Gimana part ini guys? Komen yuk :)
Gamma mendaratkan tubuhnya pada kursi di samping sebuah brankar berwarna biru muda, tempat dimana Serra — istrinya — berada dengan hati-hati. Sekarang ini Gamma dan Serra sedang berada di Unit Gawat Darurat. Seorang tenaga medis memanggilnya saat sang istri baru saja membuka mata setelah beberapa saat yang lalu sempat tak sadarkan diri. Melihat kondisi Serra saat ini, ulu hatinya terasa sakit bak ditikam belati tajam. Perempuan yang tengah mengandung anaknya itu tergeletak lemas tak berdaya, kedua matanya bengkak dan berair bahkan sampai saat ini masih terus mengeluarkan cairan bening itu.Ia tahu, hati Serra pasti terluka.Di samping perempuan itu sudah berdiri seorang perawat juga seorang dokter yang sedang mengisi sebuah dokumen.Pria yang masih mengenakan sweater berwarna kuning gading itu, berusaha menguntai sebuah senyum. Ia harus lakukan itu untuk memberi dukungan kepada Serra, meski saat ini kepala Gamma terasa mau pecah. Tidak tahu hal yang mana duku yang akan ia lakukan. Pr
Tenggorokan Gamma saat ini terasa kering kerontang bak tak dialiri air selama beberapa hari. Pria itu susah payah menelan ludahnya sendiri. Dalam hati ia juga merutuki kebodohannya yang tak sempat berpikir dan menyusun scenario agar tak menemui kejanggalan seperti ini. Namun, Semua itu di luar kendalinya. Rena mendadak kritis juga tak pernah ia duga bahkan ketika sampai di tempat ini lalu dokter menyatakan adik iparnya meninggal, itu juga bukan rencananya. Hah! Rumit! Jika sudah begini, Gamma harus menajwab bagaimana? Apakah ini waktunya jujur dengan Serra bahwa memang ia yang membiayai semua keperluan Rena di rumah sakit selama ini? Ah, tapi jangan! Ia tidak mau Serra terkejut kembali apalagi bila mengetahui Gamma telah mendonorkan darah untuk Rena. “Kenapa kau diam, Gamma?” tegur Serra ketika suaminya belum juga menjawab pertanyaan yang ia berikan beberapa saat lalu. Pria yang telah menjadi suami sah Serra itu lantas membuang napas pelan. Selanjutnya tangan kekar Gamma bergerak m
Suasana duka menyelimuti makam milik keluarga Pranadipta, Pilu yang sejak hari lalu bertalu kini menimbulkan bekas yang membiru dalam kalbu. Bahkan awan turut mengabu, seakan berkabung untuk hati yang sendu. Cuaca pagi ini mendung. Awan-awan gelap itu tampak menggantung dan sebentar lagi bersiap menghujam bumi dengan hujan. Rintik kecil mulai bermunculan walau jarang. Meskipun hanya beberapa orang yang berkumpul di tempat ini, akan tetapi dukungan dan doa yang diberikan untuk Rena terasa begitu kuat. Rasa kehilangan yang dalam menggerakkan hati mereka untuk tulus mngiringi kepergian Rena dengan doa-doa. Di antara orang-orang yang sedang berdiri mengelilingi pusara bertabur bunga mawar itu hanya Serra, Romana, William, juga Gamma yang berjongkok seraya menabur beberapa sisa kelopak bunga di atas gundukan tanah yang basah itu. Ya, jenazah Rena sudah dikebumikan beberapa saat yang lalu. Serra tidak lagi menangis, walau beberapa kali sempat terlihat oleh Gamma bagaimana istrinya menye
“Ada apa denganmu, Will?” Gamma menghampiri sang adik yang sedang menatap kosong ke arah jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tetapi bisa Gamma lihat dengan jelas bagaimana wajah kacau adiknya itu. Sebelumnya ia tak pernah melihat William sekalut ini, sekalipun masalah yang sedang mereka terima cukup rumit dan buruk. Bahkan lelaki itu tak menoleh kala Gamma menyapanya. “What are you doing?” tanya Gamma seraya menepuk bahu William membuat laki-laki berbaju biru itu berjingkat karena terkejut. “Kau? Hah! Kau membuat jantungku hampir meledak, sialan!” William membuang napas kasar seraya memegang dadanya yang kini berdentam hebat. Lelaki itu memejamkan mata kemudian memperbaiki aliran napasnya sendiri. “Kenapa kau ke sini tidak ketuk pintu, sih?” Seketika itu juga tertawa. “Oiya? Asal kau tahu, Aku sudah mengetuk pintu bahkan memanggilmu tetapi kau tidak menyahut, malah melamun ke arah jendela seperti pria yang sedang putus cinta!” Desahan panjang keluar dari bibir William. “
“Astaga, Gamma! Kenapa kau turun tangga dengan lari-lari seperti itu? Kau hampir menabrak ibu!” tegur Romana kepada sang putra. Wanita paruh baya itu manatap Gamma dengan tajam seraya menjauhkan nampan yang sedang ia bawa. Hampir saja isi nampan itu tumpah ruah dan berserakan – karena tertabrak Gamma – bila saja Romana tidak memiliki reflek yang baik. “Kalau nampan ini jatuh semua pecah, Gamma!” Romana menggelengkan kepalanya, Wanita itu heran dengan tingkah laku Gamma yang sejak kecil tidak berubah. Bila ia tergesa maka akan berjalan tanpa melihat kanan kiri. Sesaat kemudian, Helaan napas kasar terdengar dari Gamma. “Maaf, Bu, aku buru-buru, dan tidak lihat kalau ada ibu dari arah samping,” jawab Gamma menjelaskan apa yang sebenarnya ia alami. “Buru-buru boleh, asal jangan kehilangan fokus seperti ini, kau bisa membahayakan orang lain, ibu sudah ingatkan itu berkali-kali!” Bagaimana bisa fokus saat pikiran Gamma saat ini sedang kacau balau. Semua yang ada di kepala pria itu kini t
Serra menyingkap bantal berwarna putih yang ada di sebelah kirinya. Betapa terkejutnya Gamma saat melihat apa yang ada di bawah benda empuk berbentuk persegi itu. Beberapa lembar kertas putih dan amplop-amplop berwarna biru muda berlogo rumah sakit yang sebelumnya ia cari. Bagaimana bisa Serra mendapatkan berkas-berkas itu? Entahlah, Gamma sendiri tidak tahu. Yang jelas setelah ia lalai menyimpan semua bill pembayaran dalam laci nakas. Pria itu segera memindahkannya ke tempat yang lebih aman – Sepertinya. Ia merasa sudah menyembunyikannnya pada loker walk in closet yang tak pernah di buka Serra, akan tetapi sampai saat ini benak Gamma masih penuh dengan pertanyaan mengapa istrinya itu masih dapat menemukannya juga? Mungkin benar kata banyak orang, bila ia tak bisa menyimpan sebuah bangkai. Serapat apapun Gamma menutupinya, semua akan tercium juga. Dan kini istrinya sendiri yang telah menemukan apa yang Gamma sembunyikan. Detik berikutnya, Serra menyerahkan lembaran kertas itu di ha
Pukul 19.00 WIB Gamma sedang sibuk mengutak atik sebuah televisi layar datar berukuran 100 inch yang terletak di ruang tengah dengan sebuah remote. Sesuai dengan janjinya, pria itu mengajak sang istri menonton sebuah film yang baru saja rilis. Ia berharap semoga dengan menonton film itu, Serra bisa melupakan kesedihannya walau sebentar, atau setidaknya suasana hati istrinuya itu sedikit membaik. Di depannya sudah tersaji sepiring kentang goreng beserta tiga jenis saus, sepiring potato skins, dua toples almond tulies, dua kotak susu UHT, dan beberapa makanan ringan yang tentunya ramah untuk ibu hamil. Apakah semua itu Gamma yang menyiapkannya? Benar. Lelaki itu sejak sore sudah sibuk sendiri di dapur untuk menyulap tiga buah kentang menjadi sebuah camilan. Gamma juga yang membeli semua makanan ringan dan susu UHT itu saat Serra sedang istirahat siang tadi. Sementara di sisi lain, Serra yang baru saja menyusul suaminya di ruang tengah dibuat terheran-heran dengan apa yang tersusun rap
Keesokan harinya. Ketika kedua kelopak mata Gamma terbuka, hal yang pertama kali pria itu lihat adalah langit-langit atap berwarna putih. Lampu-lampu yang terpasang di atasnya menyala, kemudian kedua telinganya juga suara sebuah televisi yang sedang menyiarkan sebuah iklan minuman. Laki-laki itupun segera mengusap wajahnya dengan kasar. Detik berikutnya laki-laki itu menguap, lalu mengerjap-ngerjapkan mata mengumpulkan kesadaran yang belum sepernuhnya terkumpul. Baru Gamma sadari bahwa saat ini ia berada di ruang tengah. Ruangan yang ia gunakan bersama Serra untuk menghabiskan malam. Lelaki itu juga baru merasakan sebuah beban yang terasa cukup berat di tangan kirinya. Saat itu juga Gamma menundukkan kepalanya, ternyata tangan kirinya itu sedang menopang kepala Serra yang tertidur di sebelahnya. Astaga. Mereka ketiduran dan tidur berdua di sofa yang sempit itu! Laki-laki itu lantas melirik ke arah jam dinding, masih pukul 02.15 WIB. Masih terlalu pagi jika dikatakan sebagai jam b