Beberapa hari ini Naira hanya bisa diam dan termenung atas apa yang terjadi dengan dirinya. Namun hari ini, Naira sadar. Kenapa pintu kamarnya selalu dikunci setelah pelayan mengantarkan makan untuknya. Dia bukan burung yang di kurung tidak boleh kemana-mana. Yang hanya dikasih makan minum dan tempat tinggal. Meskipun semuanya tercukupi. Tapi tidak membuat si burung bahagia.
"Non, ini makanannya. Bibi ambil piring sama pakaian kotornya ya," ucap pelayan yang setiap harinya mengantarkan makanan untuknya.
"Bi, boleh Naira bertanya?" Naira menatap lekat pelayan yang diperkirakan seusia ibunya.
"Boleh," balasnya.
"Kenapa setiap kali Bibi pergi. Pintunya selalu dikunci?" tanya Naira.
Naira turun dari atas ranjangnya dan menghampiri pelayan yang berusia 40 tahunan itu.
"Maaf, Non. Soal itu Bibi gak bisa jawab. Bibi hanya menuruti apa kata, Tuan Rendra."
Naira yang mendengar itu menunduk lesu.
"Bi, izinkan aku keluar ya," pinta Naira. Dia menggenggam tangan wanita itu dengan memohon.
"Maaf, Non. Bibi gak bisa."
Naira yang mendengar itu mendesah kecewa.
"Jika, Non ingin keluar. Bisa minta izin sama tuan Rendra langsung."
Naira menggelengkan kepalanya. Dia tidak yakin jika suaminya akan mengizinkan dirinya keluar.
Bruk
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu digedor dengan keras. Naira yang mendengar itu tersentak kaget.
"Bi, apa itu Mas Rendra?" Tanya Naira. Ia menyatukan kedua tangannya di dada. Ada rasa takut dalam dirinya ketika mengingat Rendra ketika pertama kalinya menyentuhnya dengan kasar.
"Biar saya lihat dulu, Non. Takutnya itu bukan, Tuan."
Naira mengangguk. Dia berdo'a. Jika yang datang itu bukan suaminya.
Sementara Bi Nimah mengintip di balik jendela kamar Naira. Ketika melihat wanita yang selama ini selalu berselisih paham dengan Rendra pun Bi Nimah segera menutupnya.
"Aduh, Nyonya besar kenapa ke sini lagi?" tanya Bi Nimah dengan penuh rasa takut.
"Aku harus segera menghubungi, Tuan Rendra." Bi Nimah pun segera mengirim pesan suara melalui W******p kepada Rendra.
"Bi, siapa?" tanya Naira. Dia berjalan dan mendekat Bi Nimah dan ikut melihat siapa yang datang.
Melihat raut wajah dari pelayan kepercayaan suaminya. Naira menembak jika yang datang bukanlah suaminya. Melainkan orang lain tidak yang di izinkan untuk menemuinya.
Pada saat Naira mengintai di balik jendela kamarnya dia melihat wanita yang menggedor pintu kamar paviliunnya. Wanita setengah baya namun terlihat masih cantik itu terlihat begitu marah. Entah ada masalah apa. Naira tidak tahu.
"HEI KELUAR KAMU!" Teriak wanita itu dari luar.
"Bi, aku buka pintunya ya?" tanya Naira.
"Jangan, Non!" cegah Bi Nimah cepat.
"Sebentar lagi, Tuan Rendra akan datang. Non Naira di sini aja."
"Tapi, Bi. Itu...."
Perkataan Naira terpotong ketika dia mendengar suara orang yang sedang bertengkar. Ia begitu penasaran apa yang terjadi diluar sana.
"Bi!" panggil Naira.
"Sebentar, Non. Bibi mau liat dulu."
"Tuan Rendra sudah datang," kata Bi Nimah pelan.
Di luar paviliun Naira. Terlihat Rendra yang sudah datang. Dia begitu marah melihat Ibu tirinya berada di depan kamar Naira.
"Apa yang kau lakukan di sini wanita tua!" ucap Rendra dengan penuh penekanan.
"Kau tidak sopan sekali! Aku ini adalah Ibumu!" teriaknya kasar.
"Dengar ini, wanita tua. Aku bukan anakmu dan kau juga bukan Ibuku. Jadi pergilah dari sini!" usir Rendra.
"Aku tidak akan pergi sebelum menemui wanita yang kau sembunyikan di dalam sana!" ucap wanita yang disebut Rendra sebagai wanita tua.
"Jangan kau urusi urusanku. Pergi!"
"Tidak akan!"
"Kau!" bentak Rendra. Dia dengan berani menyeret wanita yang mengaku sebagai ibunya itu.
"Pergi!" Rendra dengan kasar mendorong wanita tersebut.
Naira yang melihat perlakuan kasar Rendra terhadap ibunya sendiri pun merasa benci pada suaminya sendiri.
"Ya, Allah. Kenapa kau memberikan aku jodoh yang kasar seperti dirinya." keluh Naira.
"Tuan Rendra itu adalah pria yang baik. Tegas dan juga jujur. Dia juga sangat disiplin dalam hal apapun. Karena itu adalah yang diajarkannya Ayah dan kakeknya."
"Tapi aku melihatnya tidak seperti itu, Bi. Dia pria yang kasar!" cela Naira.
"Non, kalau sudah mengenal Tuan. Pasti akan merasa senang," belanya.
"Terserah, Bibi. Mata kita melihatnya berbeda. Mungkin dia menjadi Tuan yang baik untuk para pekerjanya. Tapi dia laki-laki yang sangat buruk untuk menjadi seorang suami."
Di luar paviliun Rendra mengepalkan tangannya erat. Dia tidak suka dengan cara wanita yang mengaku ibunya ikut campur dengan urusannya. Dia yakin ada sesuatu yang direncanakannya. Ia pun langsung saja pergi ke rumah utama. Niat ingin menemui Naira harus di urungkannya.
"Selamat datang, Tuan muda." sapa para pelayan yang melihat Rendra.
"Hm," jawab Rendra. Dia melewati para pelayan itu tanpa menoleh ke arah mereka.
"Rendra, kau sudah pulang," sambut laki-laki tua yang jalannya sudah membungkuk.
"Ayah," ucap Rendra. Dia duduk disebelah ayahnya yang saat ini tengah duduk di ruang tamu.
"Ada apa?"
"Aku tidak suka jika ada yang ikut campur dalam urusanku."
"Ada apa lagi, Rendra."
"Katakan pada istrimu. Apapun yang aku lakukan, jangan pernah dia ikut campur."
"Tidak, Raffi. Anakmu ini dia diam-diam menikah lagi dan membawa wanita asing ke rumah ini!" seru sang istri.
"Siapapun yang aku bawa itu bukan urusanmu!"
"Tentu saja ini urusanku. Bagaimanapun, aku juga bagian dari keluarga ini. Kenapa kau sama sekali tidak menghargainya."
"Aku tau niat busukmu. Jadi, aku tidak akan membiarkan kau menemui istriku Sebelum dia melahirkan seorang pewaris sesungguhnya untuk keluarga ini!" Seru Rendra.
"Kau yakin. Sudah menikahi wanita itu secara legal?" tanyanya.
"Kalian akan lihat buktinya nanti."
Rendra menatap dengan sungguh-sungguh. Hal itu membuat wanita paru baya itu mengepalkan tangannya erat.
"Kita lihat saja nanti. Apa kau yakin wanita itu akan melahirkan pewaris atau tidak. Ingat, kau hanya diberikan satu tahun saja untuk memenuhi syarat itu."
"Kenapa kau sibuk mengurusiku. Kenapa kau tidak mengurusi putramu yang sudah gagal menjadikan anaknya pewaris di keluarga ini," Rendra memandang Ibu tirinya sinis.
"Kau!"
"Sudah!" ucap laki-laki yang menjadi suami dan juga ayah yang saat ini tengah berdebat. Laki-laki itu benar-benar pusing mendengar perdebatan keduanya.
Setiap kali ada pertemuan. Hanya ada perdebatan, dan tidak jauh-jauh dari harta warisan yang akan ia berikan kepada cucu pertamanya yang hasil dari pernikahan anak-anaknya dalam ikatan pernikahan.
Karena kedua anaknya sama-sama lahir sebelum ada ikatan pernikahan. Karena hal itu mereka tidak memiliki hak waris itu. Hingga akhirnya, ayahnya atau kakeknya Rendra meminta untuk mewariskan seluruh harta keluarga pada cucu pertamanya yang sah dalam ikatan perkawinan antar negara dan agama.
Akan tetapi anak dari istri keduanya dia telah gagal karena sudah lebih dulu menghamili wanita.
"Pokonya, jika dalam satu tahun wanita itu tidak memberikan Rendra keturunan. Seluruh harta kekayaan milikmu, mas. Jatuh sama anaknya Rendy."
"Itu tidak akan pernah terjadi!" ucap Rendra dengan penuh keyakinan.
"Laras!" panggil Raffi.
"Apa, Mas."
"Jangan ganggu, Rendra. Jika dia sudah berhasil kau harus menerimanya."
Wanita yang bernama Laras itu mengepalkan tangannya erat. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Seperti sebelumnya dia sudah membuat kekasih Rendra tidak bisa hamil maka dia akan membuat hal yang sama pada istri Rendra.
"Aku yakin, Mas. Jika sebenarnya Rendra ini mandul. Bukan istri pertamanya."
"Aku tidak mandul!" ucap Rendra tidak terima.
"Tidak mandul tapi lama sudah menikah tidak punya anak."
Rendra dan Laras saling memandang satu sama lain. Saling melemparkan tatapan sinis.
Naira menutup seluruh tubuhnya yang polos tanpa sehelai benangpun. Setelah melayani suaminya. Naira tidak berkata apa-apa lagi. Hanya ada rasa lelah baik batin maupun fisik. "Besok kita akan ke rumah sakit." "Untuk apa?" tanya Naira. Wajahnya ia tenggelamkan di bantal empuknya. Sedangkan Rendra dia merapihkan dirinya, bersiap untuk pergi. "Untuk memeriksa apa kau sudah hamil atau belum." Naira memegang selimutnya dengan erat. "Kita menikah baru 1 bulan, apa mungkin aku hamil secepat itu?" tanya Naira dengan suara pelan Rendra melirik istrinya yang tertutup selimut. "Meskipun baru 1 bulan. Kita sudah bisa tau kau sudah hamil atau belum." Naira mengetatkan rahangnya. Ia berdo'a jika dia tidak hamil sampai satu tahun ke depan. "Aku tidak akan hamil," ujar Naira. "Jangan memancing amarahku, Naira." "Kenapa? Kau tidak terima." "Dokter mengatakan kau adalah wanita subur, siklus datang bulanmu lebih cepat dari wanita kebanyakan. Bisa dipastikan, sekarang anakku tumbuh di rahmimu."
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Naira hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!" Bianca meradang mendengar pembelaan Rendra terhadap Naira."Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki, tanpa harus aku menikah lagi." Rendra berusaha menjelaskan.Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahag
Naira yang merasakan sakit di pergelangan tangannya pun melihat wajah suaminya dengan penuh tanya. "Kenapa, Mas. Marah?" tanya Naira. "Aku itu suami kamu, harusnya kamu tidak berkata seperti itu!" Rendra tidak suka dengan keberanian Naira. Naira tertawa. "Kenapa aku tidak boleh berkata seperti itu, bukankah tadi kamu bilang sendiri, Mas. Jika aku tidak boleh mengharapkan kamu pulang. Lalu kenapa sekarang jawabanku salah." "Aku adalah suamimu, harusnya kamu menghargaiku seperti istri yang lainnya. Kamu sangat berbeda dengan…." Rendra menggantung ucapannya. Hampir saja dia mengatakan Bianca sebagai istrinya di hadapan Naira. "Untuk apa aku menghargaimu, Mas. Jika kamu sendiri tidak mau menghargaiku sebagai istri. Lalu aku sangat berbeda dengan siapa? kekasihmu? Tentu saja kami berbeda." Naira berusaha melepaskan diri dari cengkraman suaminya. Rendra menghempaskan tangan Naira yang sudah memerah. "Sudahlah, aku tidak mau berbicara denganmu. Kamu itu wanita kampung dan sialan." Ti
Rendra tidak tahu harus bagaimana lagi cara menghadapi wanita tua yang ada di hadapannya. Haruskah dirinya membawa Naira pergi dari rumah ini seperti dirinya membawa Bianca pergi agar kesehatan mentalnya aman. "Berhenti ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Jika kau terus melakukan hal itu. Aku tidak akan segan-segan menyakitimu. Aku tidak peduli jika kau adalah istri dari ayahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun merasa sedikit takut. Saat ini dirinya tidak memiliki kekuasaan apapun termasuk harta akan tetapi Laras tidak akan berhenti sampai Rendra gagal mendapatkan seorang pewaris. "Aku tidak akan mengganggu wanita itu jika saja kamu tidak membawa wanita kampung itu." Rendra mengangkat tangannya, ia memberikan sebuah tanda kepada Laras untuk diam. "Diam atau akan aku pastikan. Jika mulai besok kau dan anakmu itu pergi dari rumahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun sama sekali tidak takut karena dengan istri kedua Rendra pergi meninggalkan paviliun dan bayi it
Rendra tidak menjawab pertanyaan Naira. Dirinya memilih turun dan memutuskan untuk meminta mangga muda tersebut. Dengan resiko menanggung malu. Sedangkan Naira yang melihat suaminya berusaha mendapatkan mangga yang diinginkannya pun seketika perasaannya menjadi sensitif. Ada rasa haru dalam dadanya padahal beberapa saat yang lalu dirinya tidak peduli dengan apa yang Rendra lakukan. Mungkin karena bawaan bayi yang ada di dalam perutnya. "Ada apa dengan perasaanku. Kenapa melihat mas Rendra yang berusaha mencari mangga muda untukku kenapa hatiku merasa senang? Jangan Naira. Jangan mudah terbawa perasaan." "Permisi!" "Permisi!" sejak lagi Rendra mencoba memanggil pemilik rumah yang terdapat buah mangga tersebut. "Iya, selamat siang, Pak. Ada yang bisa di bantu," suara seorang wanita berpakaian rumahan menyaut ucapan permisi Rendra. "Maaf apakah Ibu ini adalah pemilik rumah ini. Jika iya saya ingin membeli mangga muda punya Ibu boleh?" tanya Rendra bersikap baik. "Maaf, Pak. Ini bu
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Nayla hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!""Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki anak tanpa harus aku menikah lagi."Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka."K
"Mas…." Naira mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan Rendra."Apa?" "Aku ingin kita bicara.""Aku sibuk.""Kalau Mas sibuk, kita bisa bicara di sini."Rendra melirik Naira sekilas. "Memangnya apa yang kamu bicarakan sampai mau bicara di sini.""Aku ingat membicarakan tentang rumah tangga kita.""Untuk apa di bicarakan, bukankah kita sudah membahasnya ketika malam pernikahan kita.""Tapi…""Kita pergi ke restoran terdekat. Kita akan bicara di sana."Naira tersenyum karena pada akhirnya Naira Rendra mau bicara dengan dirinya. Setelah mencari restoran terdekat sekalian makan siang dan ini adalah untuk pertama kalinya mereka makan bersama sebagai pasang suami istri."Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Rendra ketika mereka sudah sampai di restoran. Sambil menunggu pesanan mereka sampai akhirnya Rendra memutuskan untuk bertanya apa yang ingin Naira bicarakan."Mas, aku tahu kamu tidak mencintaiku sebagai istri. Begitu juga dengan aku yang belum mencintaimu, aku tahu mas juga pernah
"Bi, buka pintunya!" seru Rendra. Dari luar. Bi Nimah yang mendengar itu pun berjalan tergopoh-gopoh membuka pintu untuk Rendra. "Bi, bagaimana dengan keadaan Naira?" tanya Rendra. "Non, Naira badannya panas terus saja memanggil Ibunya." Penjelasan Bi Nimah membuat Rendra menghembuskan nafasnya kasar. Lalu dia pun berjalan pelan menghampiri istri keduanya. Duduk di tepi ranjang, lalu memegang kening Naira yang ternyata panas. "Kita bawa ke rumah sakit aja, Bi. Tolong siapkan perlengkapannya. Takutnya nanti dirawat di rumah sakit." "Baik Tuan." Rendra langsung saja menggendong tubuh Naira dan di bawahnya keluar. Hal itu tidak luput dari perhatian dari Laras. "Ada apa dengan, istri kedua Rendra. Apakah dia sakit, kalau memang benar. Baguslah biar sekalian anak yang ada di dalam kandungannya mati," ucapnya tanpa perasaan. Rendra mendudukan Naira di belakang, tidak lupa Ia juga memakaikan seat belt untuk keamanan Naira. "Ibu…" "Naira tenanglah, kamu pasti baik-baik saja," ucap R