“Kai, ini Cessa. Kamu… benar sudah menikah?”
Kristal terpaku mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara yang terdengar begitu sendu tersebut. Walau ia tak pernah menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan sosok bernama Princessa Karenina Azari tersebut, tapi Kristal tidak akan pernah lupa bagaimana suara perempuan yang selalu ada di mimpi-mimpi Kai.
“Maaf.” Kristal berusaha setenang mungkin saat menjawab pertanyaan Cessa. “Ini bukan Kai.”
Tak mungkin juga rasanya kalau Kristal mengatakan Kai sedang tertidur karena mabuk. Hal itu hanya akan membuat Cessa tahu kalau pernikahannya dengan Kai tak benar-benar sebuah pernikahan.
Pernikahan macam apa yang suaminya meninggalkan istrinya mabuk dan kemudian tidur di malam pertama mereka?
Klik.
Saat mendengar bunyi itu, Kristal langsung menjauhkan ponsel Kai dari telinganya dan layar ponsel canggih itu menampilkan notifikasi kalau panggilan Cessa sudah berakhir.
Kristal pun memilih untuk menaruh ponsel Kai di atas nakas yang terletak di samping ranjang Kai. Setelahnya, ia tak langsung beranjak dari kamar lelaki yang berstatus sebagai suaminya tersebut.
“Kenapa juga dia nelepon kamu?” tanya Kristal pada Kai yang tentu saja tak akan bisa menjawabnya karena yang masih terbangun dan sadar di kamar itu hanyalah Kristal.
Ingatannya tentu tak akan dengan mudah hilang ketika menyebut nama Cessa. Sejak mereka masih remaja ingusan, Kai dan Cessa adalah pasangan yang tidak terpisahkan.
Semua orang tahu kalau Kai dan Cessa akan berakhir bersama. Setidaknya sampai sebelum Cessa memutuskan Kai untuk mengejar impiannya berkarier di benua lain dan tidak siap untuk hubungan jarak jauh.
Kristal tidak butuh menyewa detektif untuk tahu mengenai kisah cinta Kai. Pada dasarnya, ia seperti penonton film kehidupan Kai. Lagipula berita mengenai hubungan Kai dan Cessa sebelumnya juga disorot oleh media karena Cessa yang berstatus sebagai model papan atas dan Kai yang merupakan direktur utama dari manajemen artis dan production house terbesar di Indonesia.
Ting.
Denting singkat yang terdengar dari ponsel Kai membuat Kristal kembali menatap ponsel suaminya itu, hanya untuk melihat pesan dari Cessa masuk.
Princess: Kai… kamu beneran udah menikah? How come? Telepon aku segera ya. Aku… kangen kamu.
“Bisa-bisanya dia nanyain status Kai dan bilang kangen sama Kai dalam waktu yang bersamaan?” geram Kristal kesal sambil menaruh ponsel Kai kembali ke atas nakas dengan kasar.
“Ngh….”
Tindakannya itu membuat Kai sepertinya terusik dalam tidurnya. Kristal langsung menoleh dengan panik saat melihat suaminya bergerak dalam tidurnya.
Mencoba untuk lebih berhati-hati, Kristal pun langsung beranjak meninggalkan kamar Kai tanpa suara sedikit pun.
“Dan nama perempuan itu masih ‘Princess’ di ponselnya,” keluh Kristal begitu ia sampai kembali di kamarnya.
Tentu saja ia tahu kalau nama kesayangan Kai untuk Cessa adalah penggalan dari namanya, Princess. Kai benar-benar memperlakukan Cessa seperti seorang putri.
Dering ponsel yang sedikit teredam membuat Kristal terperanjat kaget. Ia menoleh ke sekitar kamarnya dan menemukan ponselnya tertindih guling di atas ranjangnya. Saat menangkap nama Hafi sebagai peneleponnya, Kristal mencoba menenangkan dirinya lebih dulu sebelum menjawab panggilan sahabatnya itu.
“Ah… finally, kamu jawab teleponku juga,” gerutu Hafi begitu tahu teleponnya sudah dijawab oleh Kristal. “Where are you now?”
“Di rumahku—rumahku dan Kai,” ralat Kristal dengan cepat. “Maaf tadi aku pulang duluan dan nggak ngasih tahu kalian.”
Hafi terdiam sesaat, sepertinya mencoba mencerna situasi yang terbilang aneh ini. “Bodoh, sih, ya, kalau aku nanya ‘apa kamu nggak apa-apa?’. Jelas kamu kenapa-kenapa….”
Kristal meringis mendengar pernyataan Hafi. “Aku nggak apa-apa, kok, Fi.”
“Untuk ukuran temen yang temenan hampir separuh hidup kita, jawabanmu basi banget, Ta.” Hafi mendengus. “Do you need something? Sesuatu yang bisa memukul suamimu supaya sadar untuk nggak menyia-nyiakan kamu, misalnya?”
Satu hal yang membuat ia merasa cocok dan nyaman berteman dengan Renjana dan Hafi adalah sarkasme mereka saat bicara. Walaupun mungkin bagi orang awam omongan sahabatnya terdengar dingin, sebenarnya mereka hanya peduli dan sayang padanya dengan caranya sendiri.
“No, yang kubutuhkan adalah tidur cantik setelah dipajang seharian,” gurau Kristal. “Kamu cuma punya besok untuk istirahat sebelum balik syuting di Penang kan? So don’t waste your time dan lebih baik kamu tidur juga sekarang.”
“Okay then.” Walau terdengar ragu, akhirnya Hafi mengalah. Ia khawatir pada Kristal, tapi ia juga tak mau memaksanya bicara jika ia tak ingin bicara. “Just… call me in the morning, okay?”
“Ck, dasar posesif.”
Hafi mengomel singkat sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Kristal pun memutuskan untuk membalas pesan yang ditinggalkan Renjana dan Hafi agar mereka berdua tak perlu khawatir padanya.
Aku yang menyetujui pernikahan ini lebih dulu, jadi seharusnya aku nggak merasa nggak baik-baik aja. Iyakan?
Kristal berusaha meyakinkan dirinya sendiri sembari mencoba untuk tidur. Setelah lampu kamar dimatikan dan hanya tersisa penerangan dari lampu tidur, Kristal berharap kantuk akan segera menyerangnya.
Namun, setelah beberapa saat ia hanya berguling tak jelas, akhirnya ia menyerah. Ia kembali membuka mata dan akhirnya meraih ponsel yang tadi ia letakkan di atas nakas.
Princessa Karenina Azari.
Kristal mencoba mencari informasi terbaru mengenai mantan kekasih Kai, dan hal pertama yang muncul di laman pencarian adalah berita yang baru ditayangkan kemarin.
Princessa Karenina Azari memutuskan untuk bergabung dengan STORM AGENCY yang berpusat di Amerika Serikat.
“Wow.” Tanpa bisa menahannya, Kristal berdecak kagum begitu mengetahui kalau Cessa bergabung di agensi ternama di Amerika Serikat, di mana semua modelnya minimal pernah tampil sekali di sampul Bazaar dan Vogue.
Hal itu tentu saja menggambarkan betapa selektifnya STORM ketika memilih talent yang mereka rekrut.
Dan mengetahui kalau ternyata Cessa akan pergi sejauh itu… mungkin saja hal itu yang membuat Kai merasa semakin frustasi.
“Sampai akhirnya dia mabuk di hari pernikahannya sendiri,” gumam Kristal sambil terkekeh pelan dan getir.
Begitu selesai membaca berita tersebut, Kristal langsung kembali menaruh ponselnya dan memilih untuk berbaring menyamping menghadap jendela kamarnya.
Air mata yang sejak tadi sudah berusaha ia hentikan ketika turun dari mobilnya, kini kembali mengalir dan ia sudah menyerah untuk menahannya. Mungkin menangis sekali lagi tak masalah, toh ia hanya sendiri dan tak perlu mengkhawatirkan orang lain yang juga akan khawatir saat melihatnya menangis.
Sampai saat ini Kristal tidak benar-benar tahu apakah sebenarnya keputusannya menyetujui perjodohan ini adalah hal yang tepat atau tidak. Namun, ketika ia mengingat lagi, yang membuatnya mengiakan perjodohan ini bukanlah faktor tepat atau tidak, tapi ‘ia ingin atau tidak’.
Mungkin ini terdengar egois. Kristal tahu kalau Kai tidak pernah membalas perasaannya, namun ia nekat untuk menikah dengannya.
Sekarang ia harus berjuang sendiri… ia berhasil mengikat Kai tapi tidak dengan hatinya.
Harusnya ia sadar sejak Kai menyematkan cincin pertunangan mereka dengan tatapan dinginnya.
Yang pertama akan selalu diingat, tapi tidak dengan yang selalu berharap tanpa pernah dilihat sama sekali.
Kristal akan selalu terlupakan begitu saja.
“Menurut kamu, gimana filmnya?”Kristal menoleh pada Kai dan menatapnya dengan penuh perhitungan. “Kamu mau jawaban jujur atau bohong?”Kai menyeringai. “Jujur dong, Babe.”“Hm….” Kristal mengusap dagunya sembari berpikir. “Alur ceritanya agak membosankan, terlalu sering dijadiin formula film-film sejenis dan nggak ada twist apa-apa.“Perkembangan karakternya juga nol. Padahal film atau buku itu akan bener-bener seperti ‘film dan buku’ ketika karakternya berkembang—menurutku tapi ini, ya.“Kayaknya kalau bukan karena kamu yang ngajak, aku nggak bakal mau nonton, deh.”Kai
Kai menatap istrinya untuk waktu yang lama. Kristal bukannya tidak sadar kalau suaminya yang tengah duduk di tepi ranjang tengah mengamatinya yang kini sedang memoles wajahnya dengan riasan.“Kenapa, sih, Mas?” Akhirnya Kristal tidak tahan untuk angkat bicara. “Lipstikku menor banget, ya?”Kai tergelak seraya menggeleng. “Nggak, red looks so good on you.”Perempuan yang hari ini mengenakan atasan plisket berwarna biru langit dan midi skirt hitam tersebut menatap Kai dengan curiga. “Terus? Kok ngelihatin aku kayak gitu banget?”“Soalnya kamu cantik.”“Basi, Mas.”Kai kembali tertawa. Kristal yang sudah selesai pun beranjak ke ranjang dan duduk di sa
Kristal menatap deretan buku yang ada di ruang santai di lantai dua. Hari telah beranjak siang saat ia naik ke lantai atas untuk mengambil laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya.Akan tetapi, ia malah terdistraksi oleh rak buku yang penuh dengan buku anak-anak dan buku dongeng di ruang santai. Baru minggu lalu ia dan Kai membeli banyak buku di Gramedia dan Periplus untuk anak mereka.Menunda keinginannya untuk mengambil laptop, Kristal beralih pada ruang santai dan duduk di single sofa yang terletak di depan rak tersebut.Matanya mengamati deretan buku beraneka warna dan beraneka ukuran tersebut memenuhi rak buku mereka. Kristal dan Kai berharap anak mereka nanti akan suka membaca seperti mereka berdua.Kai
“Mas, makan di luar, yuk. Mau nggak?”Hari ini adalah hari Kamis dan hari sudah menjelang sore, saat tiba-tiba Kristal menoleh padanya yang tengah meneliti dokumen untuk ia bawa meeting hari Senin minggu depan.Kristal sendiri baru menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu dan mulai merasa bosan.Sebagai orang yang keluar rumah lima hari dalam seminggu, berada di rumah dari hari Minggu sampai Kamis seperti ini sudah mulai membuatnya jenuh.“Mau.” Kai menjawab tanpa berpikir panjang. “Mau makan di mana, Sayang?”“Pancious?” Kristal meringis karena lagi-lagi nama restoran itulah yang ia pilih. Di kepalanya hanya akan selalu ada dua tempat makan yang akan sudi ia datangi dalam mood apa saja, McDonald’s dan PanciousKai mengacak rambut Kristal dengan gemas. “Boleh.”“Kamu sibuk banget, Mas?” tanya Kristal sambil mendekat pada Kai hingga tubuh mereka bersisian, dan perempuan itu menatap laptop di depan Kai. “Masih banyak nggak kerjaannya?”“Nggak, kok,” jawab Kai untuk dua pertanya
Walau dokter mengatakan biasanya ketika proses kuretase berjalan lancar pasien bisa beraktivitas kembali setelah pulang dari rumah sakit, Kai tetap menganjurkan Kristal untuk beristirahat. Maka di sinilah Kristal, menghabiskan beberapa hari cutinya di rumah.Dalam diam Kai dan Kristal sama-sama sepakat kalau waktu istirahat bukan hanya untuk menyembuhkan diri pasca proses medis tersebut, tapi juga mengistirahatkan mental yang benar-benar lelah.“Kamu nggak ke kantor?” tanya Kristal setelah siang itu mereka tiba di rumah.“Nggak.” Kai menggeleng sambil ikut duduk di sofa, di samping Kristal. “Aku juga cuti.”Kristal mengerutkan keningnya. “Mas, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jagain aku 24 jam.”“It’s okay. Kalaupun kamu nggak butuh aku di sini, aku yang butuh kamu, Ta.”Ucapan Kai membuat Kristal terdiam selama beberapa saat. Dengan hati-hati, Kai merengkuh Kristal ke dalam dekapannya.Saat itulah, dari puluhan pelukan yang ia dapat sejak mereka dikabarkan kalau sang calon anak ya
Kristal terbangun karena rasa sakit yang membuat kepalanya juga langsung pusing. Namun, ia menahan diri untuk tidak memanggil siapa pun. Jadi yang ia lakukan hanya berdesis pelan, sepelan mungkin agar Kai tidak terbangun.Kristal bisa merasakan bagaimana Kai tertidur di samping ranjangnya, dengan posisi yang tidak nyaman. Kepalanya terkulai di sisi ranjang yang Kristal tempati dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Kristal.Kristal menelisik ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain Kai. Sebenarnya beberapa jam yang lalu ia sempat terbangun, namun hanya bisa mendengar suara Julia dan Kai yang mengobrol lirih, kemudian ia jatuh tertidur lagi.Kristal mencoba menghela napas dalam-dalam. Tatapannya kini terpaku pada langit-langit kamarnya.“Kak… kok kamu tinggalin Mama sama Papa, sih? Katanya mau ketemu sama Mama sama Papa,” lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Rasanya masih seperti mimpi saat dokter mengatakan padanya kalau janinnya tidak berkembang dan ha