"Hallo, Ana!" Terdengar suara Hamid cukup keras, hingga Ana sempat menjauhkan ponsel itu sesaat dari telinganya. "Ya, ada apa?" jawab Analea. Netranya sempat melirik pada Fabian yang masih memandang lurus ke depan. "Kenapa baru dijawab telponnya? Sudah ribuan kali aku nelpon kamu dari pagi. Tau nggak kamu?" jelas terdengar suara Hamid sangat kesal dari seberang sana. "Aku sejak pagi kerja. Mana mungkin bisa terima telepon dari kamu," tegas Ana. "Halaah! Kamu pasti sudah diapa-apain sama bos kamu yang bernama Kaisar itu, kan?" "Jaga bicara kamu, Mas! Aku nggak semurah itu!" Analea bicara cukup tegas, sampai-sampai Fabian menoleh padanya Terdengar tertawa mengejek dari seberang sana. "Hei Ana. Sekarang juga kamu cabut gugatan ceraimu. Kalau tidak, semua karyawan dan pemilik Eternal Group akan tau asal usulmu dari mana! Aku yakin sebentar lagi kamu akan dipecat, dan bosmu itu tidak akan tertarik lagi padamu!" Tawa lepas Hamid terdengar begitu nyaring, hingga panggilan itu terputus
"Bukalah! Itu untukmu!" Tangan Analea gemetar membuka kotak berbentuk hati itu. Netranya melebar saat melihat isi kotak itu yang ternyata adalah sebuah kalung bermata berlian yang sangat cantik. Analea membekap mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Ia belum pernah melihat kalung sebagus itu. Desain yang sederhana namun berkesan elegan. Liontin yang berbentuk elips dan unik sangat indah menghiasi kalung itu. "Ini ... untuk aku, Kak?" tanya Analea tak percaya. Ia tidak berani meraih kalung itu. Memandangnya saja sudah membuatnya gugupIa memang tidak tau persis berapa harga kalung itu.Tapi ia pernah tau kalau kalung seperti itu harganya puluhan juta. "Ya, pakailah!" "T-tidak, tidak, Kak. Aku tidak pantas mendapatkan ini." Analea menggeser kotak perhiasan berisi kalung itu ke arah Fabian. "Oke. Apa Lea ingin aku yang memakaikannya?" Fabian meraih kalung itu, kemudian berdiri. "Eh, b-bukan, Kak. Bukan begitu." Analea berusaha menyanggah, namun terlambat, pria itu sudah berdiri tep
"Dimana orang tuamu tinggal, Analea? Ayah dan Ibu ingin sekali berkenalan dengan keluargamu." Wajah Analea mendadak pucat mendengar pertanyaan Arthur. Ia menundukkan kepalanya. "Ehm ... Ayah, Ibu ... , saat ini Lea ... hidup sendiri." Fabian mencoba menjawab pertanyaan Arthur. Ia mungkin akan menjelaskan tentang latar belakang Analea pada kedua orang tuanya. Tapi tidak sekarang. Mendengar jawaban Fabian, Arthur dan Fatma saling pandang. Keduanya tidak ada yang saling bicara. Sementara itu, Analea masih menunduk. Ia sangat khawatir jika kedua orang tua Fabian mempermasalahkan hal ini. Entah kenapa ia seperti tidak ingin kehilangan moment kebersamaan mereka hari ini. Moment dimana ia bisa merasakan memiliki orang tua yang lengkap dan menyayanginya. Tanpa ia sadari, tetesan bening itu mulai lolos dari kedua matanya. "Anaaaa ..., kamu ... nggak apa-apa, Sayang?" Melihat Analea meneteskan air mata, Fatma langsung bangkit dan memeluk Analea. "Nggak apa-apa, Bu. Maaf ... saya nggak bis
"Heh, anak magang! Lagi cari mangsa lo di sini?" "N-Non Ratu?" Analea terperanjat melihat penampilan Ratu yang sangat berbeda dari biasanya. Cara bicara Ratu pun berbeda. "Siapa, Khai? Temenlo?"tanya salah satu pria yang bersama Ratu. "Mana mungkin gue punya temen udik begini?" Terdengar tawa lepas dari teman-teman Ratu yang memanggil dirinya dengan 'Khai' karena nama asli Ratu adalah Khairatun Nisa yang artinya adalah wanita murah hati. Namun kenyataannya sangat berbeda dengan karakter aslinya. Analea turun dari saung dan berdiri di tepi. "Saya dari suatu tempat, Non. Karena macet, jadi berhenti di sini." Analea menjawab tegas, namun tetap menjaga kesopanan. Ratu memandang Analea dengan tatapan merendahkan. Sambil bertolak pinggang ia bicara cukup lantang. "Cowok mana lagi yang lo kerjain malam ini? Untung kakak gue nggak tertarik sama perempuan murahan kayak lo." Analea tidak menjawab. Ia hanya diam dengan dada bergemuruh. Ratu sudah menghinanya. Sakit sekali rasanya. Tapi
"Kenapa pintunya ditutup, Kak? Kita hanya berdua di kamar ini," protes Analea yang berdiri beberapa langkah di belakang Fabian. "Istirahatlah! " Tanpa menjawab pertanyaan Analea, Fabian mengirim pesan pada seseorang lewat ponselnya. Kemudian berjalan pelan menuju ke kamar mandi. "Sebentar lagi ada supir mengantar pakaianku. Untuk Lea, silakan pilih beberapa stel pakaian ganti di katalog itu!" Fabian menunjuk sebuah buku yang ada di meja kecil dekat ranjang. Karena tidak ada kursi, Analea duduk di salah satu ranjang sembari meraih katalog. Lalu ia memilih dua stel pakaian ganti yang merupakan kaos dan celana panjang. Beberapa detik kemudian terdengar pintu diketuk. Analea bergegas membukanya. "Mbak Ana, ini tas pakaian Bapak." Supir Fabian berdiri di depan pintu denggan sebuah tas ransel. "Loh, Bapak sudah siap bawa baju?" tanya Analea heran. "Oh, bukan Mbak. Di mobil Bapak memang selalu siap beberapa pakaian. Tas ini juga sudah seminggu ada dimobil. Oh ya, Mbak. Kata Bapak saya
"Hallo, aku ada kerjaan buat kalian. Cari tau semua tentang perempuan yang sudah aku kirim fotonya barusan! Lusa aku sudah harus dapatkan infonya!" Setelah menutup ponselnya, Ratu meninggalkan teman-temannya untuk pergi ke sesuatu tempat sejenak. "Gue tinggal sebentar ada perlu!" serunya sembari melangkah ke arah jalan raya. "Halaah, paling si Khai nyamperin si om-om tadi." Terdengar tawa teman-teman Ratu yang melihat Ratu berjalan kaki ke arah hotel yang berjarak hanya beberapa meter dari restoran itu. Sejak ia diusir oleh Fabian tadi, Ratu memang tidak lagi berani menampakkan diri di depan Fabian. Ia tidak mau Fabian menelphon Kaisar dan ia akan mendapat hukuman dari sang mama. Karena setiap sabtu Ratu memang sudah biasa menginap di rumah salah satu temannya. Tapi tidak ada yang tau kebiasaannya kumpul-kumpul di luar hingga pagi seperti sekarang ini. Ratu kembali memasuki kawasan hotel untuk menuju cafe. Ia menduga Fabian masih berada di sana. Khawatir ada yang memergoki, Ra
"Kita kembali ke Jakarta sekarang." Fabian bangkit berdiri diikuti oleh Analea. Mereka berjalan ke mobil dengan jemari Analea kembali berada dalam genggamam Fabian. Hati keduanya menghangat. Apalagi Fabian. Baru kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda pada seorang wanita. Sejak pertama kali bertemu dengan Analea pagi itu, wajah Analea tidak pernah lepas dari benaknya. Saat itu rasa iba dan simpati muncul begitu saja. Di mobil, Fabian susah payah mencari bahan obrolan. Demikian juga dengan Analea. Wanita itu pun tidak banyak bicara. Namun sesekali Fabian mengenggam jemari Analea dan membawa ke pangkuannya. Bahkan sampai mereka tertidur, jemari mereka masih saling bertautan. Hingga dua jam berlalu audi milik Fabian.telah berhenti. Namun keduanya masih tertidur dengan saling mengenggam dan saling bersandar. "Tuan, Tuan Bian, Mbak Ana. Kita sudah sampai!" Sang supir terpaksa harus membangunkan keduanya. Analea tersentak dan membuka matanya. Dadanya berdebar saat menyadari posisin
" Mbak Ratu?" Hamid memang sudah lama mengenal Ratu, karena wanita itu beberapa kali keluar masuk PT Bina Sanjaya dengan memperkenalkan dirinya sebagai calon tunangan Fabian. "Heh, kamu, siapa nama kamu? Kamu yang di Bina Sanjaya, kan?" Ratu mendekati Hamid sambil menunjuk pria itu. "Iya, Mbak." Hamid mengangguk dengan wajah bingung. "Ayo ikut aku!" Hamid bertambah bingung. Namun ia tetap mengikuti langkah kaki Ratu menuju sebuah ruangan di belakang resepsionis yang merupakan tempat menerima tamu bagi karyawan. Setelah keduanya duduk, Ratu kembali mengajukan berbagai pertanyaan ada Hamid. "Aku tanya sekali lagi. Apa benar kamu suaminya Analea?" Ratu menatap tajam pada Hamid, seakan mengancam bahwa ia tidak mau dibohongi. "Betul, Mbak. Dia istri saya. Kalau Mbak nggak percaya, ini foto pernikahan kami beberapa bulan yang lalu." Hamid memperlihatkan sebuah foto dari galeri ponselnya. Mata Ratu melebar melihat foto yang disodorkan Hamid padanya. Wanita berambut pendek itu merai