Naira menutup seluruh tubuhnya yang polos tanpa sehelai benangpun. Setelah melayani suaminya. Naira tidak berkata apa-apa lagi. Hanya ada rasa lelah baik batin maupun fisik.
"Besok kita akan ke rumah sakit."
"Untuk apa?" tanya Naira. Wajahnya ia tenggelamkan di bantal empuknya. Sedangkan Rendra dia merapihkan dirinya, bersiap untuk pergi.
"Untuk memeriksa apa kau sudah hamil atau belum."
Naira memegang selimutnya dengan erat.
"Kita menikah baru 1 bulan, apa mungkin aku hamil secepat itu?" tanya Naira dengan suara pelan
Rendra melirik istrinya yang tertutup selimut. "Meskipun baru 1 bulan. Kita sudah bisa tau kau sudah hamil atau belum."
Naira mengetatkan rahangnya. Ia berdo'a jika dia tidak hamil sampai satu tahun ke depan.
"Aku tidak akan hamil," ujar Naira.
"Jangan memancing amarahku, Naira."
"Kenapa? Kau tidak terima."
"Dokter mengatakan kau adalah wanita subur, siklus datang bulanmu lebih cepat dari wanita kebanyakan. Bisa dipastikan, sekarang anakku tumbuh di rahmimu."
"Bisa gak? Gak usah bahas anak. Aku gak mau hamil. Aku itu masih muda. Aku ingin kuliah mengejar semua mimpiku."
"Tidak bisa. Kau harus melahirkan anak untukku. Jika anak pertama perempuan. Maka kau harus hamil kembali."
"Dan setelah itu, kau menceraikan aku dan meninggalkan aku." Lanjut Naira sinis.
"Kau tahu." Rendra menatap istrinya sinis.
"Dasar pria tidak punya hati."
"Terserah!"
"Mas Rendra. Kau ingin aku tidak memancing keributan, tapi kau sendiri memancingku. Untuk selalu berkata kasar!" sentak Naira.
"Wanita kampung. Berani sekali membantah dan menjawab pertanyaanku." Rendra mencengkeram rahang Naira.
"Dengar ini, aku menikah denganmu karena ingin memiliki anak. Tidak lebih."
Setelah menyakiti hati dan juga fisik Naira. Rendra pun meninggalkan kamar Naira dan meninggalkannya sendirian.
Lalu setelah kepergian Rendra. Secara perlahan air mata Naira pun mentes perlahan.
Naira mengusapnya kasar. "Aku gak mau hamil...." isak tangisnya.
Dengan badan yang lemas. Naira beranjak dari kasur untuk membersihkan diri setelah sisa percintaannya dengan Rendra. Lebih tepatnya pemerkosaan yang dilakukan suaminya.
"Ya Allah, apa aku akan bahagia menjalankan rumah tangga seperti ini. Aku belum siap, aku ingin kuliah. Aku ingin mengejar cita-citaku. Aku belum ingin memiliki anak." Naira memeluk tubuhnya dibawah guyuran air shower yang menetes seperti air hujan.
**
Keesokan paginya, Naira sudah bersiap dengan penampilannya. Kerudung pasmina, baju tunik dan celana jeans. Seperti apa yang dikatakan oleh suaminya. Mereka akan pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Apakah Naira sudah hamil atau belum.
"Turun!" titah Rendra saat mereka sudah sampai di parkiran rumah sakit.
Naira pun tidak menjawabnya dan berusaha membuka pintu mobil. Namun, sekuat tenaga Naira melakukannya. Pintu mobil tak kunjung terbuka. Rendra yang melihat bagaimana Naira begitu kampungnya sampai tidak bisa membuka pintu mobil pun hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar.
"Diam!" Sentak Rendra. Pada akhirnya dirinya pun memutuskan untuk membukakan pintu mobil untuk istrinya.
"Masuk!" Naira menurut dan duduk di samping Rendra dan perjalanan menuju rumah sakit pun tidak membutuhkan waktu yang lama.
"Turun!" ucapnya dengan kasar. Ketika mereka sudah sampai di rumah sakit.
Rendra pun segera menggenggam tangan Naira dan membawanya masuk untuk mendaftar. Sengaja mereka berangkat pagi-pagi sekali. Karena Rendra harus pergi ke kantor.
Setelah mendaftar, mereka pun memutuskan untuk menunggu antrian no tiga dan itu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu. Pada akhirnya nama Naira pun di panggil.
Rendra pun segera berdiri dan tidak melepaskan tangannya dari Naira.
"Selamat pagi, Bu Naira dan Pak Rendra," sambut dokter yang akan memeriksa Naira dengan ramah.
Niara tersenyum tipis dan membalasnya dengan suara yang sangat pelan sampai tidak terdengar oleh dokter. "Selamat pagi juga, Dokter."
"Silahkan duduk, sebelum kita melakukan pemeriksaan lain. Kita tensi dulu dan timbang berat badannya ya." Dokter pun menyiapkan alat untuk mengukur tensi darah Naira serta mencacat berapa berat badan Naira.
"Usia Ibu Naira berapa?"
"20 tahun."
"Bapak Rendra?"
"27 tahun."
"Sudah dewasa ya. Bisa menjaga istrinya dengan baik."
"Kalau begitu, kita lakukan tes urine dan USG untuk memastikannya. Apakah ibu Naira positif hamil atau tidak. Apa sebelumnya ada test?"
"Tidak ada, Dokter."
"Baiklah." Dokter itu pun segera beranjak dari duduknya dan membimbing Naira untuk menggunakan testpack.
Sedangkan Rendra, dirinya begitu tidak sabar dengan kabar yang akan di dapatkan. Dia berharap akan mendapat kabar baik jika Naira telah hamil anaknya.
Setelah melakukan pengecekan dan USG. Ternyata Naira dinyatakan positif hamil. Bahkan usia kandungannya saat ini sudah menginjak satu bulan lebih. Hal itu membuat Naira bingung. Padahal dirinya menikah baru 1 bulan Tapi bagaimana mungkin dia sudah dinyatakan positif hamil 5 Minggu atau satu bulan lebih Sedangkan dirinya pertama kali di sentuh oleh suaminya sehari setelah menikah.
"Dokter, kok saya hamil 5 Minggu. Saya menikah baru 1 Bulan?" tanya Naira dia memang tidak tahu apapun tentang kehamilan.
"Begini, Ibu Naira. Perhitungan kehamilan bukan di hitung dari pertama kali berhubungan badan. Tapi di hitung dari terakhir kali ketika haid ya."
Rendra yang mendengar penjelasan dokter pun mengangguk dan merasa lega. Dia juga sempat berpikir jika anak yang ada di dalam kandungan Naira itu bukan anaknya karena usianya sudah menginjak satu bulan lebih sedangkan mereka menikah baru 1 bulan. Tapi pada akhirnya dia tersenyum lega dan bahagia.
"Terimakasih, Dokter," ucap Naira. Dari raut wajahnya, sama sekali tidak ada kebahagiaan terlihat di wajahnya atas kabar kehamilannya.
"Ini adalah resep obat serta vitamin yang harus di tebus. Usahakan setiap bulan rutin melakukan pengecekan ya. Biar kita bisa tau keadaan si janin. Apalagi, Ibu Naira termasuk muda. Di khawatirkan ada sesuatu yang terjadi tidak diinginkannya."
Tidak ada sambutan bahagia atau pelukan seperti suami istri lainnya ketika mendapat kabar sang istri hamil. Rendra hanya meliriknya sekilas dan tersenyum. Hanya itu tidak ada yang lain.
Karena apa yang sudah menjadi tujuannya akan tercapai. Harta warisan yang memang sudah menjadi haknya itu akan benar-benar jatuh ke tangannya. Namun ada satu hal lagi yang harus diperhatikannya. Yaitu, anak yang dilahirkan oleh Naira harus anak laki-laki
Jika tidak, harta warisannya akan di alihkan 20% kepada ibu tirinya. Tentu, dia tidak ingin satu persen sekalipun, harta peninggalan ibunya itu jatuh pada orang lain.
Sesampainya di rumah besar. Rendra langsung saja membantu Naira turun dan menggandengnya. Dia tidak akan membiarkan Naira berjalan ke sana kemari untuk melihat sesuatu. Tugas Naira hanya satu. Melahirkan anak untuknya bukan yang lain lagi.
"Bi Nimah!" panggil Rendra pada pelayan yang akan merawat Naira sampai Naira melahirkan nanti.
"Iya, Tuan."
Bi Nimah langsung saja berlari menghampiri Rendra dan juga Naira.
"Bibi, saat ini. Naira sedang hamil. Aku mau bibi memperhatikannya. Makanan serta gizi yang sehat. Pastikan dia tidak melakukan pekerjaan berat."
"Alhamdulillah, Tuan. Selamat ya, Tuan Rendra sebentar lagi akan memiliki anak dan menjadi seorang Ayah."
"Terimakasih, Bi. Saya titip Naira. Jangan sampai ada yang mencoba mendekatinya atau menyakitinya. Kalau ada sesuatu tolong beritahu saya."
"Baik, Tuan."
"Kalau begitu saya pamit, saya harus pergi ke kantor."
Setelah memastikan Naira sampai di paviliun dengan selamat dan juga baik. Rendra pun memutuskan untuk pergi ke kantor. Mungkin malam ini dia akan mengumumkan tentang kehamilan Naira dan rencana pernikahannya bersama dengan Bianca. Dia juga akan bersiap menyewa pengacara untuk perceraiannya dengan Naira serta hak asuh anak.
Sementara Naira, menundukkan kepalanya. Melihat perutnya yang masih rata. Entah dia tidak tahu apa yang di rasakannya sekarang, haruskah dia bahagia atas kehamilannya atau bersedih.
Dia belum siap hamil, apalagi dia mengetahui sebuah fakta jika suaminya sudah memiliki kekasih dan berencana akan menikah. Lalu bagaimana dengan masa depannya. Bagaimana dengan kehidupannya nanti.
"Kenapa kamu hadir begitu cepat. Kenapa kamu harus hadir diantara keluarga yang sama sekali tidak memikirkan kebahagiaanmu."
Naira memejamkan matanya sejenak. Lalu membukanya secara perlahan.
"Non Naira yang sabar ya. Saya yakin, Tuan Rendra akan semakin perhatian dan mencintai Non Naira."
"Aku tidak butuh cintanya, Bi. Aku butuh kebebasan dari ini semua."
Naira berjalan dan meninggalkan Bi Nimah di luar dan memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Batinnya lelah, tidak ada teman atau seseorang yang bisa menjadi sandarannya.
Di lain tempat, tepatnya di sebuah apartemen. Terlihat seorang wanita yang sedang menangis di pelukan kekasihnya. Suasana terlihat sangat memanas ketika sang kekasih mengungkapkan sebuah fakta yang menyakitkan.
"Kamu jahat, Rendra! Kamu jahat!"
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Naira hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!" Bianca meradang mendengar pembelaan Rendra terhadap Naira."Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki, tanpa harus aku menikah lagi." Rendra berusaha menjelaskan.Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahag
Naira yang merasakan sakit di pergelangan tangannya pun melihat wajah suaminya dengan penuh tanya. "Kenapa, Mas. Marah?" tanya Naira. "Aku itu suami kamu, harusnya kamu tidak berkata seperti itu!" Rendra tidak suka dengan keberanian Naira. Naira tertawa. "Kenapa aku tidak boleh berkata seperti itu, bukankah tadi kamu bilang sendiri, Mas. Jika aku tidak boleh mengharapkan kamu pulang. Lalu kenapa sekarang jawabanku salah." "Aku adalah suamimu, harusnya kamu menghargaiku seperti istri yang lainnya. Kamu sangat berbeda dengan…." Rendra menggantung ucapannya. Hampir saja dia mengatakan Bianca sebagai istrinya di hadapan Naira. "Untuk apa aku menghargaimu, Mas. Jika kamu sendiri tidak mau menghargaiku sebagai istri. Lalu aku sangat berbeda dengan siapa? kekasihmu? Tentu saja kami berbeda." Naira berusaha melepaskan diri dari cengkraman suaminya. Rendra menghempaskan tangan Naira yang sudah memerah. "Sudahlah, aku tidak mau berbicara denganmu. Kamu itu wanita kampung dan sialan." Ti
Rendra tidak tahu harus bagaimana lagi cara menghadapi wanita tua yang ada di hadapannya. Haruskah dirinya membawa Naira pergi dari rumah ini seperti dirinya membawa Bianca pergi agar kesehatan mentalnya aman. "Berhenti ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Jika kau terus melakukan hal itu. Aku tidak akan segan-segan menyakitimu. Aku tidak peduli jika kau adalah istri dari ayahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun merasa sedikit takut. Saat ini dirinya tidak memiliki kekuasaan apapun termasuk harta akan tetapi Laras tidak akan berhenti sampai Rendra gagal mendapatkan seorang pewaris. "Aku tidak akan mengganggu wanita itu jika saja kamu tidak membawa wanita kampung itu." Rendra mengangkat tangannya, ia memberikan sebuah tanda kepada Laras untuk diam. "Diam atau akan aku pastikan. Jika mulai besok kau dan anakmu itu pergi dari rumahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun sama sekali tidak takut karena dengan istri kedua Rendra pergi meninggalkan paviliun dan bayi it
Rendra tidak menjawab pertanyaan Naira. Dirinya memilih turun dan memutuskan untuk meminta mangga muda tersebut. Dengan resiko menanggung malu. Sedangkan Naira yang melihat suaminya berusaha mendapatkan mangga yang diinginkannya pun seketika perasaannya menjadi sensitif. Ada rasa haru dalam dadanya padahal beberapa saat yang lalu dirinya tidak peduli dengan apa yang Rendra lakukan. Mungkin karena bawaan bayi yang ada di dalam perutnya. "Ada apa dengan perasaanku. Kenapa melihat mas Rendra yang berusaha mencari mangga muda untukku kenapa hatiku merasa senang? Jangan Naira. Jangan mudah terbawa perasaan." "Permisi!" "Permisi!" sejak lagi Rendra mencoba memanggil pemilik rumah yang terdapat buah mangga tersebut. "Iya, selamat siang, Pak. Ada yang bisa di bantu," suara seorang wanita berpakaian rumahan menyaut ucapan permisi Rendra. "Maaf apakah Ibu ini adalah pemilik rumah ini. Jika iya saya ingin membeli mangga muda punya Ibu boleh?" tanya Rendra bersikap baik. "Maaf, Pak. Ini bu
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Nayla hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!""Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki anak tanpa harus aku menikah lagi."Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka."K
"Mas…." Naira mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan Rendra."Apa?" "Aku ingin kita bicara.""Aku sibuk.""Kalau Mas sibuk, kita bisa bicara di sini."Rendra melirik Naira sekilas. "Memangnya apa yang kamu bicarakan sampai mau bicara di sini.""Aku ingat membicarakan tentang rumah tangga kita.""Untuk apa di bicarakan, bukankah kita sudah membahasnya ketika malam pernikahan kita.""Tapi…""Kita pergi ke restoran terdekat. Kita akan bicara di sana."Naira tersenyum karena pada akhirnya Naira Rendra mau bicara dengan dirinya. Setelah mencari restoran terdekat sekalian makan siang dan ini adalah untuk pertama kalinya mereka makan bersama sebagai pasang suami istri."Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Rendra ketika mereka sudah sampai di restoran. Sambil menunggu pesanan mereka sampai akhirnya Rendra memutuskan untuk bertanya apa yang ingin Naira bicarakan."Mas, aku tahu kamu tidak mencintaiku sebagai istri. Begitu juga dengan aku yang belum mencintaimu, aku tahu mas juga pernah
"Bi, buka pintunya!" seru Rendra. Dari luar. Bi Nimah yang mendengar itu pun berjalan tergopoh-gopoh membuka pintu untuk Rendra. "Bi, bagaimana dengan keadaan Naira?" tanya Rendra. "Non, Naira badannya panas terus saja memanggil Ibunya." Penjelasan Bi Nimah membuat Rendra menghembuskan nafasnya kasar. Lalu dia pun berjalan pelan menghampiri istri keduanya. Duduk di tepi ranjang, lalu memegang kening Naira yang ternyata panas. "Kita bawa ke rumah sakit aja, Bi. Tolong siapkan perlengkapannya. Takutnya nanti dirawat di rumah sakit." "Baik Tuan." Rendra langsung saja menggendong tubuh Naira dan di bawahnya keluar. Hal itu tidak luput dari perhatian dari Laras. "Ada apa dengan, istri kedua Rendra. Apakah dia sakit, kalau memang benar. Baguslah biar sekalian anak yang ada di dalam kandungannya mati," ucapnya tanpa perasaan. Rendra mendudukan Naira di belakang, tidak lupa Ia juga memakaikan seat belt untuk keamanan Naira. "Ibu…" "Naira tenanglah, kamu pasti baik-baik saja," ucap R
Seperti yang pernah di janjikan Rendra. Setelah pulang dari rumah sakit. Rendra akan memenuhi keinginan Naira yang ingin keluar dari pavilion, bebas tanpa larangan."Mas, Rendra nggak berangkat ke kantor?" Tanya Naira ketika mereka sampai di pavilion. Naira hanya dirawat di rumah sakit selama 2 hari dan selama itu. Rendra tidak pernah pulang ke apartemen Bianca."Hari ini aku akan menemani kamu, sesuai dengan permintaan kamu waktu di rumah sakit yang ingin keluar. Sekarang kamu sudah sehat, katakan kamu ingin ke mana?" tawar Rendra.Naira yang mendengar hal itu pun tersenyum semringah. "Terimakasih, Mas. Aku boleh nggak pergi ke taman jalan-jalan sebentar. Pagi-pagi kayak gini enak jalan-jalan di taman."Rendra mencoba menimbang-nimbang permintaan Naira, sebenarnya ada rasa takut dalam hati Rendra jika dirinya membawa Naira jalan-jalan keluar.Dirinya takut ada seseorang yang mengenali dirinya dan bertanya tentang siapa Naira. Bukan hal itu saja, Rendra juga takut jika ada orang yang