Hai udah lama aku ga up ya insyaallah bulan Maret aku up tiap hari gak janji tapi akan diusahakan
"Darimana kamu Mas? ? Kenapa semalam gak pulang?" cerca Bianca pada saat Rendra baru pulang."Dari apartemen Naira." Rendra mengatakan itu dengan tanpa rasa bersalah."Wow! Gampang banget ya jawaban kamu. Dari apartemen Naira.""Kamu itu punya otak gak sih, Mas. Sudah tahu Naira itu bersalah karena sudah mencoba mencelakai Keyla. Tapi kenapa tetap saja mempertahankan wanita itu hah!" teriak Bianca."Ini masih pagi. Aku tidak ingin ribut, aku harus cepat-cepat pergi ke kantor.""Tidak, aku ingin kita bicara. Aku mau kita selesaikan masalah kamu sama Naira sekarang juga!" "Sudah aku katakan, pagi ini aku tidak ingin bertengkar. Lain kali kita akan membicarakan soal masalah ini.""Arghhh!" Bianca melempar vas bunga yang ada di meja.Rendra yang melihat itu hanya meliriknya sekilas dan masuk ke dalam kamar mereka lalu mengganti pakaiannya. Hari ini adalah hari terbaik menurut Rendra setelah apa yang terjadi semalam. Untuk itu Rendra tidak ingin merusak harinya dengan bertengkar bersama d
"Kata, Bi Sari. Kamu bukan gadis kampung yang bodoh. Artinya kau tahu apa kewajibanmu sebagai seorang istri." Malam ini adalah malam pertama Naira dan suaminya. Naira menatap suaminya dengan lekat. Mereka baru pertama kali bertemu. Nama pun baru ia ketahui saat izab kabul tadi pagi. Apakah suaminya tidak ingin memberinya waktu. "Maaf, Mas. Apa kamu tidak ingin memberi waktu untuk hubungan kita. Menurutku, kita menikah terlalu cepat. Aku tidak mengenalmu dan kamu tidak mengenalku. Tolong," kata Naira dengan nada suara penuh permohonan. Suami Naira memukul meja dengan keras. Hal itu membuat Naira tersentak kaget. Sampai ia memegang dadanya yang berdetak kencang. "Apa kau bilang meminta waktu. Dengar ini. Kau harus tau apa tujuanku menikah dengan dirimu. Yaitu melahirkan pewaris untuk keluargaku, tidak lebih. Jadi jangan harap, aku akan mencintaimu. Dan dengarkan aku. Sebelum kau memberikan aku anak laki-laki. Aku tidak akan pernah menganggap anak yang kau lahirkan itu anakku jika dia
"Apakah yang aku lakukan sudah benar?" "Semoga saja setelah aku sampai di terminal, aku mendapatkan bis langsung ke terminal." pikir Naira. Naira berlari melewati gerbang tinggi rumah Rendra. Tidak peduli hari sudah sore, kondisi alam pun sedang tidak baik. Perjalanan menuju kampung Naira pun cukup jauh. 2 jam perjalanan ketika kondisi jalanan lancar tanpa macet dari kota ke kampung Naira. Namun karena di tengah jalan hujan. Naira memutuskan untuk berteduh terlebih dahulu. Hingga pukul 8 malam Naira baru sampai. Namun, bukan sambutan hangat yang ia dapatkan. Naira malah di usir oleh ibunya untuk kembali ke rumah Rendra. "Kembali ke rumah suamimu!" titah ibu Naira dengan tegas. Namun, Naira menggelengkan kepalanya. menolak apa yang ibunya perintahkan. Naira tidak ingin kembali pada suaminya. "Ibu. Aku sudah bilang, dia itu pria jahat Bu, tidak punya perasaan. Dia akan meninggalkan aku setelah aku melahirkan anaknya." Naira mohon izinkan Naira masuk." Dengan kondisi yang lelah d
Beberapa hari ini Naira hanya bisa diam dan termenung atas apa yang terjadi dengan dirinya. Namun hari ini, Naira sadar. Kenapa pintu kamarnya selalu dikunci setelah pelayan mengantarkan makan untuknya. Dia bukan burung yang di kurung tidak boleh kemana-mana. Yang hanya dikasih makan minum dan tempat tinggal. Meskipun semuanya tercukupi. Tapi tidak membuat si burung bahagia. "Non, ini makanannya. Bibi ambil piring sama pakaian kotornya ya," ucap pelayan yang setiap harinya mengantarkan makanan untuknya. "Bi, boleh Naira bertanya?" Naira menatap lekat pelayan yang diperkirakan seusia ibunya. "Boleh," balasnya. "Kenapa setiap kali Bibi pergi. Pintunya selalu dikunci?" tanya Naira. Naira turun dari atas ranjangnya dan menghampiri pelayan yang berusia 40 tahunan itu. "Maaf, Non. Soal itu Bibi gak bisa jawab. Bibi hanya menuruti apa kata, Tuan Rendra." Naira yang mendengar itu menunduk lesu. "Bi, izinkan aku keluar ya," pinta Naira. Dia menggenggam tangan wanita itu dengan memoho
Naira menutup seluruh tubuhnya yang polos tanpa sehelai benangpun. Setelah melayani suaminya. Naira tidak berkata apa-apa lagi. Hanya ada rasa lelah baik batin maupun fisik. "Besok kita akan ke rumah sakit." "Untuk apa?" tanya Naira. Wajahnya ia tenggelamkan di bantal empuknya. Sedangkan Rendra dia merapihkan dirinya, bersiap untuk pergi. "Untuk memeriksa apa kau sudah hamil atau belum." Naira memegang selimutnya dengan erat. "Kita menikah baru 1 bulan, apa mungkin aku hamil secepat itu?" tanya Naira dengan suara pelan Rendra melirik istrinya yang tertutup selimut. "Meskipun baru 1 bulan. Kita sudah bisa tau kau sudah hamil atau belum." Naira mengetatkan rahangnya. Ia berdo'a jika dia tidak hamil sampai satu tahun ke depan. "Aku tidak akan hamil," ujar Naira. "Jangan memancing amarahku, Naira." "Kenapa? Kau tidak terima." "Dokter mengatakan kau adalah wanita subur, siklus datang bulanmu lebih cepat dari wanita kebanyakan. Bisa dipastikan, sekarang anakku tumbuh di rahmimu."
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Naira hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!" Bianca meradang mendengar pembelaan Rendra terhadap Naira."Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki, tanpa harus aku menikah lagi." Rendra berusaha menjelaskan.Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahag
Naira yang merasakan sakit di pergelangan tangannya pun melihat wajah suaminya dengan penuh tanya. "Kenapa, Mas. Marah?" tanya Naira. "Aku itu suami kamu, harusnya kamu tidak berkata seperti itu!" Rendra tidak suka dengan keberanian Naira. Naira tertawa. "Kenapa aku tidak boleh berkata seperti itu, bukankah tadi kamu bilang sendiri, Mas. Jika aku tidak boleh mengharapkan kamu pulang. Lalu kenapa sekarang jawabanku salah." "Aku adalah suamimu, harusnya kamu menghargaiku seperti istri yang lainnya. Kamu sangat berbeda dengan…." Rendra menggantung ucapannya. Hampir saja dia mengatakan Bianca sebagai istrinya di hadapan Naira. "Untuk apa aku menghargaimu, Mas. Jika kamu sendiri tidak mau menghargaiku sebagai istri. Lalu aku sangat berbeda dengan siapa? kekasihmu? Tentu saja kami berbeda." Naira berusaha melepaskan diri dari cengkraman suaminya. Rendra menghempaskan tangan Naira yang sudah memerah. "Sudahlah, aku tidak mau berbicara denganmu. Kamu itu wanita kampung dan sialan." Ti
Rendra tidak tahu harus bagaimana lagi cara menghadapi wanita tua yang ada di hadapannya. Haruskah dirinya membawa Naira pergi dari rumah ini seperti dirinya membawa Bianca pergi agar kesehatan mentalnya aman. "Berhenti ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Jika kau terus melakukan hal itu. Aku tidak akan segan-segan menyakitimu. Aku tidak peduli jika kau adalah istri dari ayahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun merasa sedikit takut. Saat ini dirinya tidak memiliki kekuasaan apapun termasuk harta akan tetapi Laras tidak akan berhenti sampai Rendra gagal mendapatkan seorang pewaris. "Aku tidak akan mengganggu wanita itu jika saja kamu tidak membawa wanita kampung itu." Rendra mengangkat tangannya, ia memberikan sebuah tanda kepada Laras untuk diam. "Diam atau akan aku pastikan. Jika mulai besok kau dan anakmu itu pergi dari rumahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun sama sekali tidak takut karena dengan istri kedua Rendra pergi meninggalkan paviliun dan bayi it