Share

Bab 4. Kehamilan yang tidak diinginkan

Naira menutup seluruh tubuhnya yang polos tanpa sehelai benangpun. Setelah melayani suaminya. Naira tidak berkata apa-apa lagi. Hanya ada rasa lelah baik batin maupun fisik.

"Besok kita akan ke rumah sakit."

"Untuk apa?" tanya Naira. Wajahnya ia tenggelamkan di bantal empuknya. Sedangkan Rendra dia merapihkan dirinya, bersiap untuk pergi.

"Untuk memeriksa apa kau sudah hamil atau belum."

Naira memegang selimutnya dengan erat.

"Kita menikah baru 1 bulan, apa mungkin aku hamil secepat itu?" tanya Naira dengan suara pelan

Rendra melirik istrinya yang tertutup selimut. "Meskipun baru 1 bulan. Kita sudah bisa tau kau sudah hamil atau belum."

Naira mengetatkan rahangnya. Ia berdo'a jika dia tidak hamil sampai satu tahun ke depan.

"Aku tidak akan hamil," ujar Naira.

"Jangan memancing amarahku, Naira."

"Kenapa? Kau tidak terima."

"Dokter mengatakan kau adalah wanita subur, siklus datang bulanmu lebih cepat dari wanita kebanyakan. Bisa dipastikan, sekarang anakku tumbuh di rahmimu."

"Bisa gak? Gak usah bahas anak. Aku gak mau hamil. Aku itu masih muda. Aku ingin kuliah mengejar semua mimpiku."

"Tidak bisa. Kau harus melahirkan anak untukku. Jika anak pertama perempuan. Maka kau harus hamil kembali."

"Dan setelah itu, kau menceraikan aku dan meninggalkan aku." Lanjut Naira sinis.

"Kau tahu." Rendra menatap istrinya sinis.

"Dasar pria tidak punya hati."

"Terserah!"

"Mas Rendra. Kau ingin aku tidak memancing keributan, tapi kau sendiri memancingku. Untuk selalu berkata kasar!" sentak Naira. 

"Wanita kampung. Berani sekali membantah dan menjawab pertanyaanku." Rendra mencengkeram rahang Naira.

"Dengar ini, aku menikah denganmu karena ingin memiliki anak. Tidak lebih."

Setelah menyakiti hati dan juga fisik Naira. Rendra pun meninggalkan kamar Naira dan meninggalkannya sendirian.

Lalu setelah kepergian Rendra. Secara perlahan air mata Naira pun mentes perlahan.

Naira mengusapnya kasar. "Aku gak mau hamil...." isak tangisnya.

Dengan badan yang lemas. Naira beranjak dari kasur untuk membersihkan diri setelah sisa percintaannya dengan Rendra. Lebih tepatnya pemerkosaan yang dilakukan suaminya.

"Ya Allah, apa aku akan bahagia menjalankan rumah tangga seperti ini. Aku belum siap, aku ingin kuliah. Aku ingin mengejar cita-citaku. Aku belum ingin memiliki anak." Naira memeluk tubuhnya dibawah guyuran air shower yang menetes seperti air hujan.

**

Keesokan paginya, Naira sudah bersiap dengan penampilannya. Kerudung pasmina, baju tunik dan celana jeans. Seperti apa yang dikatakan oleh suaminya. Mereka akan pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Apakah Naira sudah hamil atau belum.

"Turun!" titah Rendra saat mereka sudah sampai di parkiran rumah sakit. 

Naira pun tidak menjawabnya dan berusaha membuka pintu mobil. Namun, sekuat tenaga Naira melakukannya. Pintu mobil tak kunjung terbuka. Rendra yang melihat bagaimana Naira begitu kampungnya sampai tidak bisa membuka pintu mobil pun hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar.

"Diam!" Sentak Rendra. Pada akhirnya dirinya pun memutuskan untuk membukakan pintu mobil untuk istrinya.

"Masuk!" Naira menurut dan duduk di samping Rendra dan perjalanan menuju rumah sakit pun tidak membutuhkan waktu yang lama. 

"Turun!" ucapnya dengan kasar. Ketika mereka sudah sampai di rumah sakit. 

Rendra pun segera menggenggam  tangan Naira dan membawanya masuk untuk mendaftar. Sengaja mereka berangkat pagi-pagi sekali. Karena Rendra harus pergi ke kantor.

Setelah mendaftar, mereka pun memutuskan untuk menunggu antrian no tiga dan itu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu. Pada akhirnya nama Naira pun di panggil.

Rendra pun segera berdiri dan tidak melepaskan tangannya dari Naira.

"Selamat pagi, Bu Naira dan Pak Rendra," sambut dokter yang akan memeriksa Naira dengan ramah.

Niara tersenyum tipis dan membalasnya dengan suara yang sangat pelan sampai tidak terdengar oleh dokter. "Selamat pagi juga, Dokter."

"Silahkan duduk, sebelum kita melakukan pemeriksaan lain. Kita tensi dulu dan timbang berat badannya ya." Dokter pun menyiapkan alat untuk mengukur tensi darah Naira serta mencacat berapa berat badan Naira.

"Usia Ibu Naira berapa?" 

"20 tahun." 

"Bapak Rendra?" 

"27 tahun."

"Sudah dewasa ya. Bisa menjaga istrinya dengan baik."

"Kalau begitu, kita lakukan tes urine dan USG untuk memastikannya. Apakah ibu Naira positif hamil atau tidak. Apa sebelumnya ada test?" 

"Tidak ada, Dokter."

"Baiklah." Dokter itu pun segera beranjak dari duduknya dan membimbing Naira untuk menggunakan testpack. 

Sedangkan Rendra, dirinya begitu tidak sabar dengan kabar yang akan di dapatkan. Dia berharap akan mendapat kabar baik jika Naira telah hamil anaknya. 

Setelah melakukan pengecekan dan USG. Ternyata Naira dinyatakan positif hamil. Bahkan usia kandungannya saat ini sudah menginjak satu bulan lebih. Hal itu membuat Naira bingung. Padahal dirinya menikah baru 1 bulan   Tapi bagaimana mungkin dia sudah dinyatakan positif hamil 5 Minggu atau satu bulan lebih Sedangkan dirinya pertama kali di sentuh oleh suaminya sehari setelah menikah.

"Dokter, kok saya hamil 5 Minggu. Saya menikah baru 1 Bulan?" tanya Naira dia memang tidak tahu apapun tentang kehamilan.

"Begini, Ibu Naira. Perhitungan kehamilan bukan di hitung dari pertama kali berhubungan badan. Tapi di hitung dari terakhir kali ketika haid ya."

Rendra yang mendengar penjelasan dokter pun mengangguk dan merasa lega. Dia juga sempat berpikir jika anak yang ada di dalam kandungan Naira itu bukan anaknya karena usianya sudah menginjak satu bulan lebih sedangkan mereka menikah baru 1 bulan. Tapi pada akhirnya dia tersenyum lega dan bahagia.

"Terimakasih, Dokter," ucap Naira. Dari raut wajahnya, sama sekali tidak ada kebahagiaan terlihat di wajahnya atas kabar kehamilannya.

"Ini adalah resep obat serta vitamin yang harus di tebus. Usahakan setiap bulan rutin melakukan pengecekan ya. Biar kita bisa tau keadaan si janin. Apalagi, Ibu Naira termasuk muda. Di khawatirkan ada sesuatu yang terjadi tidak diinginkannya."

Tidak ada sambutan bahagia atau pelukan seperti suami istri lainnya ketika mendapat kabar sang istri hamil. Rendra hanya meliriknya sekilas dan tersenyum. Hanya itu tidak ada yang lain. 

Karena apa yang sudah menjadi tujuannya akan tercapai. Harta warisan yang memang sudah menjadi haknya itu akan benar-benar jatuh ke tangannya. Namun ada satu hal lagi yang harus diperhatikannya. Yaitu, anak yang dilahirkan oleh Naira harus anak laki-laki

Jika tidak, harta warisannya akan di alihkan 20% kepada ibu tirinya. Tentu, dia tidak ingin satu persen sekalipun, harta peninggalan ibunya itu jatuh pada orang lain.

Sesampainya di rumah besar. Rendra langsung saja membantu Naira turun dan menggandengnya. Dia tidak akan membiarkan Naira berjalan ke sana kemari untuk melihat sesuatu. Tugas Naira hanya satu. Melahirkan anak untuknya bukan yang lain lagi.

"Bi Nimah!" panggil Rendra pada pelayan yang akan merawat Naira sampai Naira melahirkan nanti.

"Iya, Tuan."

Bi Nimah langsung saja berlari menghampiri Rendra dan juga Naira.

"Bibi, saat ini. Naira sedang hamil. Aku mau bibi memperhatikannya. Makanan serta gizi yang sehat. Pastikan dia tidak melakukan pekerjaan berat."

"Alhamdulillah, Tuan. Selamat ya, Tuan Rendra sebentar lagi akan memiliki anak dan menjadi seorang Ayah."

"Terimakasih, Bi. Saya titip Naira. Jangan sampai ada yang mencoba mendekatinya atau menyakitinya. Kalau ada sesuatu tolong beritahu saya."

"Baik, Tuan."

"Kalau begitu saya pamit, saya harus pergi ke kantor."

Setelah memastikan Naira sampai di paviliun dengan selamat dan juga baik. Rendra pun memutuskan untuk pergi ke kantor. Mungkin malam ini dia akan mengumumkan tentang kehamilan Naira dan rencana pernikahannya bersama dengan Bianca. Dia juga akan bersiap menyewa pengacara untuk perceraiannya dengan Naira serta hak asuh anak.

Sementara Naira, menundukkan kepalanya. Melihat perutnya yang masih rata. Entah dia tidak tahu apa yang di rasakannya sekarang, haruskah dia bahagia atas kehamilannya atau bersedih.

Dia belum siap hamil, apalagi dia mengetahui sebuah fakta jika suaminya sudah memiliki kekasih dan berencana akan menikah. Lalu bagaimana dengan masa depannya. Bagaimana dengan kehidupannya nanti. 

"Kenapa kamu hadir begitu cepat. Kenapa kamu harus hadir diantara keluarga yang sama sekali tidak memikirkan kebahagiaanmu."

Naira memejamkan matanya sejenak. Lalu membukanya secara perlahan.

"Non Naira yang sabar ya. Saya yakin, Tuan Rendra akan semakin perhatian dan mencintai Non Naira."

"Aku tidak butuh cintanya, Bi. Aku butuh kebebasan dari ini semua."

Naira berjalan dan meninggalkan Bi Nimah di luar dan memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Batinnya lelah, tidak ada teman atau seseorang yang bisa menjadi sandarannya.

Di lain tempat, tepatnya di sebuah apartemen. Terlihat seorang wanita yang sedang menangis di pelukan kekasihnya. Suasana terlihat sangat memanas ketika sang kekasih mengungkapkan sebuah fakta yang menyakitkan.

"Kamu jahat, Rendra! Kamu jahat!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status