“Aku malu punya istri sepertimu! Jualan kue dan bergaul dengan ibu-ibu kampungan!” Dimas mengangkat kotak bening berisi kue buatan Hayati dan melemparnya ke lantai.
Isi kotak pun berhamburan bersamaan dengan tangisan hayati. Dia menguatkan diri untuk memungut lagi satu per satu kue-kue tradisional yang dibuatnya sejak pagi buta.
“Kue-kue ini tidak salah, Mas. Ini halal dan menghasilkan uang.” Walau suaranya terdengar bergetar, Hayati mencoba untuk memberi penjelasan pada Dimas, suaminya.
Dimas menarik rambut hayati dan memaksanya berdiri. Kotak kue yang sudah Hayati kumpulkan pun kembali jatuh berantakan, karena tangannya mencoba untuk melepaskan cengkeraman Dimas dari rambutnya.
“Lepaskan, Mas! Sakit!” Hayati merintih tapi tidak menjerit.
Dia tidak ingin tetangga sekitar rumah mereka yang terletak di komplek mendengar keributan. Dimas akan sangat malu jika itu sampai terjadi. Selama ini Dimas selalu meminta Hayati untuk menampilkan keluarga mereka sebagai keluarga yang ideal. Baik di mata tetangga atau keluarga. Kegaduhan mereka akan dianggap aib yang bisa menjatuhkan reputasi Dimas.
“Tadi pagi atasanku melihatmu sedang menata kue di kedai Mak Supi. Dia memujimu, tapi sebenarnya itu adalah hinaan.” Dimas melotot dan menghentakkan kepala Hayati.
Saat Hayati tersungkur di lantai, beberapa helai rambutnya tertinggal di tangan Dimas. Dengan wajah nyaris menyentuh lantai, air mata Hayati meleleh dari matanya.
“Kenapa mas? Kenapa? Aku toh tidak pernah melalaikan kewajibanku sebagai istri dan juga ibu. Aku melakukan pekerjaan tambahan ini demi mendapatkan uang sendiri.”
Mendengar Hayati memberikan jawaban, justru Dimas semakin kesal. Dia menginjak kotak kue yang ada di lantai. Kue-kue itu menjadi tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Hayati menatap tidak percaya dengan kebrutalan yang dilakukan suaminya. Suami terbaik yang pernah Hayati kagumi karena kelembutan dan cintanya yang luar biasa.
“Seorang manager proyek sepertiku yang berpenampilan keren memiliki istri tukang kue! Mau ditaruh di mana mukaku, Hayati!” Dia kembali melampiaskan kemarahan.
Kakinya menghentak kue di lantai dan membuatnya menjadi tidak berbentuk lagi. Hayati menangis tertahan. Sekali lagi, dia tidak ingin ada suara yang keluar dari dinding rumah mereka. Dimas akan sangat murka jika itu sampai terjadi. Dia mungkin akan mendapatkan pukulan dari suaminya seperti yang beberapa kali Dimas lakukan saat dia merasa kesal pada Hayati.
Setelah sepuluh tahun menikah, Hayati merasa Dimas banyak berubah. Terutama tiga tahun terakhir setelah dia diangkat menjadi manajer di perusahaan konstruksi tempatnya bekerja. Sikapnya yang semula ramah dan lembut penuh kasih sayang kini tidak lagi Hayati rasakan.
Jabatan tinggi membuat Dimas harus menyesuaikan diri. Dia yang biasanya berpenampilan apa adanya, kini selalu tampil rapi layaknya pekerja kantoran. Tidak lupa aromanya yang dulu bersimbah keringat, sekarang selalu wangi. Semua itu seiring dengan penghasilan Dimas yang semakin berlipat-lipat.
Namun tidak dengan keuangan yang dirasakan oleh Hayati.
“Kau kan tahu ibuku sedang sakit. Sebagai anak, aku ingin memberikan uang sekedar untuk membeli obat. Karena itulah aku berusaha dengan berjualan kue ini.” Hayati menahan sesak di dalam dadanya.
Dimas menghenyakkan diri di sofa. Matanya menatap Hayati yang bersimpuh di lantai. Hayati menangis sambil membereskan kue-kue yang sekarang sudah berubah menjadi sampah itu.
“Setelah kau menikah, kau bukan lagi milik keluargamu. Kau tidak bertanggung jawab atas mereka.” Dimas semakin kesal karena mendengar jawaban Hayati tentang ibunya.
“Aku mengerti, Mas. Tapi, ibu sedang sakit. Gaji Andini adikku, sebagai SPG tidak cukup untuk kehidupan mereka.” Hayati berusaha agar Dimas mengerti posisinya sebagai anak.
“Lalu bagaimana dengan Kakakmu, Anggara. Dia kan anak laki-laki satu-satunya. Seharusnya dia bertanggung jawab pada mereka.”
“Mas Anggara masih berusaha mendapatkan pekerjaan. Kau kan tahu itu.”
Dimas mendengus kesal. Dia mengangkat sebelah kakinya di atas lutut bersilangan. Kedua tangannya di depan dada. Sambil sedikit mengangkat dagunya untuk memperlihatkan kesombongan. Penampilannya sebagai seorang eksekutif muda kadang membuat Hayati merasa minder. Belum lagi sikap angkuh yang kerap Dimas perlihatkan.
Meski kecantikan Hayati begitu mempesona Dimas sepuluh tahun lalu, namun sekarang mereka berdua bagai bumi dan langit. Hayati hanyalah ibu rumah tangga dengan penampilan sederhana. Uang yang Dimas berikan setiap bulan hanya cukup untuk membayar sekolah anak-anaknya yang cukup mahal. Juga keperluan rumah tangga mereka dengan kalkulasi ketat yang Dimas berikan padanya.
Jangankan make up mahal atau baju yang bermerek, Hayati sama sekali tidak merasa bahwa kenaikan jabatan Dimas memperbaiki hidup mereka.
“Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana nasib bisa menjodohkanku dengan wanita sepertimu. Sudahlah kampungan, miskin dan kegunaanmu tidak lebih seperti pembantu.”
Seperti sebuah hantaman pisau di dalam kepalanya saat mendengar apa yang Dimas katakan, Hayati terduduk lemas di lantai. Apa yang dia pikirkan dan rasakan telah Dimas nyatakan secara terang-terangan di depannya. Ketakutannya menjadi nyata dan tidak terelakkan. Hayati merasa dirinya hanya seonggok sampah di depan kesuksesan Dimas yang luar biasa.
Dimas berdiri dan menghadap ke jendela. Matanya melihat hamparan tanaman bunga yang rapi di halaman. Semua itu adalah buah karya tangan Hayati.
“Aku mengharapkan seorang wanita yang bisa diajak bertukar pikiran. Membicarakan pekerjaan dan bisnis. Wanita yang cerdas dan modern.”
Di sela isakan tangisnya, Hayati memberanikan diri untuk berbicara. Kotak kue yang sudah dia bereskan diletakannya di atas meja.
“Aku adalah istrimu, Mas. Sejak awal kita menikah, saat kau melamarku, seperti inilah adanya aku. Kenapa kau sekarang mengatakan sesuatu yang tidak ada padaku.”
Dimas membalikkan badan dan berdiri tepat di depan Hayati. Tangannya mencengkeram dagu Hayati hingga kulit di sekitar wajah istrinya itu menjadi merah.
“Banyak hal yang berubah. Seharusnya kau begitu dinamis untuk mengikuti perubahanku.”
Mata Hayati semakin bengkak dan cairan bening terus mengalir tanpa bisa dihentikan. “Aku sibuk mengurus rumah dan anak-anak. Lagi pula aku tidak punya uang untuk berpenampilan menarik seperti wanita lain.”
“Itu kan hanya alasanmu saja! Aku curiga kau memberikan banyak uang pada keluargamu.”
“Mas, selain biaya sekolah anak-anak, kau hanya memberiku satu juta setiap bulan. Bagaimana bisa aku memberi pada keluargaku atau berpenampilan menarik?”
Dimas memiringkan wajah Hayati ke kanan dan ke kiri. Mengamati setiap sisi wajah wanita yang pernah dia pilih sebagai istri itu. Lalu dia melelepaskan dagu Hayati dengan kasar. Hayati nyaris terpelanting.
“Berapa banyak pun uang yang aku berikan, aku rasa tidak banyak yang bisa diubah darimu. Kau tidak secantik teman-teman kantorku yang seksi dan cerdas.”
Dunia Hayati runtuh. Inikah pria yang pernah dia banggakan? Inikah pemimpin rumah tangga yang sangat dia cintai itu? Yang karenanya, Hayati rela mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga?
Betapa ucapan Dimas telah mengoyak hati Hayati. Seperti ratusan pisau dilemparkan sekaligus untuk menancap di sana. Luka Hayati bukan hanya di permukaan tapi kehancuran itu telah menyentuh dasar hatinya. Semua itu membuat Hayati terduduk lemas di sofa. Dia tidak punya energi lagi untuk mengatakan sepatah kata pun pada Dimas.
“Kau benar, hal terbaik bagimu adalah tetap tinggal di rumah. Sebaiknya kau tidak pernah menampakkan diri di depan teman-temanku. Aku akan sangat malu memperkenalkanmu pada mereka.”
Lalu Dimas meraih ponselnya dari atas meja. Dia membetulkan letak dasi dan mengamati sekali lagi penampilannya di cermin besar yang ada di ruang tamu mereka. Matanya berbinar bangga melihat penampilannya sendiri.
“Besok aku akan pergi selama lima hari untuk kegiatan family gathering dari perusahaan. Seharusnya aku membawa kalian, tapi lupakan saja. Aku akan pergi sendiri.”
Hayati berdiri cepat, “Kau boleh menyingkirkan aku. Lalu bagaimana dengan anak-anak?”
Halo, Good Reader. Selamat membaca karya terbaruku ya. Semoga siapa pun yang sedang berusaha untuk bangkit dari keterpurukan, menjadi terinspirasi dengan hadirnya novel ini. "Woman stand for woman. Setiap wanita yang bisa membela dirinya sendiri, maka dia akan berdiri untuk membela wanita yang lainnya."
Daren mengangguk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Ya, aku yakin. Saudara tiriku, yang baru saja kuketahui namanya adalah Bastian, punya sejarah panjang dengan Dimas. Mereka pernah bekerja sama di masa lalu, dan mereka berbagi ambisi yang sama untuk menguasai segala sesuatu yang mereka rasa berhak mereka dapatkan. Bastian tahu bahwa dengan bantuan Dimas dan Marina, dia bisa mempercepat upayanya untuk mengambil alih segalanya."Hayati merasa semakin tenggelam dalam kompleksitas situasi ini. "Jadi, itu sebabnya Dimas dan Marina begitu gigih mengejarku? Mereka hanya bagian dari rencana yang lebih besar?""Tepat sekali," jawab Daren. "Mereka mencoba menakut-nakutimu dan menciptakan kekacauan untuk melemahkanku, untuk membuatku tampak tidak kompeten dan tidak layak mengelola perusahaan. Jika mereka berhasil membuatku jatuh, Bastian akan lebih mudah mendapatkan apa yang dia inginkan."Hayati mengangguk, akhirnya mulai memahami betapa seriusnya keadaan ini. "Apa yang bisa ki
Daren tetap tenang, pandangannya tak tergoyahkan. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Dimas. Kau lupa, kita pernah bekerja di lingkaran yang sama. Aku tahu caramu berbisnis, bagaimana kau menyembunyikan aset, bagaimana kau menyuap orang-orang untuk menutup mata. Kau selalu berpikir kau di atas angin, tak tersentuh. Tapi kali ini, kau sudah salah perhitungan."Dimas mengerutkan kening, rasa percaya dirinya mulai terkikis. "Kau tak punya bukti," katanya, suaranya melemah.Daren mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menelusuri beberapa file sebelum menampilkan layar pada Dimas. "Lihat sendiri. Transkrip percakapanmu dengan Marina, dokumen keuangan yang dimanipulasi, dan bukti pembayaran di bawah meja. Semua ini bisa aku serahkan ke pihak berwenang kapan saja."Wajah Dimas semakin memucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Marina, yang berdiri di sampingnya, mulai panik. Dia mencoba meraih ponsel Daren, tetapi Daren dengan cepat menarik tangannya kembali."Jangan mencoba merampa
Dimas menambahkan dengan senyum miring, "Kami hanya berharap kau bisa menerima kenyataan ini dengan anggun."Hayati menahan napasnya, mencoba menekan amarah yang mulai membara dalam dirinya. Dia tahu mereka berusaha meruntuhkannya, menghancurkan martabatnya di depan semua orang. Hayati bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.Marina yang melihat kelemahan Hayati merasa semakin senang. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Dia berjalan elegan menuju Hayati. Sambil lalu tangannya meraih sebuah gelas berisi minuman berwarna merah dari salah satu pelayan yang sedang berdiri di sekitarnya.Marina mendekat, langkahnya seolah menari di atas lantai yang dingin, sorot matanya penuh kebencian yang dingin. Tanpa berkata-kata, dia dengan anggun namun kejam menuangkan minuman merah itu ke gaun putih Hayati. Cairan dingin itu meresap dengan cepat, meninggalkan noda yang mencolok di atas kain putih yang sempurna. Gaun itu sekarang tampak seperti bekas medan perang—berantakan, kotor, dan basah k
Hayati menggenggam ponselnya erat, suaranya sedikit gemetar saat dia berbicara dengan Linda, pengacaranya yang sudah bertahun-tahun menangani semua urusan hukum keluarga dan bisnisnya."Linda, aku sudah memutuskan," Hayati memulai dengan tegas. "Aku ingin semua harta dan saham perusahaan dialihkan kepada Dimas. Aku lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang bersama Arya dan Vinara."Di ujung telepon, Linda terdiam. Keputusan Hayati membuatnya tercengang. Dia tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi Hayati—itu bukan hanya soal bisnis, tapi juga simbol perjuangan dan kebebasan dari bayang-bayang pernikahan yang gagal. "Hayati, kau yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah.""Ya, Linda. Aku yakin," Hayati menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. "Aku sudah lelah. Semuanya... terlalu berat untukku. Dimas dan Marina bisa mengambil semuanya, aku tak peduli lagi. Yang penting, aku bisa fokus pada Vinara."Meskipun memahami ke
Anggara tidak segera membalas pesan Hayati, membuat kecemasan di hati Hayati semakin membuncah. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Marina, wanita yang dulu dia anggap sahabat, kini menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya.Saat itu, Vinara bergerak sedikit di ranjangnya, membuat Hayati langsung kembali fokus pada putrinya. "Bunda, kenapa Bunda terlihat sedih?" tanya Vinara dengan suara lirih, menyadari perubahan emosi ibunya.Hayati segera menghapus air matanya yang hampir jatuh. "Tidak, Sayang. Bunda hanya sedikit lelah. Kamu istirahat saja, ya. Bunda di sini."Namun, sebelum Hayati bisa kembali menenangkan dirinya, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Anggara masuk, dengan singkat namun menegangkan:‘Dia sedang mencari cara untuk menggugat hak kamu atas perusahaan. Kita harus bertindak cepat.’Hayati merasa darahnya mendidih. Bagaimana bisa Marina berani sejauh itu? Menggugat haknya yang sudah jelas dip
Hayati merasa hatinya tersentuh mendalam mendengar nama yang disebut oleh Vinara, meskipun dengan suara yang lemah. Dia merasakan tumpukan emosi yang sulit untuk dijelaskan. Selama ini, Dimas adalah nama yang penuh dengan rasa sakit dan kenangan pahit baginya, namun bagi Vinara, Dimas adalah ayahnya yang masih memiliki tempat di hatinya.Dengan lembut, Hayati merapatkan tubuhnya ke samping ranjang Vinara, menggenggam tangan putrinya yang lemah. “Sayang, Ayahmu sudah… sudah pergi ke kamar yang lain. Dia sedang beristirahat di sana. Tapi kamu tahu, dia mencintaimu, dan dia sangat bangga padamu,” ujarnya dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.Vinara membuka matanya sedikit, meskipun kelopak matanya masih tampak berat. “Tapi… Bunda bilang… ayah…” Vinara tidak bisa melanjutkan, suaranya melemah kembali, terhenti oleh kelelahan dan rasa sakit.“Ya, Bunda tahu. Bunda tahu ada banyak hal yang sulit untuk dimengerti sekarang,” Hayati berusaha menjelaskan dengan le