat Sindy dalam hati. Aku harus bekerja, tapi semata-mata demi kelangsungan hidup anakku! Melihat Sindy tidak menjawab, Ardi pikir jika istrinya akan menurut pada perintahnya. *** “Bu, aku ngantuk ...” rengek Sisil sambil mengucek-ucek matanya saat Sindy sedang meracik bumbu. “Sebentar ya, Sayang! Aduh, gimana ini, Nes?” “Nggak apa-apa, biar aku atasi. Di belakang ada tempat untuk rehat kok!” Sindy mengangguk dan fokus untuk memasak ikan bakar pesanan para pelanggan. “Mbak Sindy hebat ya, para pelanggan suka ikan bakar ini!” puji salah satu karyawan yang bantu menyajikan menu buatan Sindy. “Syukurlah, Mbak. Saya ikut senang ini, semoga resto makin ramai.” “Amin, biar Pak Zayyan tidak jadi menutup resto ini, Mbak. Saya butuh kerjaan soalnya ...” “Kalau begitu kita harus melayani pelanggan dengan baik.” “Setuju, Mbak!” Sindy melakukan tugasnya dengan penuh semangat, bayangan masa depan yang lebih cerah untuk Sisil membuatnya bertekad untuk tidak lagi menyerah dengan keadaan. “Terima kasih ya, Nes?” Sindy meraih Sisil yang baru bangun tidur ke pelukannya. “Berkat kamu, aku bisa diterima kerja.” “Santai, Sisil juga hebat karena nggak rewel. Besok ikut ibu kerja lagi, ya?” “Iya, Tante ... Sisil boleh bawa mainan?” Sontak Sindy dan Nesi saling pandang. “Nanti biar aku yang bicara sama Pak Zayyan, kamu tenang saja. Aku rasa apa pun akan dia lakukan untuk kemajuan resto,” bisik Nesi. “Atur saja, pokoknya aku akan berinovasi dengan menu-menu lainnya selain ikan bakar.” Nesi mengangkat jempolnya, lalu bersiap-siap kerja. Setibanya di rumah, Sindy langsung merebahkan diri di depan televisi karena letih. Meskipun demikian, hatinya luar biasa lega karena impitan di dadanya mulai terangkat sedikit demi sedikit. “Sisil nonton tivi dulu, ya. Ibu mau tidur sebentar.” Sisil mengangguk patuh, matanya fokus pada tayangan kartun di televisi. “Ampun, ampun ... Ini Sisil kok dibiarkan main sendiri, ibunya tidur?” Mata Sindy terasa berat ketika terbangun dari tidurnya karena suara ibu mertua. “Sudah mandi belum, Sil?” “Belum, Nek.” “Ya ampun ... Sindy, itu anakmu kok nggak diurus? Sebentar lagi Ardi pulang kerja, meja makan masih belum beres ... Nggak masak kamu?” Sindy menggeliat sebentar sebelum terbangun sepenuhnya. “Nanti, Bu. Capek ...” “Kamu kan cuma di rumah dan nggak ngapa-ngapain, capek dari mana?” Sindy hanya menutup kuap dengan telapak tangan. “Rumah dan cucian kan nggak ujug-ujug bersih sendiri, Bu.” Wanita yang melahirkan Ardi itu terus menggerutu, tapi Sindy membiarkannya saja hingga pergi sendiri. Tidak berselang lama, deru sepeda motor milik Ardi terdengar memasuki halaman rumah. “Ini ada lima ratus ribu, semingguan ini kamu harusnya bisa masak menu yang lebih manusiawi daripada tahu tempe.” Ardi mengulurkan beberapa lembar uang warna merah di dekat piring kosong. “Lagian Sisil belum sekolah, dengar-dengar kamu juga sudah cari-cari kerjaan kan?” Sindy diam saja, tapi dia tetap menerima uang itu. Tidak lama dari itu, ponsel Ardi berdering. “Halo, Bu?” Sindy langsung memasang wajah waspada ketika tahu bahwa yang menelepon Ardi adalah ibu mertua, terasa ada firasat buruk yang membayangi. “Sin, ibu bilang kalau ayah minta dibuatkan ayam ungkep bumbu kuning untuk sekeluarga ...” “Terus?” “Uangnya kurang, jadi aku ambil uang yang tadi ya? Nggak banyak kok.” Sindy menatap tajam Ardi. “Ini uang nafkah buat aku, selama ini aku bahkan nggak bisa belanja ayam sejak kamu kasih nafkah sisa. Tapi untuk keluarga kamu, semudah itu ya kamu berikan?” “Apa sih, ini juga buat keluarga aku. Jangan perhitungan gitu, Sin.” “Aku nggak akan perhitungan kalau kebutuhan aku dan Sisil sudah kamu cukupi, Mas!” “Orang tuaku juga penting ini ...” “Katakan berapa gaji kamu yang sebenarnya!” Ardi terperanjat ketika nada suara Sindy semakin meninggi. “Kamu ini bicara apa sih?” “Jujur nggak tentang gaji kamu? Ayo jujur, Mas!” “Kamu kan tahu kalau gajiku nggak menentu, namanya juga tenaga borongan.” Ardi berkilah. “Kamu pikir aku nggak tahu kalau gaji kamu sebenarnya lebih banyak daripada biasanya?” Sindy menatap tajam Ardi. “Tapi kamu sengaja memberikannya ke ibu kamu, sementara aku cuma dapat sisanya!”Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan