"Kenapa? Kaget?" Raihan terkekeh sambil menyeringai. Ratu benar-benar terkejut melihat sikap Raihan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ketika di rumahnya pun Raihan tampak sangat ramah pada semua orang. "Apa maksud kamu?" tanya Ratu bingung sekaligus berdebar. Ia khawatir apa yang dia rencanakan tidak dapat terwujud. Memutuskan untuk dekat dengan Raihan memang bukan tidak ada maksud terselubung. Ratu memang sedang memanfaatkan perjodohan ini. Hanya saja apa yang ia harapkan ternyata di luar dugaan. "Kamu pikir aku suka dijodohkan seperti ini?" Lagi-lagi Raihan tertawa sinis sambil menggeleng. "Tapi kalau yang dijodohkan padaku bukan kamu, mungkin beda urusannya," lanjut Raihan lagi.Mendengar kalimat penolakan dari Raihan, hati Ratu mulai panas membara. "Kalau ngomong jangan muter-muter! Langsung aja!" ketus Ratu akhirnya. Raihan menghempas napas kasar. Lalu kembali bicara." Jika yang dijodohkan denganku itu ... Analea, mungkin akan berbeda. Bisa jadi aku akan langsung meneriman
"Bagaimana? Apa jawabanmu?" Raihan mengulang pertanyaannya karena tak sabar. Ratu menghela napas berat. Apa ia sanggup hidup bersama pria seperti Raihan? Apa Raihan nanti bisa dia ajak kerjasama untuk mendapatkan sebagian harta Mama dan Daddynya? Namun ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak memahami apapun tentang perusahaan. Satu-satunya jalan adalah menikah dengan Raihan. Ia berharap Raihan memiliki tujuan yang sama dengannya hingga ia bisa bekerja sama dengan baik nantinya. "Oke. Aku setuju." Ratu menjawab dengan sedikit mengangkat dagunya. Raihan mengangguk. "Hmm ... kesepakatan ini jangan sampai berubah lagi, dan hanya kita berdua yang tau," pinta Raihan. Ia menatap Ratu dengan serius. "Ya, aku paham," sahut Ratu dengan penuh keyakinan. "Karena pembicaraan kita sudah selesai, aku akan antar kamu pulang sekarang juga. Ayo!" Raihan berdiri lebih dulu, lalu berjalan menuju pintu keluar tanpa menunggu Ratu. "Dasar pria nggak punya hati! Tungguin, kek!" Ratu bangkit, lalu berj
"Baik Pak Fabian. Semua sudah kami rinci dan ini total biaya keseluruhan." Bu Sarah menyodorkan layar laptopnya yang menampilkan perincian biaya pernikahan Fabian dan Analea. Fabian hanya melirik sekilas pada nominal angka yang tertera pada layar laptop. Kemudian ia mengangguk tegas. "Baiklah. Kirimkan rinciannya lewat email asisten saya. Besok Joshua akan melunasinya!" Analea cukup terkejut melihat nominal angka pada layar laptop Bu Sarah. Terlebih lagi Fabian sama sekali tidak protes dengan nominal yang sangat fantastis itu. "Baiklah, Pak Fabian, Ibu Analea. Kalau begitu saya permisi dulu." Wanita paruh baya itu berdiri dan pergi meninggalkan restoran setelah mengangguk pamit. "Kak, maaf ... tadi itu ... bukankah biayanya sangat mahal?" Analea bertanya dengan hati-hati. "Kenapa? Lea keberatan dengan fasilitasnya? Ada yang ingin diganti?" Lengan kekar dan lebar milik Fabian membelai lembut rambut Analea yang panjang bergelombang. Analea menggeleng." Nggak, Kak. Maksud aku ...
"Apa Om Elkan sudah kasih tau hasil test DNA nya, Kak?" tanya Analea ketika mobil audi hitam milik Fabian yang dikendarai sang supir mulai melaju keluar dari wilayah gedung Anggada Jaya. Fabian menggeleng, satu tangannya meraih jemari Analea, lalu menciumnya. "Nanti ada dokter yang menjelaskan tentang hasilnya. Sekarang kita bertemu Om Elkan di rumah sakit." Fabian menatap Analea penuh damba. Mereka duduk berdua di belakang tanpa menghiraukan sang supir yang ada di depan mereka. "Kak ..." Analea protes karena Fabian tak berhenti menatapnya. Pria itu juga semakin merapatkan tubuhnya. "Aku bisa gila jika tidak segera menikahi Lea," bisik Fabian ke telinga Analea hingga membuat wanita itu meremang.Tangan Fabian yang jauh lebih lebar, meremas jemari Analea yang sejak tadi berada dalam genggamannya. Mendengar ucapan Fabian, Analea tersenyum. Ia menahan diri untuk tidak tertawa dan terdengar oleh supir. Analea merasa Fabian semakin hari semakin mesum dan menggelikan. "Memangnya Kak Bi
"Ratu, nanti kamu pulang naik taksi aja. Aku mau mampir ke suatu tempat dulu!" Sore itu Analea bersiap-siap hendak pulang dari kantor. Ia tidak sabar ingin menjalankan rencana yang terlintas di benaknya sejak kemarin. "Taksi?" Kening Ratu berkerut. Pasalnya selama ini yang orderkan dia taksi dari rumah adalah Sumi. Sedangkan jika sedang di luar, pasti teman - temannnya yang mengantarnya pulang. "Ya. Nggak apa-apa, kan? Tapi awas, jangan kelayapan!" ulang Analea sambil menaikkan alisnya. Ratu mendengkus kesal. Ia tidak mungkin protes. Ia juga tidak mungkin mengatakan bahwa ia tidak biasa memesan taksi sendiri. Analea bisa mentertawakan dirinya dengan senang hati. "Ya, nggak apa-apa," jawab Ratu. Lalu ia menghela napas berat. Hampir setiap saat berhadapan dengan Analea ia harus menahan diri agar emosinya tidak meledak-ledak. Perkataan Alif beberapa waktu lalu tidak pernah ia lupakan. Agar dirinya bisa memperlihatkan bahwa ia pun bisa melakukan hal yang dilakukam Analea. Namun ternya
"A-ana, i-itu ... i-tu ... mirip ...." Tubuh Mira bergetar melihat seseorang yang sepertinya ia kenal. "Kenapa Tante? Tante kenal dengan dia?" Analea bertanya dengan sudut netranya terus mengawasi Sumi yang wajahnya tak kalah panik. Hingga sejurus kemudian wanita berambut sebahu itu memutar tubuhnya hendak kembali masuk ke dalam rumah. "Mbak Sumi! Mau kemana? Kenapa tiba-tiba pergi?" teriak Analea membuat langkah Sumi terhenti. "A-apaa? Itu beneran Sumi? Ja-jadi benar kata orang-orang kalau Sumi m-masih hi-hidup?" Mira bicara terbata-bata memandang Sumi yang menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya. "Tante Mira ragu? Coba aja mendekat!" Analea terus memandang. Sumi yang semakin gugup karena Mira benar-benar mendekatinya. "Sumi! Astaga kamu beneran Sumi! Kamu masih hidup?" Mira mengguncang-guncang bahu Sumi tanpa sadar. Ia sangat terkejut bertemu Sumi yang dikabarkan orang telah meninggal lebih dari dua puluh tahun yang lalu. "Sumi ... kemana aja kamu selama ini? Kenapa nggak pe
"Non Ratu?" Mira terkejut melihat Ratu muncul dan menatap dirinya dengan tajam. "Kamu ngapain ke sini?" Pertanyaan Ratu membuat Mira gugup. Karena dulu Ratu pernah membayarnya untuk menjadi saksi tentang asal usul Analea. Waktu itu Mira benar-benar butuh uang hingga ia tidak lagi berpikir panjang menerima tawaran dari Ratu. "Sumi! Kenapa kamu nangis?" Bentakan Ratu membuat Sumi terkejut dan segera menghapus air matanya. Ratu menatap semua yang ada di ruang tamu itu satu persatu dengan tatapan curiga. Jantungnya berdetak cepat melihat Maira seperti tidak peduli dengan kedatangannya. Maira tampak duduk di sebelah Analea dengan posisi sangat dekat. Ada gemuruh di dadanya melihat kedekatan Maira dan Analea. "Ini ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Ratu lagi. Kali ini ia memandang Maira dengan rasa kecewa. Lalu pandangannya beralih pada Analea. Ia menatap wanita dengan rambut bergelombang itu dengan penuh kebencian. "Siapa yang bawa perempuan ini ke sini?"Ratu bertanya lagi sambil menunju
"Kenapa Tante?" Seketika Analea menghentikan mobilnya di tepi trotoar. "Itu ... itu ada Bang Gondrong!" Mira menunjuk seorang pria yang berjalan ke arah rumah Maira. "Bapak tua yang rambutnya panjang itu?" tanya Analea sambil menoleh pada pria yang ditunjuk Mira. Netranya melebar karena merasa mengenali pria gondrong itu. "Mau ke mana dia? Apa mungkin mau ke rumah Mama?" tanya Analea yang mulai panik. "Tante, bagaimana kalau beli motornya kita tunda besok? Aku khawatir ada apa-apa di rumah." Analea melirik arlojinya. Kemungkinan showroom pun sebentar lagi akan tutup. Mira terdiam. Analea menatapnya dengan tatapan memohon. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Mira mengangguk. "Besok bener, ya Ana!" Kali ini Mira yang memohon. "Iyaaa, aku janji! Sekarang kita ikutin dulu laki-laki itu." Analea memutar balik mobilnya, lalu kembali melajukan ke arah rumahnya. Satu tangan Analea mencoba menghubungi. Seseorang lewat ponselnya. " Hallo, Ma! Barusan Tante Mira lihat pria yang dip