Dita terlahir tidak beruntung, dia besar di panti asuhan dan tidak memiliki apapun untuk dibanggakan. Salah satu pencapaian besar dalam hidupnya ketika bisa kuliah keperawatan dengan beasiswa yang susah mati dia dapatkan dan bertemu dengan Firdaus–suaminya sekarang. Lelaki yang disukai oleh banyak wanita kala itu. Bahkan saat ini juga hal itu sama.
“Dita? Mau kemana, kenapa kok mata kamu merah?” Ratna, salah satu teman kerja Dita, menegur begitu Dita kembali ke bangsa. Sekitar 30 menit lalu, dia minta tolong pada sang sahabat untuk mengantarkan berkas pada salah satu dokter.
“Tidak ada, mbak. Saya mau pulang lebih awal saja,” ujar Dita. Masih menahan air matanya walau sulit untuk dilakukan.
“Tunggu dulu, apa yang terjadi?”
“Mbak saya mau pulang,” Dita menepis tangan Ratna untuk kali pertama. Bergegas mengemasi barang-barangnya dan pergi dari bangsal. Kali ini Dita tidak kuat, dia marah dan hatinya sangat sakit. Sepanjang jalan melewati koridor Dita menunduk, air matanya sudah berjatuhan.
Kali ini emosinya menang. Dia mengabaikan sapaan beberapa pasien yang mengenalnya. Satu hal yang ingin Dita lakukan adalah pulang. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun, hatinya harus ditenangkan lebih dulu. Dita terus berjalan cepat dan memasuki sebuah mobil yang dia pikir adalah taxi pesanannya.
“Tolong antar saya saja, tidak usah banyak bertanya, pak.”
Merasakan mobil tidak kunjung bergerak, Dita menoleh ke arah sopir yang juga menatapnya bingung.
“Kamu siapa?”
Charlie diam sejenak, mengamati wanita aneh yang tiba-tiba masuk kedalam mobilnya. Dari pakaiannya, dia menebak bahwa wanita itu salah satu perawat di tempat dia bekerja.
Dita terdiam, mengerjapkan mata berulang sambil menatap dengan bingung ke arah pria yang duduk di depannya. Pria itu sangat tampan, kulitnya putih bersih dan mulus, mengenakan kemeja yang rapi. Belum lagi postur tubuhnya yang proporsional, kelihatan jika lelaki itu adalah pecinta olahraga.
“Maaf, bukankah ini taxi?” ucap Dita polos.
“Maaf, tapi sepertinya anda salah.”
Pipi Dita memerah, dia memeriksa kembali ponselnya dan benar bahwa titik jemputnya salah. Dia hendak keluar, namun ditahan oleh lelaki asing itu.
“Maaf, saya minta maaf. Saya pikir ini taxi yang saya pesan.”
“Tidak apa, sepertinya kamu tidak baik-baik saja. Sepertinya tujuan kita sama, saya akan mengantar kamu.”
Dita diam, dia tidak menolak dan mengangguk. Mobil sudah berjalan dan tidak ada yang melakukan percakapan setelah Charlie mendapat tujuan wanita yang hanya duduk di belakangnya. Sesekali dia mengamatinya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Dita hanya bisa menangis dalam diam. Dia masih merenungkan semua yang terjadi padanya belakangan ini. Tidak ada yang bisa diprediksi, hatinya saat ini masih hancur lebur.
Mobil berhenti di pekarangan apartemennya. Bergegas Dita keluar usai mengucapkan terima kasih. Dia langsung memasuki kamar begitu tiba, menjatuhkan tubuhnya ke kasur sambil menangis.
Namun tidak lama setelahnya, tubuh Dita terasa digoyang. Dia tertidur dan baru menyadari bahwa hari sudah sore. Sosok yang pertama dia lihat adalah wajah mertuanya.
“Dasar wanita mandul, kamu masih tidur? Ini sudah sore dan belum memasak juga, dasar bodoh,” Nyonya Lim menatap Dita marah. Dia menarik wanita itu agar bangkit dari tempat tidur. “Cepat masak, suami kamu sebentar lagi mau pulang. Sekalian siapin air panas buat saya.”
“Saya sedang lelah, nyonya Lim. Tolong suruh Bella saja yang menyiapkan air panas anda,” Dita menatap Nyonya Lim dengan pandangan kosong. Jika biasa dia selalu menurut, tapi tidak untuk kali ini. Sudah cukup perangai buruk manusia di depannya terus mempengaruhi mentalnya. Dita sudah muak dengan semuanya.
“Kamu sudah berani melawan, hah? Otak udangmu ini dipake kalo mau ngomong, putri saya sedang menonton dan kelelahan setelah seharian belajar di kampus. Apa kamu buta? Dasar mandul.”
Perhatian Dita tertuju pada sosok yang menatapnya sinis di sofa. Wanita bernama Bella itu adalah adik iparnya. Perangainya sebelas dua belas dengan Nyonya Lim.
“Tapi saya tidak berkewajiban untuk memenuhi perintah anda bukan?” Dita melengos pergi hendak ke kamar mandi. Namun tangannya dicekal oleh Nyonya Lim.
“Dasar wanita miskin, anak yatim, sudah berani kamu melawan perintah saya hah? Apa karena Firdaus tidak dirumah makanya kamu seenak jidatnya bisa begini?”
Kesabaran Dita sudah habis, telinganya panas terus mendapat cacian. Dia menepis tangan Nyonya Lim, memberi jarak diantara mereka. Nafas Dita naik turun, lehernya sangat tegang.
“Putri anda yang tidak tahu diri dan anda yang selalu menumpang di apartemen ini harusnya sadar diri. Saya tidak ingin ribut dengan kalian, jadi segeralah pergi sebelum saya mengusir kalian.”
Wajah Lim memerah, dia sungguh marah. Tangannya terangkat hendak menampar wajah Dita, namun pergerakan wanita sungguh diluar dugaan. Tangannya ditahan dan ditekan, Lim semakin marah. Dia mengerang merasakan tekanan di tangannya semakin kuat, dia tidak tahu jika Dita punya energi sekuat itu.
“Dasar wanita bodoh, berani kamu melawan saya huh? Bella, bantu ibu, si miskin ini harus mendapat ganjarannya. Lepaskan tangan saya, mandul.”
Sebelum Bella sempat berdiri, pintu apartemen terbuka. Firdaus menatap ruang tamu dan mengerutkan kening, bingung kenapa semua orang berdiri. Satu hal yang pasti, terjadi perang dingin lagi. Ini bukan hal baru baginya.
“Nak, istrimu…” Lim segera menghampiri Firdaus dan memijat keningnya, “dia sudah berani melawan ibu. Padahal cuman mama minta buat bantu masak, tapi dia malah ngatain mama yang tidak-tidak. Dia…dia bilang mama cuman bisa numpang sama kalian.”
Firdaus menatap Dita, “sayang, kenapa ngomong begitu pada mama?”
Tidak ada jawaban dan ekspresi, Dita berusaha untuk kuat dan tidak menangis. Dia sudah lelah dengan semua drama di rumah tangganya.
“Benar, bang Fir. Mama cuman minta bantuan kakak ipar saja, tapi malah dibilang tidak tahu diri karena cuman bisa numpang. Kalo memang Bella dan mama gak bisa datang ke rumah abang, biar kami tahu. Ternyata selama ini kakak ipar tidak suka ya sama kami?”
“Bella, mama, tolong jangan pergi. Fir mau bicara dulu sama Dita, oh iya, ini ada oleh-oleh dari Lady. Dia baru pulang dinas, dimakan dulu, kalian pasti lapar kan?” Firdaus menyerahkan box pemberian Lady dan segera menarik tangan Dita ke dalam kamar, “sini kamu.”
“Lepas, mas.”
“Dita, sejak kapan kamu berubah, hah? Apa yang ada dipikiran kamu lagi. Sejak awal kan sudah aku jelaskan sama kamu kalo mama dan Bella cuman punya aku. Mereka hanya kangen bermain di rumah kita, kenapa mesti kamu bilang mereka seperti itu? Lagian cuman masak doang kan, kenapa harus sampai begitu?”
Kali ini mata Dita berkaca-kaca. Perkataan itu sukses membuat hatinya sakit.
“Kenapa hanya diam saja? Atau memang dari awal kamu tidak suka dengan keluargaku?”
“Cukup, mas Fir. CUKUP,” teriak Dita dengan mata berkaca-kaca. “Aku mau cerai.”
Kening Firdaus mengerut, tidak paham dengan permintaan Dita yang sangat tiba-tiba. Tidak hanya saat ini, tapi saat di rumah sakit juga.
“Kamu kenapa sih? Apa yang lagi ada di pikiranmu hah? Kenapa mulutmu sangat mudah untuk meminta cerai?”
“Jadi kamu masih bisa berpura-pura seperti ini, mas?”
“Berpura-pura apa? Sepertinya kamu sedang mabuk, tidurlah dan jangan keluar. Mas mau bicara sama mama dan juga Bella diluar.”
Plak
Satu tamparan mendarat di pipinya, Firdaus melebarkan mata tidak percaya bahwa untuk kali pertama dalam hidupnya dia akan ditampar oleh wanita di depannya yang selama ini selalu menurut padanya.
“KAMU PEMBOHONG, MAS. AKU MINTA CERAI. SEKARANG JUGA!!” Sentak Dita.
“Apa…apa yang kau…”“Dita…! Hey….sadarlah.”Suara itu, perlahan mata Dita terbuka dengan cepat. Melihat Charlie yang masih lengkap dengan pakain dan kening mengerutnya. Dita berubah panik dan melihat isi pakaiannya yang masih lengkap. “Apa yang terjadi, kau berteriak memanggil namaku tadi. Aku kira terjadi sesuatu makanya aku menerobos masuk!”Wajah Dita memerah, dia benar-benar tidak mengerti mimpi sialan apa yang masuk di kepalanya. “Tidak ada, maaf, sepertinya aku hanya kelelahan saja. Kau bisa keluar, Charlie.”“Lain kali tutup pintumu dengan baik, Dita. Kau tidak tau apa yang akan aku lakukan kan?”“Memangnya apa yang akan kau lakukan hah?” Teriak Dita panik. Buru-buru Charlie keluar sambil terkekeh. Membuat Dita malu bukan main dan kembali merebahkan tubuhnya. Dia benar-benar merasa ada sesuatu yang dia lewatkan, persis seperti apa yang Charlie katakan. Namun, tidak bagian itu juga kan? Benar-benar membuatnya merasa malu. ******“Kemana kau membawaku?”“Ahhh…kau sudah bangun
Dita menghela nafas panjang, hari ini dia pulang lebih awal dan kembali istirahat di rumah Charlie. Setelah meminjamkannya ruang tidur, lelaki itu pergi entah kemana. Mata Dita mulai lelap, terasa seperti lelah sekali hari ini. Dia ingin tidur yang benar-benar lelap. ***Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku sedang berada di dalam kereta api, menikmati pemandangan gedung-gedung indah dari balik kaca. Langit sore dan lintasan laut ditambah dengan matahari yang kembali ke peraduannya membuatku ingin berhenti sejenak.Aku ingin melihat kampungku dulu, tempat dimana aku dibesarkan di panti asuhan. Tidak punya ibu membuatku tidak tahu bagaimana harus mengadu. Tidak punya ayah membuatku tidak tahu bahwa dunia itu sangat kejam.Charlie awalnya ingin ikut. Namun ada urusan mendadak sehingga aku berangkat sendiri walau dia tetap memaksa agar aku ditemani. Namun kali ini aku benar-benar ingin sendiri.Lembaran baru sudah dimulai, tapi aku ingin melihat dengan seksama. Siapakah Dita yang sekarang
Dengan marah dan tergesa-gasa Firdaus memasuki sebuah ruangan gelap dengan tangan kanannya menarik Dita. Sungguh! Dia begitu marah dan tidak bisa menahan diri terhadap apa yang sudah dilakukan istrinya. “Menurutmu, apa yang sudah kau perbuat hah? Apa maumu, katakan Dita!” “Mauku? Tidak ada, emangnya apa yang membuatmu sampai semarah ini?”Mata Firdaus memerah, dipenuhi dengan kemarahan. Dadanya naik turun sambil menghela nafas yang panjang. “Aku tau sekarang kau sedang balas dendam kepadaku, tapi apa kau pikir bisa menang melawanku? Tidak Dita! Tidak sama-sekali. Pikirmu dengan mengungkap semuanya bisa membuatmu hidup dengan bahagia dan membuatku menyesal? Tentu tidak! Seharusnya aku mendengar kata ibuku dulu untuk tidak menikahi wanita licik sepertimu. Tidak ada bedanya dengan manusia sampah!”“Benarkah? Itu membuatku sangat takut. Tapi…”Firdaus mengerutkan kening dan bulu kuduknya berdiri saat mendengar perkataan yang seolah ejekan itu. Dia…dia tidak pernah melihat bagaimana Dit
Nafas Dita terengah-engah begitu cengkraman di lehernya lepas. Tepat sebelum tamparan Firdaus mendarat di pipinya, pintu terbuka dengan lebar. Mata Dita menangkap sosok yang baru saja menyelamatkan hidupnya. “Charlie?” bisik Dita, dia tidak tau kenapa laki-laki yang baru saja mengantarkannya pulang itu, kini berada di hadapannya. Namun ponselnya yang ada bersama dengan lelaki itu cukup menjawab semuanya. “Ponselmu tertinggal di mobilku tadi, ceroboh sekali.” Perlahan melangkah mendekatinya, Dita terdiam cukup lama sampai tubuhnya di bawah jauh dari Firdaus. Dia merasa perselisihan di antara keduanya. “Siapa kau berhak masuk ke rumahku hah?” Bentak Firdaus. “Bukankah ini apartemenmu, Dita?” Dita mengangguk, itu memang apartemennya, dan semua gaji bulanannya yang tidak seberapa dia dedikasikan semua untuk apartemen dan semua perabotannya. Termasuk untuk biaya sekolah Firdaus juga. Dia memang bodoh, bahkan untuk dirinya sendiri, dia tidak memikirkannya. Selama ini Dita hidup dengan
“Kau melihat itu? Wah, aku sungguh tidak percaya dengannya, hanya selang sehari tidak masuk namun sudah bertindak sejauh ini. Atau karena kepalanya kena benturan sehingga dia kehilangan rasa hormatnya?”Firdaus masih mendengar ucapan buruk itu sejak tadi, biasanya dia akan menghiraukan mereka, namun untuk kali ini telinganya sedikit memanas mendengar nama dokter Charlie ikut disebutkan. Bahkan terang-terangan dikatakan jika dokter itu menyukai Dita. “Ah, kamu disini juga, Dokter Firdaus?”Firdaus hanya mengangguk, lalu kembali memeriksa rekam medis pasien yang baru saja selesai dia operasi. Pikirannya cukup terganggu dengan sikap Dita hari ini dan dia ingin menanyakannya sepulang ke rumah. Pintunya ditutup, tatapan Firdaus jatuh pada Lady yang berjalan ke arahnya dengan sensual. Dia tahu wanita itu tidak akan pernah menyerah. Mereka pernah melakukannya beberapa kali, namun untuk kali ini Firdaus tidak ingin. Satu hal yang ingin dia lakukan adalah pulang secepatnya. “Kau sudah berj
Mata Dita melebar, tidak menatap lelaki dengan tinggi 10 centi meter lebih tinggi darinya. Mereka berdiam di balik pintu, sambil mendengar percakapan Firdaus dan Lady yang penuh dengan hasrat. Begitu tangan lelaki itu dilepas dari mulutnya, Dita mundur beberapa langkah dan menendangnya. “Kau gila?”“Hey, aku justru membantumu. Kenapa menguping pembicaraan orang lain? Tindakanmu jelas kriminal, kau juga tau siapa Lady kan? Dia itu putri pak wadir, bisa jadi kau akan dikeluarkan jika ketahuan.”“Kenapa? Aku juga berhak tau apa yang mereka lakukan.”“Berhak? Ayolah suster Dita?” Lelaki itu berhenti sejenak untuk menatap name tag Dita, dan mengelus kakinya yang terasa sakit, “wahh, tendanganmu lumayan juga.”“Aku istri dokter Firdaus, dan apa kau dokter baru?”Anggukan itu membuat Dita diam, kepalanya sedikit pusing. Dia diam melihat punggung lelaki berjas putih itu. Rasanya familiar, aromanya menenangkan, namun dia tidak tahu kapan mereka pernah bertemu. “Setahuku dokter Firdaus masih
Mobil berjalan dengan keheningan yang menyelimuti didalam. Baik Charlie dan Dita, tidak satupun yang mengeluarkan suara. Persis dibelakang dan didepan, mobil mereka dikawal bak rombongan. Charlie melirik sekilas, mengamati wajah Dita, menggenggam tangan wanita itu dan mengelusnya dengan jari jempolnya. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja setelah kejadian yang mereka lewati. Tapi beberapa saat Charlie yang sedang fokus mengemudi menarik nafas dalam. Dia selalu khawatir akan nasib mereka. Kehidupan yang dia ingin bina, bisa saja hancur dalam sekejab. Terlebih, dia bukan orang sembarangan. Banyak musuh yang ingin nyawanya. Mungkin Charlie bisa mengatakan bahwa Dita akan selalu aman dalam pengawasannya, dan itu adalah ucapan terbodoh yang pernah dia lakukan. Ucapan untuk menenangkan jiwanya yang sangat ketakutan. “Terlihat murung, ada yang ingin dibicarakan?” tanya Charlie dikeheningan mobil. Tatapannya tertuju pada Dita yang masih diam dengan raut alis yang bertaut, namun peg
Charlie berlari sekencang mungkin menuju ruangan dimana kesadarannya dibuat hampir melayang. Pintu terbuka lebar, langkahnya berhenti di ambang pintu. Bahkan kumisnya masih tersisa setengah karena mendengar kabar bahwa Dita sudah sadar. Air mata Charlie jatuh, dia berjalan perlahan. Jantungnya berdetak kencang, menatap Dita yang kini tengah duduk di ranjang namun tidak memberikan reaksi apa-apa. Malah menatapnya dengan tatapan bingung dan kosong. Mengabaikan semua orang diruangan itu, Charlie memeluk tubuh rapuh itu. “Dita…sayang, akhirnya kamu sadar.”Dita mengerutkan keningnya, menatap Charlie bingung, bahkan tidak bereaksi apapun saat lelaki itu tiba-tiba memeluknya dengan genangan air mata. Namun rasanya nyaman, tapi Dita tidak mengingat apapun. Para dokter yang berjejer di ruangan itu menundukkan kepala, mereka belum memberitahu bahwa Dita mengalami lumpuh otak sementara yang mengakibatkan ingatannya sedikit menghilang. Sedangkan Charlie? Dia masih memeluk Dita dengan erat, m
Dita POV“Sekalipun ini mimpi, aku tetap akan bersyukur telah memilikimu. Kini, besok, seribu tahun yang akan datang, aku akan tetap berada disampingmu. Aku akan menjagamu.”“Kamu berjanji?”“Tentu saja.”“Aku akan selalu ada disampingmu! Jadi, pulanglah. Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Suara itu. Aku sudah berkali-kali mencari siapa yang berbicara. Namun tidak ada orang sama-sekali. Setiap hari aku menjalani kehidupan yang tidak ada habisnya, bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenali. Tubuhku seolah tidak ingin pergi dari kenangan itu. “Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Lagi. Suara serak dan penuh dengan harapan itu membuatku berlari asal, suara itu terus menghantuiku. Nafasku kian sedikit, setiap hari berlari tiada henti. “Tolong, siapapun apakah ada yang mendengarku?”Sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang mendengar. Aku menarik nafas dalam, memilih untuk duduk. Namun tidak lama cahaya putih menyilaukan mata membuatku menutup