LOGINTengah malam bukan lagi waktu untuk istirahat, melainkan awal dari mimpi buruk yang menjadi nyata.Di ruang kerja yang hanya diterangi lampu meja yang remang, atmosfer terasa mencekam. Saat Alex dan Revan melangkah masuk hampir bersamaan, aroma sabun dan sisa uap air masih tertinggal di kulit mereka.Rambut mereka basah, sisa-sisa kebersamaan hangat dengan pasangan masing-masing yang terpaksa diakhiri dengan kasar.Mereka tampak segar, namun mata mereka tidak bisa menipu. Ada kegelapan yang pekat di sana, dingin, waspada, dan sebuah ketakutan yang disembunyikan dengan rapi.Revan adalah yang pertama memecah keheningan. Suaranya rendah, bergetar tipis, kehilangan ketenangan yang biasanya ia banggakan.“Regina.”Nama itu meluncur seperti peluru.Alex berhenti melangkah. Ingatannya melompat pada pesan Edward, ayahnya. Hati-hati tampil di depan publik. Jangan mudah terlihat. Jangan pamer keluarga.Tapi semua terlambat.“Dia sudah mengetahui semuanya,” lanjut Revan, matanya menatap lantai,
“Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, May.”Suara Revan rendah, namun ada getaran aneh yang tidak mampu ia sembunyikan.Itu bukan pembelaan seorang pria yang tertangkap basah berselingkuh, melainkan alarm peringatan dari seseorang yang baru saja melihat maut melambai di layar ponselnya.“Tapi semua akun medsosnya masih aktif, Van! Kamu bilang dia sudah tidak ada di hidupmu,” sahut Maya. Cemburu yang sedari tadi ia tahan kini tumpah, menggetarkan bahunya yang hanya tertutup selembar kain tipis.Revan menurunkan ponselnya perlahan. Ia menghela napas panjang, seolah sedang membuang seluruh sisa oksigen di paru-parunya.“Ini tanda bahaya,” gumamnya lebih kepada diri sendiri.Pria itu berbalik, menatap langsung ke netra mahasiswa tahun kedua itu. Tidak ada lagi kerlingan nakal atau senyum godaan yang biasa ia gunakan untuk mencairkan suasana.“Ada yang harus segera aku selesaikan. Sekarang.”Ia bangkit dari ranjang, mengenakan celana dengan gerakan cepat. Kepala sudah penuh skenario. Pesa
"Ada masalah?"Naira bertanya dengan nada yang sangat hati-hati. Pernikahan mereka memang belum genap satu tahun, namun Naira telah belajar membaca Alex lebih baik dari siapapun. Pria itu bisa menyembunyikan lelahnya di balik setelan jas mahal, tapi ia tidak bisa menyembunyikan kekosongan di matanya.Sejak melangkah masuk ke rumah, Alex hanya diam. Seberapa keras pun ia berusaha memasang topeng ketenangan, Naira bisa merasakan ada beban tak kasat mata yang merunduk di pundak suaminya."Ini bukan soal kantor, kan?" pancing Naira lagi. Firasatnya mengarah jauh ke seberang samudera. "Tentang Emma?"Alex berdecak, sebuah reaksi spontan yang terlihat penuh ketidaknyamanan. Ia mengalihkan pandangan, merasa seolah privasinya sedang ditelanjangi."Aku sudah jelaskan berkali-kali, Nai. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan perempuan itu.""Maksudku bukan itu," potong Naira lembut, berusaha meredam defensif suaminya. "Apakah keluargamu di sana masih memaksamu untuk menikahinya?"Bukannya menjaw
Beban itu tidak pernah benar-benar berkurang. Justru setiap detiknya, ia merasa seolah sedang memanggul seluruh beban dunia di pundaknya yang mulai merapuh.Namun, di tengah kesunyian ruang kerja yang luas itu, Edward Vancroft masih bisa menyunggingkan senyum.Sebuah senyum kecil yang gemetar, seperti sisa cahaya senja yang berjuang menembus celah tirai sebelum ditelan malam.Bukan angka-angka saham yang memerah, bukan pula laporan akuisisi yang membuat dadanya sedikit melonggar. Ada harapan lain. Sesuatu yang jauh lebih organik, sesuatu yang berdenyut di luar jangkauan kekuasaannya.Ia membuka laptopnya dengan gerakan sangat hati-hati, seolah jari-jarinya sedang membelai porselen retak yang sewaktu-waktu bisa hancur.Sambungan jarak jauh diaktifkan. Cahaya biru dari layar memantul di wajahnya yang letih, mempertegas garis-garis usia yang tidak bisa lagi disembunyikan oleh setelan jas mahal.Namun, seketika itu juga, senyumnya luruh.Wajah yang muncul di layar tampak seperti cermin ma
Di kantornya, Edward duduk di balik meja kerja besar. Tirai setengah terbuka, cahaya siang masuk seperti saksi bisu yang tak mau ikut campur.Detektif swasta itu duduk di depannya. Jasnya rapi, tapi matanya lelah. Bukan lelah fisik. Lebih ke lelah karena berhadapan dengan kasus yang sengaja dibuat buntu.“Bagaimana perkembangan penyelidikan kematian anak-anakku?” tanya Edward. Suaranya tenang, terlalu tenang untuk seorang ayah.Detektif itu menarik napas.“Tidak ada perkembangan signifikan, Tuan Vancroft.”Edward tidak bereaksi. Ia sudah menduga.“Pemilik bengkel yang memperbaiki mobil sebelum kecelakaan,” lanjut detektif itu, datar,“orang yang selama ini kita curigai, melarikan diri beberapa hari lalu.”Edward menautkan jari.“Dan?”“Dia ditemukan tewas tadi malam.”Hening jatuh seperti debu. Pelan, tapi menyesakkan.“Berdasarkan hasil forensik,” kata detektif itu lagi, kini lebih hati-hati, “waktu kematiannya tidak berselisih lama dengan kematian putra pertama Anda.”Edward menutup
Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai marmer itu terdengar seperti dentum lonceng kematian bagi Edward. Memekakkan telinga, meski ruangan itu luas dan sepi.Pria tua itu memejamkan mata rapat-rapat. Ia mengenali irama langkah itu bahkan sebelum gagang pintu bergerak.Itu adalah langkah yang selalu membawa badai, langkah yang membawa suara-suara tinggi, keputusan sepihak, dan bara dendam yang tampaknya enggan padam dimakan usia.Pintu besar itu terbuka tanpa ketukan. Tanpa salam. Seolah kesopanan adalah hal terakhir yang pantas ada di kediaman Vancroft.Angelina melangkah masuk. Bahunya tegang, ditarik tinggi-tinggi seolah ia sedang mengenakan baju besi, dan matanya menyala oleh amarah yang tidak lagi ia coba sembunyikan. Ia memamerkannya seperti sebuah trofi.“Kenapa?” tanya Angelina, suaranya menggelegar membelah kesunyian. “Apa alasanmu tidak merestui pernikahan Alex dan Emma?”Edward membuka matanya perlahan. Wajahnya tetap tenang—terlalu tenang, jenis ketenangan yang hany







