Dita POVHari-hari berlalu dengan cepat. Aku sedang berada di dalam kereta api, menikmati pemandangan gedung-gedung indah dari balik kaca. Langit sore dan lintasan laut ditambah dengan matahari yang kembali ke peraduannya membuatku ingin berhenti sejenak.Aku ingin melihat kampungku dulu, tempat dimana aku dibesarkan di panti asuhan. Tidak punya ibu membuatku tidak tahu bagaimana harus mengadu. Tidak punya ayah membuatku tidak tahu bahwa dunia itu sangat kejam.Charlie awalnya ingin ikut. Namun ada urusan mendadak sehingga aku berangkat sendiri walau dia tetap memaksa agar aku ditemani. Namun kali ini aku benar-benar ingin sendiri.Lembaran baru sudah dimulai, tapi aku ingin melihat dengan seksama. Siapakah Dita yang sekarang. Apakah aku masih menjadi diriku? Atau menjadi diri orang lain?Kursi sebelahku kosong, namun seorang pemuda duduk persis di seberang kursi. Beberapa kali mata kami saling menatap, dia tersenyum dan membuatku tersenyum. Menjaga etika.Kereta KRL, persis melintas
Dita POV“Apa…apa yang kau…”“Aku tidak tahan.”Dia mendesah, memagut bibirku dengan lahap. Butuh beberapa menit agar aku mengerti situasi dan otak bodohku menyuruh agar menikmatinya. Tanganku menggantung di lehernya, membalas ciuman itu.Kami sama-sama dewasa. Aku juga sudah lama tidak menerima sentuhan dari lawan jenis. Aku pikir hanya berakhir sampai ciuman saja, namun ini diluar dugaanku.Charlie memasukkan lidahnya, menelusuri setiap inci mulutku. Tangannya turun ke bagian kemejaku, membukanya perlahan sampai aku sadar dan menghentikannya.Dia menatapku teduh, sampai aku tidak bisa menolaknya.“Lakukan di kamar saja.” Bisikku pelan di telinganya.Rasanya seperti ada sengatan listrik di setiap sentuhan hangat Charlie. Dia berada di atasku, tangannya menyentuh setiap inci tubuhku dengan liar. Hal ini bukan lagi hal baru bagiku, tapi, sentuhan Charlie benar-benar diluar dugaanku.Dia sangat seksi?!Suara-suara desahan memenuhi kamarnya. Aku mencengkram bahunya, merasakan panas yang
Charlie POVPanggilanku sudah berkali-kali tidak dijawab oleh Dita. Membuatku panik, hingga di kesekian kalinya barulah panggilanku tersambung. Namun suara akrab yang menjawab itu membuatku meninggalkan rapat besar.Bahkan ayah sampai bingung. Tidak, persetan dengan semua acara itu. Kenapa…kenapa suster Theresa yang menjawab?Begitu tiba di panti asuhan, suster Theresa mengantarku ke ruang tamu. Tempat dimana Dita sedang tertidur pulas di sofa.“Kau mengenal nak Dita, Charlie?”“Kenapa suster kenal?”“Tentu saja, dia dulu dirawat disini waktu kecil. Namun itu tidak lama, karena dia mendapatkan beasiswa.”“Beasiswa?”Mendengar penjelasan itu membuatku bingung. Kenapa Dita selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah wanita yang selama ini aku cari?“Sus, kau ingatkan dulu aku sering datang kemari dan mencari gadis yang tiba-tiba pergi?” aku menatap suster Theresa serius.“Iya.”“Berapa banyak anak yang diterima beasiswa?”“Hanya Dita yang sesuai dengan ciri-ciri yang kau berikan. T
Dita POVPagi sekali aku sudah berangkat menuju rumah sakit, meninggalkan Charlie yang pagi itu masih tertidur sangat lelap. Aku bahkan berusaha untuk melepas tangannya dari pinggangku.Resepsionis masih sepi, aku memeriksa beberapa berkas-berkas obat yang masuk. Namun kali ini ada yang aneh, ada beberapa jenis obat merek baru yang masuk. Apa ini ada hubungannya dengan percakapan itu?Berulang kali aku memastikan bahwa tidak salah, namun perkiraanku tidak meleset. Sepertinya ada yang aneh dengan sistem rumah sakit dalam beberapa bulan terakhir.Suara langkah membuatku buru-buru menutup berkas itu. Dan wajah wanita yang paling kubenci muncul dihadapanku. Dokter Lady. Wanita itu menatapku rendah.Dia terus berjalan memasuki ruang bangsal, berhenti selangkah didepanku. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, namun itu bukan hal yang baik.“Ada apa…”ByurrrBadanku mematung, mataku menatap Lady tidak percaya. Dia menyemburkan air dingin padaku, bahkan aku tidak tahu jika dia akan melakukann
Charlie POV“Bagaimana keadaannya?”“Sudah jauh lebih baik, tuan muda. Rumah sakit itu berafiliasi dengan kita, namun ada yang aneh.”Laporan Yuan cukup memberikanku alasan untuk membunuh para koruptor itu hari ini. Apa mereka pikir sebagai pihak swasta kami akan diam saja? Negara ini difasilitasi oleh banyak investor. Tetap saja akan ada oknum yang menginginkan harta lebih.Padahal sudah diberikan fasilitas yang menunjang. Dasar manusia memang tidak akan pernah puas dengan apa yang mereka miliki.“Kartu Merah.”“Kami akan melakukan eksekusi, tuan Muda. Perintah diterima, ah iya, perintah dari tuan Xu, akan ada makan siang di rumah hari ini. Beliau juga ingin melihat Dita.”“Sejak kapan ayah kembali?”“Pagi ini, dijemput di bandara militer.”“Baiklah, aku akan pergi.”Ruangan sepi begitu Yuan dan orang-orang kepercayaan lainnya pergi. Cahaya matahari menembus melewati jendela, membuat semua terlihat jelas. Kadang aku berpikir, sampai kapan harus menjalani hidup seperti ini?Meski aku
Sepanjang perjalanan menuju rumah, mobil benar-benar hening. Sesekali Charlie menatap Dita yang hanya diam saja, tidak mengatakan apapun. Termenung menatap ke arah jendela. Entah karena pernikahan yang mendadak atau apa, Charlie tidak cukup paham. Di lampu merah, mobil mereka berhenti. Dita menatap ke arah kelap-kelip lampu malam. Pikirannya benar-benar dipenuhi berbagai pertanyaan saat bermimpi semalam. Ada hal yang salah. Dita menarik nafas dalam, dia tidak duduk dengan tenang di kursinya. “Pakailah, udara begitu dingin. Kita akan tiba sebentar lagi.”Tubuh Charlie yang mendadak mendekat membuat Dita perlahan memundurkan badan, namun tatapannya terkunci oleh manik milik Charlie. Keduanya tenggelam dalam tatapan itu dengan waktu yang cukup lama. Sebelum Dita menyadari keadaan itu dan hendak memalingkan wajahnya. Namun Charlie jauh lebih gesit. Dia menahan wajah Dita agar tetap menghadapnya. Membuat Dita gugup. “Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa itu perkara pernikahan itu? Aku ju
Dita duduk di taman tidak jauh dari rumahnya. Dengan pakaian yang masih sama. Dia bahkan belum sempat menggantinya. Tidak lama Dita kembali menangis, namun bukan karena masalah di rumah. Tapi karena merasa janggal dengan isi hati dan pikirannya. Seolah ada kehidupan lain yang sedang menunggunya. “Kenapa…kenapa sakit sekali disini,” bisik Dita menunjuk dadanya. Dia merasa kehilangan seseorang. Disamping hatinya, Dita menyadari bahwa dia tidak sempurna, dia paham bahwa itu menjadi kekurangannya. Menikah dengan Firdaus, awalnya membuat Dita senang. Namun lama-lama ibu mertuanya dan Bella semakin mengolok-olok dirinya yang tidak kunjung hamil. Kebencian itu semakin hari semakin bertambah. Dita tidak tahu harus mengeluh kepada siapa. Ibunya di kampung pasti akan merasa sedih mengetahui dirinya seperti ini. Bahkan kepada ibunya, Dita tidak pernah melakukan yang terbaik. Setiap membeli kado, Dita membeli yang termurah. Itu benar-benar menyakiti hatinya. Namun apa yang harus Dita lakukan
“Dari mana saja kau? Aku menyuruhmu untuk mengerjakan laporan medis tapi tidak kunjung selesai juga?” Justin meneriaki Dita begitu wanita itu muncul di meja resepsionis. Dita dengan panik mencari keberadaan Aminah. Wanita itu sudah berjanji untuk melakukan tugasnya.“Dok, tadi saya menjenguk pasien. Jadi….”“Halah, alasan. Kau ini sama seperti suamimu, tidak berguna sama-sekali. Jika kau tidak bisa bekerja dengan baik, maka jangan berada di rumah sakit ini.”Justin membenci Firdaus.Awalnya dia tidak sebenci itu pada Dita. Namun karena mengetahui wanita itu adalah istri rivalnya, dia jadi membencinya juga. Semua orang yang berhubungan dengan Firdaus, dia membenci mereka.“Maaf dok, saya akan segera menyelesaikannya.”“Tidak usah. Kamu itu tidak bisa diandalkan memang.” Justin pergi melengos begitu saja.Dita mengepalkan tangannya, segera duduk di kursi dan mulai mengetik lagi. Sosok yang sejak tadi dia cari baru saja menampakkan wujudnya setelah 15 menit berlalu. Sekarang hanya ada me