Share

Bab 3. Perebutan warisan

Beberapa hari ini Naira hanya bisa diam dan termenung atas apa yang terjadi dengan dirinya. Namun hari ini, Naira sadar. Kenapa pintu kamarnya selalu dikunci setelah pelayan mengantarkan makan untuknya. Dia bukan burung yang di kurung tidak boleh kemana-mana. Yang hanya dikasih makan minum dan tempat tinggal. Meskipun semuanya tercukupi. Tapi tidak membuat si burung bahagia.

"Non, ini makanannya. Bibi ambil piring sama pakaian kotornya ya," ucap pelayan yang setiap harinya mengantarkan makanan untuknya.

"Bi, boleh Naira bertanya?"  Naira menatap lekat pelayan yang diperkirakan seusia ibunya.

"Boleh," balasnya.

"Kenapa setiap kali Bibi pergi. Pintunya selalu dikunci?" tanya Naira. 

Naira turun dari atas ranjangnya dan menghampiri pelayan yang berusia 40 tahunan itu.

"Maaf, Non. Soal itu Bibi gak bisa jawab. Bibi hanya menuruti apa kata, Tuan Rendra."

Naira yang mendengar itu menunduk lesu.

"Bi, izinkan aku keluar ya," pinta Naira.  Dia menggenggam tangan wanita itu dengan memohon.

"Maaf, Non. Bibi gak bisa."

Naira yang mendengar itu mendesah kecewa. 

"Jika, Non ingin keluar. Bisa minta izin sama tuan Rendra langsung."

Naira menggelengkan kepalanya. Dia tidak yakin jika suaminya akan mengizinkan dirinya keluar.

Bruk

Tiba-tiba saja terdengar suara pintu digedor dengan keras. Naira yang mendengar itu tersentak kaget. 

"Bi, apa itu Mas Rendra?" Tanya Naira. Ia menyatukan kedua tangannya di dada. Ada rasa takut dalam dirinya ketika mengingat Rendra ketika pertama kalinya menyentuhnya dengan kasar.

"Biar saya lihat dulu, Non. Takutnya itu bukan, Tuan."

Naira mengangguk. Dia berdo'a. Jika yang datang itu bukan suaminya.

Sementara Bi Nimah mengintip di balik jendela kamar Naira. Ketika melihat wanita yang selama ini selalu berselisih paham dengan Rendra pun Bi Nimah segera menutupnya.

"Aduh, Nyonya besar kenapa ke sini lagi?" tanya Bi Nimah dengan penuh rasa takut.

"Aku harus segera menghubungi, Tuan Rendra." Bi Nimah pun segera mengirim pesan suara melalui W******p kepada Rendra.

"Bi, siapa?" tanya Naira. Dia berjalan dan mendekat Bi Nimah dan ikut melihat siapa yang datang.

Melihat raut wajah dari pelayan kepercayaan suaminya. Naira menembak jika yang datang bukanlah suaminya. Melainkan orang lain tidak yang di izinkan untuk menemuinya.

Pada saat Naira mengintai di balik jendela kamarnya dia melihat wanita yang menggedor pintu kamar paviliunnya. Wanita setengah baya namun terlihat masih cantik itu terlihat begitu marah. Entah ada masalah apa. Naira tidak tahu.

"HEI KELUAR KAMU!" Teriak wanita itu dari luar.

"Bi, aku buka pintunya ya?" tanya Naira.

"Jangan, Non!" cegah Bi Nimah cepat.

"Sebentar lagi, Tuan Rendra akan datang.  Non Naira di sini aja."

"Tapi, Bi. Itu...."

Perkataan Naira terpotong ketika dia mendengar suara orang yang sedang bertengkar. Ia begitu penasaran apa yang terjadi diluar sana.

"Bi!" panggil Naira.

"Sebentar, Non. Bibi mau liat dulu."

"Tuan Rendra sudah datang," kata Bi Nimah pelan.

Di luar paviliun Naira. Terlihat Rendra yang sudah datang. Dia begitu marah melihat Ibu tirinya berada di depan kamar Naira.

"Apa yang kau lakukan di sini wanita tua!" ucap Rendra dengan penuh penekanan.

"Kau tidak sopan sekali! Aku ini adalah Ibumu!" teriaknya kasar.

"Dengar ini, wanita tua. Aku bukan anakmu dan kau juga bukan Ibuku. Jadi pergilah dari sini!" usir Rendra.

"Aku tidak akan pergi sebelum menemui wanita yang kau sembunyikan di dalam sana!" ucap wanita yang disebut Rendra sebagai wanita tua.

"Jangan kau urusi urusanku. Pergi!"

"Tidak akan!"

"Kau!" bentak Rendra. Dia dengan berani menyeret wanita yang mengaku sebagai ibunya itu.

"Pergi!" Rendra dengan kasar mendorong wanita tersebut. 

Naira yang melihat perlakuan kasar Rendra terhadap ibunya sendiri pun merasa benci pada suaminya sendiri.

"Ya, Allah. Kenapa kau memberikan aku jodoh yang kasar seperti dirinya." keluh Naira.

"Tuan Rendra itu adalah pria yang baik. Tegas dan juga jujur. Dia juga sangat disiplin dalam hal apapun. Karena itu adalah yang diajarkannya Ayah dan kakeknya."

"Tapi aku melihatnya tidak seperti itu, Bi. Dia pria yang kasar!" cela Naira.

"Non, kalau sudah mengenal Tuan. Pasti akan merasa senang," belanya.

"Terserah, Bibi. Mata kita melihatnya berbeda. Mungkin dia menjadi Tuan yang baik untuk para pekerjanya. Tapi dia laki-laki yang sangat buruk untuk menjadi seorang suami."

Di luar paviliun Rendra mengepalkan tangannya erat. Dia tidak suka dengan cara wanita yang mengaku ibunya ikut campur dengan urusannya. Dia yakin ada sesuatu yang direncanakannya. Ia pun langsung saja pergi ke rumah utama. Niat ingin menemui Naira harus di urungkannya.

"Selamat datang, Tuan muda." sapa para pelayan yang melihat Rendra.

"Hm," jawab Rendra. Dia melewati para pelayan itu tanpa menoleh ke arah mereka.

"Rendra, kau sudah pulang," sambut laki-laki tua yang jalannya sudah membungkuk.

"Ayah," ucap Rendra. Dia duduk disebelah ayahnya yang saat ini tengah duduk di ruang tamu.

"Ada apa?"

"Aku tidak suka jika ada yang ikut campur dalam urusanku."

"Ada apa lagi, Rendra."

"Katakan pada istrimu. Apapun yang aku lakukan, jangan pernah dia ikut campur."

"Tidak, Raffi. Anakmu ini dia diam-diam menikah lagi dan membawa wanita asing ke rumah ini!" seru sang istri.

"Siapapun yang aku bawa itu bukan urusanmu!"

"Tentu saja ini urusanku. Bagaimanapun, aku juga bagian dari keluarga ini. Kenapa kau sama sekali tidak menghargainya."

"Aku tau niat busukmu. Jadi, aku tidak akan membiarkan kau menemui istriku Sebelum dia melahirkan seorang pewaris sesungguhnya untuk keluarga ini!" Seru Rendra.

"Kau yakin. Sudah menikahi wanita itu secara legal?" tanyanya.

"Kalian akan lihat buktinya nanti."

Rendra menatap dengan sungguh-sungguh. Hal itu membuat wanita  paru baya itu mengepalkan tangannya erat.

"Kita lihat saja nanti. Apa kau yakin wanita itu akan melahirkan pewaris atau tidak. Ingat, kau hanya diberikan satu tahun saja untuk memenuhi syarat itu."

"Kenapa kau sibuk mengurusiku. Kenapa kau tidak mengurusi putramu yang sudah gagal menjadikan anaknya pewaris di keluarga ini," Rendra memandang Ibu tirinya sinis.

"Kau!"

"Sudah!" ucap laki-laki yang menjadi suami dan juga ayah yang saat ini tengah berdebat.  Laki-laki itu benar-benar pusing mendengar perdebatan keduanya.

Setiap kali ada pertemuan. Hanya ada perdebatan, dan tidak jauh-jauh dari harta warisan yang akan ia berikan kepada cucu pertamanya yang hasil dari pernikahan anak-anaknya dalam ikatan pernikahan.

Karena kedua anaknya sama-sama lahir sebelum ada ikatan pernikahan. Karena hal itu mereka tidak memiliki hak waris itu. Hingga akhirnya, ayahnya atau kakeknya Rendra meminta untuk mewariskan seluruh harta keluarga pada cucu pertamanya yang sah dalam ikatan perkawinan antar negara dan agama.

Akan tetapi anak dari istri keduanya dia telah gagal karena sudah lebih dulu menghamili wanita.

"Pokonya, jika dalam satu tahun wanita itu tidak memberikan Rendra keturunan. Seluruh harta kekayaan milikmu, mas. Jatuh sama anaknya Rendy."

"Itu tidak akan pernah terjadi!" ucap Rendra dengan penuh keyakinan.

"Laras!" panggil Raffi. 

"Apa, Mas."

"Jangan ganggu, Rendra. Jika dia sudah berhasil kau harus menerimanya."

Wanita yang bernama Laras itu mengepalkan tangannya erat. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Seperti sebelumnya dia sudah membuat kekasih Rendra tidak bisa hamil maka dia akan membuat hal yang sama pada istri Rendra.

"Aku yakin, Mas. Jika sebenarnya Rendra ini mandul. Bukan istri pertamanya."

"Aku tidak mandul!" ucap Rendra tidak terima.

"Tidak mandul tapi lama sudah menikah tidak punya anak."

Rendra dan Laras saling memandang satu sama lain. Saling melemparkan tatapan sinis. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status