LOGIN"Baiklah kalau begitu. Mungkin ini memang yang terbaik, karena kondisi saya yang sedang hamil pasti sedikit banyak merepotkan teman-teman lain. Tidak perlu merasa tidak enak, Pak Raihan. Saya memang ke sini mau menyerahkan surat pengunduran diri. Hanya saja saya takut belum ada penggantinya, jadi saya berniat tetap bekerja sampai ada orang baru. Tapi ternyata suami saya baik sekali…," Aira sengaja menekankan kata-kata itu, "... karena langsung membawa penggantinya."Tatapannya sekilas melirik Gavin, penuh sindiran halus.Namun bukannya merasa terkena, Gavin justru tersenyum tipis penuh kemenangan."Sekali lagi saya minta maaf, ya, Aira. Ini demi kebaikan kamu." Raihan mengusap tengkuknya. Penyesalannya sangat terlihat."Astaga… Pak Rai, jangan merasa bersalah. Justru saya yang berterima kasih. Selama ini Bapak sangat baik pada saya." Aira tersenyum tulus.Hamid yang mendengar kabar bahwa Aira akan berhenti padahal baru hari ini baru benar-benar bertemu langsung, hampir menangis. Dia
Air mata Anggita luruh begitu saja. Tunggu, apa maksudnya ia di pecat? Hanya karena masalah makanan?“Kamu pikir aku tidak mendengar cara kamu memaki?” suara Gavin turun menjadi dingin, setajam silet. Di ruangan Raihan, ia melihat jelas bagaimana wanita itu cari gara-gara lewat cctv. “Kamu mempermalukan nama perusahaan saya. Mulai hari ini… buat surat pengunduran diri kamu.”Anggita jatuh terduduk, memohon-mohon tanpa peduli tatapan para pelanggan.Hamid yang tadi menganga mendengar ucapan itu kini hanya mampu memandangi dengan campuran syok dan kagum.Ternyata Astra Adiro Group memang luar biasa… dan Gavin lebih mengerikan daripada rumor yang beredar. Bahkan tak segan memecat karyawan.“Saya mohon, Pak… jangan pecat saya,” tangis Anggita pecah. “Saya mengaku salah. Memang benar saya yang minta pesanan salah, karena saya kemarin sudah makan itu. Saya menyesal. Saya mohon… kasih saya kesempatan.”Tak ada lagi sisa keangkuhan yang tadi ia pamerkan. Tak ada lagi wajah menghina atau nada
Gavin?Kenapa dia bisa berada bersama Raihan? Seketika perasaan gugup luar biasa menyergap Aira saat melihat orang yang sangat ia rindukan berdiri tepat di depannya.Sekali lagi, Aira menajamkan pandangan memastikan dirinya tidak salah lihat. Tapi tetap saja, lelaki dengan setelan jas mahal itu terlihat sangat tampan. Baru seminggu tidak bertemu saja sudah cukup membuat jantungnya berdetak menggila.“Tuan Gavin, sejak kapan sudah pulang? Bu-kannya ada di luar kota?” tanya Aira masih dengan keterkejutan.Bahkan dia kembali lupa pada ancaman Gavin agar tidak memanggilnya dengan sebutan Tuan lagi.Gavin menyunggingkan senyum pada Aira. Kulitnya terlihat sedikit lebih kecokelatan dari biasanya, mungkin karena hawa panas saat Gavin turun langsung memeriksa kondisi kelayakan tambang.Gavin mendekat ke arah Aira, senyumnya mampu membuat Aira meleleh seketika.“Terkejut? Aku sengaja tidak memberi tahu kamu bahwa aku sudah pulang, makanya baru balas chat kamu saat sudah di bandara,” kata Gavin
“Pak Raihan mana? Tumben belum keluar,” tanya Aira yang merasa heran bosnya itu tidak ada di tempat. Biasanya bosnya itu yang menyerahkan modal pada Aira, tapi malah Hamid yang tadi mengambilnya ke ruangan.. “Oh, pagi-pagi sekali kata Nanda ada tamu, tapi tidak tahu siapa. Mungkin rekan bisnisnya. Soalnya aku juga tidak melihat orang itu masuk. Jangan bilang-bilang, sebenarnya aku juga terlambat. Hahaha….” kata Andin sambil berbisik pada Aira sebelum malah tertawa nyaring. Aira hanya mengangguk-angguk. Pantas saja Raihan tidak muncul. Padahal Aira ingin mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri, tapi menunggu sampai Raihan mendapatkan karyawan baru. “Ya sudah, kita kembali bekerja,” kata Andin lagi. Ia lalu menghilang mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda, sampai membuat Hamid menggerutu karenanya. Tepat pukul sembilan pagi, restoran segera dibuka. Semuanya sudah siap, dan Aira duduk di depan meja kasir. Banyak mahasiswa datang sekadar membeli minuman atau makan
Aira buru-buru masuk ke restoran tempatnya bekerja. Andin yang sedang memegang sapu langsung menyerbu Aira karena datang terlambat setengah jam, ia pikir Aira tidak datang. Sebelum Aira sempat menjelaskan, Andin memicingkan mata ke arah luar restoran.“Siapa cowok yang nganter lo barusan? kok gak mirip suami Lo?” tanyanya sambil mengedip nakal, jelas melihat Obi yang baru saja menutup pintu mobil.Ya. Aira di antar oleh Obi, entah kebetulan apalagi karena ternyata Obi pun menuju ke perusahaan Astra Group, milik Eyang Mandala, ada proyek antara mereka tapi Aira kurang paham. Aira hanya tersenyum canggung. “Itu… Obi. Tetangga baru.”Andin langsung menaikkan alis, makin kepo. “Tetangga? Tapi mobilnya, gila. Kayaknya bukan orang biasa, Di mana lagi dapat cowok begitu, jangan bilang keluarga suami Lo?!”Begitu mobil Obi pergi, Aira meminta izin ke loker. Setelah menaruh barang dan kembali ke kasir, Andin sudah menunggunya sambil pura-pura mengelap meja agar tidak terlihat sedang bergosip
"Astaga… kamu lagi? Lucu banget takdir, ya. Bisa-bisanya kita tabrakan dua kali begini."Aira nyengir malu, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Rasa bersalah membanjiri dirinya karena kecerobohannya kembali menyusahkan Obi."Maafkan aku sekali lagi, ya," kata Aira dengan nada sungkan.Obi mengangguk sambil mengangkat kotak yang tadi jatuh ke lantai."Aku sebenarnya sudah coba hubungi kamu, tapi nomor kamu nggak aktif. Aku sempat mikir kamu sengaja menghindar," ujar Obi, setengah bercanda tapi jelas menyelipkan keluhan halus.Aira meringis. Baru ia ingat, ponselnya rusak dan Gavin menggantinya dengan yang baru."Maaf banget, bukan menghindar. Ponsel saya rusak dan saya baru beli yang baru. Apa Mas Obi mau saya gantiin iPad-nya?" tanyanya, sedikit ketakutan."Tidak! Bukan itu maksudku. Aku cuma ingin menghubungi kamu sesekali, tapi ternyata nomormu mati," kata Obi, membuat Aira akhirnya bisa bernapas lega."Lho, kok bawa banyak barang? Mas Obi tinggal di sini?" tanya Aira







