Ardi mematung setelah Sindy meluapkan amarahnya sedemikian rupa.
“Jangan sok tahu kamu, Sin. Sudah bagus aku tidak lupa kasih kamu nafkah ...” “Tapi seharusnya kamu memprioritaskan keluarga kecil kamu dulu, baru orang tua kamu!” Ardi berdecak. “Sudah deh, kamu cukup-cukupkan dulu nafkah dari aku. Bersyukur masih dikasih rejeki ...” “Harusnya kamu katakan itu sama orang tua kamu! Kalau memang nggak punya uang cukup, kenapa harus masak ayam ungkep? Menu lainnya kan bisa!” “Eh, lancang kamu ya! Siniin uangnya, seratus ribu saja nggak apa-apa!” “Tapi minggu ini jadwalnya bayar listrik sama air, Mas!” “Kamu kan sebentar lagi kerja, utang dulu sama temen kamu kek, siapa kek ... Sini uangnya, seratus ribu saja kok pakai adu mulut!” “Itu kalau kamu kasih aku seminggu satu juta, aku nggak masalah kamu ambil seratus dua ratus! Ini cuma lima ratus, masih juga dikorup! Nih, ambil semuanya sekalian!” Ardi kaget saat Sindy melempar lembaran uang warna merah itu ke arahnya. “Sin, kamu apa-apaan sih? Nggak ada hormatnya sama suami!” Sindy tidak lagi menanggapi, dia memilih pergi ke kamar dan membanting pintunya dengan keras. BRAK! Ardi sampai berjingkat sembari mengusap-usap dadanya. “Istri kok kasar banget, padahal dulu dia lembut dan nggak pernah marah-marah ...” gerutu Ardi, meski demikian diambilnya juga uang itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Didikan orang tuanya sejak dulu adalah, bahwa laki-laki harus ditaati oleh istrinya. Tidak bisa tidak. Sementara itu di kamar, Sindy menangis tanpa suara di dekat Sisil yang sedang bermain boneka. Sindy kira jika dia menikah dengan laki-laki yang menyayangi ibu dan keluarganya, maka dia juga akan disayang sedemikian rupa. Namun, apa yang Sindy harapkan justru meleset jauh. Ardi hanya fokus menyayangi keluarganya saja, tapi di saat yang sama justru mengabaikan keluarga kecil mereka. Apa itu adil? “Ini Bu, masak yang banyak sekalian!” Wajah ibu Ardi sumringah saat sang anak mengulurkan tiga lembar uang merah ke tangannya. “Banyak amat, Di. Istrimu nggak marah?” “Nggak marah gimana, ngamuk dia. Terus nafkah yang aku kasih malah ditolak, kurang ajar kan?” Ibu geleng-geleng kepala. “Istri kok nolak rejeki, nanti giliran nggak dinafkahi marah-marah.” “Ngeselin memang, ya sudahlah ... Masak yang banyak ya, Bu? Sekalian sambal sama lalapan, jangan lupa. Sindy jarang masak ayam soalnya.” “Kasihan, ya sudah ibu masak dulu.” Ardi tersenyum, lalu merebahkan diri sejenak di teras. Rasa lelah karena bekerja tadi belum sempat hilang karena sindy keburu mengajaknya bertengkar, sehingga dia ingin tidur sebentar untuk melepas penat. “Kamu benar-benar keterlaluan, Mas ...” Ardi terbangun karena bahunya ditepuk dengan keras. “Sindy? Kamu kok nyusul aku ke sini?” “Memangnya kenapa? Itu anak kamu kelaparan, kamu nggak mikir dan tetap kasih uang tadi ke ibu?” tanya Sindy, sakit hatinya sudah tidak terbendung lagi. “Salah sendiri kamu yang nolak uang dariku, sok-sok nggak butuh ... Sekarang kenapa kamu marah-marah?” tukas Ardi dengan kedua lengan bertumpu di bawah kepala sebagai bantal. “Aku kira kamu akan mengerti kemarahanku dan tetap memberikan nafkah setidaknya buat Sisil makan, tapi ternyata pikiran kamu nggak sesuai sama harapanku. Nyesel aku berharap sama kamu, Mas.” Ardi bangun dari posisinya dan menatap Sindy dengan sorot mata tidak senang. “Kamu selalu bilang kalau uang yang aku kasih itu sedikit, tapi nyatanya kamu masih butuh kan?” Sindy diam. “Kalau masih butuh uangku, ngapain kamu dengan sombongnya melempar uang yang aku kasih?” lanjut Ardi berang. “Jadi istri itu harus bersyukur, Sin! Sudah berkali-kali aku didik kamu begitu, tapi kamu terus saja membantah!” “Itu karena kamu nggak adil, Mas! Selalu saja orang tua yang kamu prioritaskan, sedangkan aku sama Sisil ...” “Itu terus yang kamu bahas, itu terus!” Ardi akhirnya ikut meledak emosi. “Ini uang hasil kerja kerasku, jadi aku berhak untuk menggunakannya tanpa izin kamu!” “Tapi aku istri kamu, aku berhak tahu berapa gaji kamu yang sebenarnya ... Kalaupun kamu mau bantu-bantu orang tua dan adik-adik, aku nggak keberatan asalkan aku sama Sisil diprioritaskan.” “Aku kan sudah kasih kamu nafkah, tapi kamu menolak!” “Itu karena kamu sengaja menyembunyikan gaji kamu yang sesungguhnya, dan lebih mementingkan keluarga kamu sendiri!” Sindy sama-sama ngototnya dengan Ardi. “Suka-suka akulah, Sin. Kan aku yang kerja ...” Belum selesai Ardi berbicara, ibu mertua tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Ada apa ini, berisik banget! Oh, kamu ...” Ibu Ardi mengangguk-angguk melihat keberadaan Sindy. “Nggak bosen kamu ngajak ribut suami terus, Sin?” “Tentu saja bosan, Bu. Makanya aku berusaha menyadarkan anak Ibu ini biar paham apa itu prioritas.” Ibu Ardi menoleh ke arah putranya. “Masalah uang lagi?” “Tahu tuh, Bu. Sindy suka banget ngatur-ngatur uang aku ...” Wajah ibu mertua seketika berubah masam. “Jadi kamu keberatan kalau Ardi membantu keluarganya?” “Bukan keberatan, kalau uangnya luber-luber sih nggak masalah.” “Ya itu tugas kamu untuk bantu-bantu suami, saya dulu juga gitu. Dalam rumah tangga, suami dan keluarganya yang diutamakan. Itu sudah jadi kewajiban seorang istri, Sin.” “Maaf Bu, setahu aku kewajiban istri bukanlah mencari nafkah. Kalaupun membantu, itu bukan karena paksaan melainkan kerelaan.” “Haduh, kamu ini! Apa Ardi nggak jelaskan gimana kebiasaan dalam keluarga besar kami? Istri bantu suami cari uang itu hal yang biasa, bahkan di keluarga lain juga begitu.” Sindy menghela napas. “Itu budaya patriarki, Bu. Kalau aku ikut melestarikan budaya itu, nanti sampai anak cucuku pasti nasibnya gini-gini terus.” “Lho, apa salahnya? Kedudukan laki-laki dalam rumah tangga itu memang yang paling tinggi, sin. Kamu ini diajari agama nggak sih? Laki-laki itu pemimpin bagi wanita, jadi sudah selayaknya kalau kita memperlakukan suami kita layaknya raja.” Sindy tersenyum tipis. “Raja kok kasih nafkah sisa, Bu.” “Apa kamu bilang?” “Kan betul, yang namanya raja itu pasti memperlakukan istri selayaknya ratu. Jadi sama-sama enak, bukan suami diperlakukan seperti raja sementara istri ibarat dayang-dayang. Itupun masih dituntut untuk cari uang.” “Lho, lho, kok jadi ke mana-mana? Kamu ini memang susah dinasehati, nggak heran kalau Ardi mulai nggak betah di rumah.” Aku juga lama-lama nggak betah kalau gini terus, batin Sindy. “Saya bilang gini karena sayang sama kalian berdua, biar rumah tangga kalian awet dan jauh dari keributan.” “Kalau Mas Ardi kasih nafkah yang seharusnya, aku pasti bersyukur kok, Bu.” “Nafkah lagi, biasakan untuk mensyukuri berapa pun pemberian suami. Nanti hidup kamu pasti berkah,” tegas ibu mertua, sementara Ardi merasa menang karena mendapatkan pembelaan. Sindy diam saja, hatinya lebih capek mendengarkan ceramah ibu mertua yang tidak tepat dengan kondisinya. Entah sampai kapan dia sanggup bertahan jika kebutuhannya terus menerus dinomorduakan.Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan