Naira yang merasakan sakit di pergelangan tangannya pun melihat wajah suaminya dengan penuh tanya. "Kenapa, Mas. Marah?" tanya Naira.
"Aku itu suami kamu, harusnya kamu tidak berkata seperti itu!" Rendra tidak suka dengan keberanian Naira.
Naira tertawa. "Kenapa aku tidak boleh berkata seperti itu, bukankah tadi kamu bilang sendiri, Mas. Jika aku tidak boleh mengharapkan kamu pulang. Lalu kenapa sekarang jawabanku salah."
"Aku adalah suamimu, harusnya kamu menghargaiku seperti istri yang lainnya. Kamu sangat berbeda dengan…." Rendra menggantung ucapannya. Hampir saja dia mengatakan Bianca sebagai istrinya di hadapan Naira.
"Untuk apa aku menghargaimu, Mas. Jika kamu sendiri tidak mau menghargaiku sebagai istri. Lalu aku sangat berbeda dengan siapa? kekasihmu? Tentu saja kami berbeda." Naira berusaha melepaskan diri dari cengkraman suaminya.
Rendra menghempaskan tangan Naira yang sudah memerah. "Sudahlah, aku tidak mau berbicara denganmu. Kamu itu wanita kampung dan sialan." Tidak ingin terus berdebat dengan Naira dan bisa saja membongkar statusnya sebagai suami orang. Rendra memutuskan untuk kembali saja ke rumah utama.
"Aku wanita kampung dan sialan, lalu untuk apa kamu memintaku untuk melayanimu. Melahirkan anak untukmu? Kenapa?" Naira marah dengan ucapan Rendra yang selalu saja mengatakan dirinya wanita kampungan. apa yang salah dengan wanita kampung seperti dirinya. Apakah wanita kota dan wanita desa itu berbeda. Lalu apa bedanya? Bukankah mereka sama-sama seorang wanita.
"Sudah aku katakan diam!" Rendra menaikkan nada suaranya satu oktaf. Meminta Naira untuk tidak membalas ucapannya.
"Kamu itu wanita yang terlalu banyak bicara. Aku sangat membenci wanita seperti itu!" Rendra memutuskan untuk kembali keluar dari paviliun itu. Dan memilih untuk pergi ke rumah utama.
Naira yang melihat itu, tidak peduli. Naira memutuskan untuk duduk di ranjangnya dan kembali menangis dengan nasibnya yang tidak beruntung karena memiliki suami yang tidak mencintainya.
"Assalamualaikum, Nona Naira."
Naira tidak mendengar suara Bi Nimah pun segera menghapus air matanya. "Bi Nimah…"
"Iya, Non."
"Aku ingin makan sesuatu." Naira mengutarakan keinginannya yang sejak tadi ditahannya. Dia tidak berani mengatakan bahwa dia menginginkan buah mangga muda kepada Rendra suaminya.
"Nona ingin makan apa, biar Bibi buatkan."
"Naira tidak ingin makanan, Naira ingin mangga muda aja, Bi. Bolehkan Naira pergi keluar untuk nyari."
"Non, kenapa gak bilang sama Tuan Rendra saja. Kalau Non Naira ingin makan mangga muda. Mungkin Tuan Rendra bisa mencarikannya."
"Tidak, Bi. Naira tidak mau. Naira ingin cari sendiri." Naira menolak jika harus memberitahu keinginannya yang ingin makan mangga muda pada suaminya yang arogan itu.
Bi Nimah gelisah mendengar keinginan Naira yang ingin keluar. Mungkin kalau Naira tidak hamil. Mungkin Bi Nimah akan melarangnya. Namun ini pilihan yang sulit karena wanita hamil sangat sensitif jika keinginannya tidak terpenuhi.
"Baiklah kalau begitu. Kita cari sama-sama mangga mudanya. Gak mungkin Bibi biarkan Non Naira pergi keluar sendiri. Nanti yang ada Tuan Rendra marah."
Naira merasa senang ketika Bi Nimah akan mengantar dirinya keluar untuk mencari mangga muda.
"Terimakasih, Bi. Hanya bibi di sini yang bisa membuat aku merasa senang!" ucap Naira sambil memeluk Bi Nimah.
"Ya sudah kalau begitu kita siap-siap sekarang."
Naira menganggukkan kepalanya. Naira pun segera berganti pakaian untuk pergi keluar. Saat Naira berganti pakaian. Bi Nimah pun tidak ingin membuat kesalahan dengan pergi begitu saja tanpa meminta izin tuanya.
Saat Rendra berada di kamarnya tepatnya di rumah utama. Rendra mendapat pesan dari asisten rumah tangganya yang khusus untuk menjaga Naira memberikan informasi jika saat ini Naira ingin pergi keluar untuk mencari mangga muda. Siklus ngidam yang biasa wanita hamil lewati.
"Merepotkan sekali," ucap Rendra. Ia segera membuka kancing kemejanya dengan capat lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sementara Bi Ni'mah saat ini merasa gelisah karena belum mendapat balasan dari Rendra tentang mereka yang akan keluar untuk mencari mangga muda.
"Bi, Naira sudah siap. Kita bisa pergi kan sekarang. Naira udah gak sabar banget pengen makan mangga muda."
Bi Nimah dengan perasaan gugup akhirnya menganggukan kepalanya. "Ayo, Non."
Saat Naira untuk pertama kalinya keluar dari paviliun setelah beberapa waktu yang lalu tidak keluar karena tidak ada izin Rendra. Naira merasa senang karena bisa menghirup udara segar.
Namun pada saat Naira berjalan untuk keluar lewat pintu gerbang belakang. Di sana sudah ada seorang wanita paruh baya berdiri di sana.
"Akhirnya, kamu keluar juga," ucapnya dengan sinis sambil berkacak pinggang.
Naira yang pertama kali berhadapan dengan ibu tiri Rendra pun merasa takut. Naira pernah melihat ibu tiri Rendra tapi untuk berhadapan langsung ini adalah kali pertamanya.
"Nyonya…" Bi Nimah menunduk ketakutan ketika berhadapan langsung dengan Laras. Istri dari Tuan besarnya.
"Wanita murahan."
Deg
Hati Naira terasa perih ketika disebut sebagai wanita murahan. Memang dirinya wanita murahan karena mau saja menikah dengan laki-laki yang melamarnya dengan uang 100 juta tidak peduli jika laki-laki itu sudah menikah atau belum.
"Wanita kampung yang tidak tahu diri!" hinanya.
"Apakah kamu yakin, jika anak yang ada di dalam kandunganmu itu adalah anaknya Rendra. Bisa jadi kamu menikah sama sudah hamil duluan. Terbukti dari kehamilan kamu lebih tua dari pernikahan kalian."
Perkataan Laras yang meragukan kehamilan Naira apakah benar yang dikandungnya adalah anak Rendra atau bukan membuat Naria secara refleks mengelus perutnya.
"Apa hak Ibu mengatakan itu kepadaku?" tanya Naira mencoba untuk berani melawan perkataan Laras.
"Pergi dari rumah ini!" perintah Laras mengacungkan tangannya keluar.
"Ibu tenang saja, tanpa Ibu minta pun. Aku akan keluar dari rumah ini."
Bi Nimah memegang tangan Naira sambil menggelengkan kepalanya. "Non, jangan dengarkan perkataan ibu."
"Tidak Bibi. Jika pemilik rumah ini tidak menginginkan Naira di sini, lalu untuk apa Naira di sini?"
"Non Naira itu istrinya Tuan Rendra. Non Naira berhak tinggal di sini bahkan tinggal di rumah utama bukan di paviliun."
"Berani sekali kau mengatakan hal itu. Bibi itu di sini cuman pembantu bukan pemilik rumah!" maki Laras pada Bi Nimah karena membela Naira.
"Maaf, Bu. Bi Nimah itu memang pembantu. Tapi bukan berarti Ibu bersikap seperti ini," bela Naira.
"Dasar wanita kurang ajar!" Laras mengangkat tangannya tangannya dan mengayunnya. Lalu terdengar suara tamparan keras terdengar. Laras menampar Naira dengan keras sampai membuat pipi putih Naira memerah. Tidak berhenti di situ saja. Laras pun mendorong Naira dengan keras. Andai tidak ada tangan besar yang menangkap tubuh Naira. Mungkin saat ini Naira sudah tersungkur ke tanah dan bisa saja membuat kandungan Naira dalam bahaya.
"Non Naira!" Bi Nimah berteriak kencang takut.
"Wanita tua sialan," geram Rendra menatap tajam ke arah Laras.
Sedangkan saat ini jantung Naira berdetak lebih kencang. Jujur saat ini lutut Naira terasa lemas ia tidak mampu berdiri tegak atas apa yang dilakukan Laras sama sekali tidak pernah Naira pikiran. Setegas apapun orang tuanya. Mereka tidak pernah memukulnya seperti ini.
"Bibi, bawa Naira kembali masuk ke dalam!" titah Rendra.
Teman-teman jangan lupa follow dan baca cerita aku yang lain ya. Bisa klik profilnya. Follow akun Instagram aku untuk informasi cerita ini lebih lanjut. Untuk cast dan lainnya. @Susilawatia_22
Rendra tidak tahu harus bagaimana lagi cara menghadapi wanita tua yang ada di hadapannya. Haruskah dirinya membawa Naira pergi dari rumah ini seperti dirinya membawa Bianca pergi agar kesehatan mentalnya aman. "Berhenti ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Jika kau terus melakukan hal itu. Aku tidak akan segan-segan menyakitimu. Aku tidak peduli jika kau adalah istri dari ayahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun merasa sedikit takut. Saat ini dirinya tidak memiliki kekuasaan apapun termasuk harta akan tetapi Laras tidak akan berhenti sampai Rendra gagal mendapatkan seorang pewaris. "Aku tidak akan mengganggu wanita itu jika saja kamu tidak membawa wanita kampung itu." Rendra mengangkat tangannya, ia memberikan sebuah tanda kepada Laras untuk diam. "Diam atau akan aku pastikan. Jika mulai besok kau dan anakmu itu pergi dari rumahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun sama sekali tidak takut karena dengan istri kedua Rendra pergi meninggalkan paviliun dan bayi it
Rendra tidak menjawab pertanyaan Naira. Dirinya memilih turun dan memutuskan untuk meminta mangga muda tersebut. Dengan resiko menanggung malu. Sedangkan Naira yang melihat suaminya berusaha mendapatkan mangga yang diinginkannya pun seketika perasaannya menjadi sensitif. Ada rasa haru dalam dadanya padahal beberapa saat yang lalu dirinya tidak peduli dengan apa yang Rendra lakukan. Mungkin karena bawaan bayi yang ada di dalam perutnya. "Ada apa dengan perasaanku. Kenapa melihat mas Rendra yang berusaha mencari mangga muda untukku kenapa hatiku merasa senang? Jangan Naira. Jangan mudah terbawa perasaan." "Permisi!" "Permisi!" sejak lagi Rendra mencoba memanggil pemilik rumah yang terdapat buah mangga tersebut. "Iya, selamat siang, Pak. Ada yang bisa di bantu," suara seorang wanita berpakaian rumahan menyaut ucapan permisi Rendra. "Maaf apakah Ibu ini adalah pemilik rumah ini. Jika iya saya ingin membeli mangga muda punya Ibu boleh?" tanya Rendra bersikap baik. "Maaf, Pak. Ini bu
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Nayla hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!""Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki anak tanpa harus aku menikah lagi."Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka."K
"Mas…." Naira mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan Rendra."Apa?" "Aku ingin kita bicara.""Aku sibuk.""Kalau Mas sibuk, kita bisa bicara di sini."Rendra melirik Naira sekilas. "Memangnya apa yang kamu bicarakan sampai mau bicara di sini.""Aku ingat membicarakan tentang rumah tangga kita.""Untuk apa di bicarakan, bukankah kita sudah membahasnya ketika malam pernikahan kita.""Tapi…""Kita pergi ke restoran terdekat. Kita akan bicara di sana."Naira tersenyum karena pada akhirnya Naira Rendra mau bicara dengan dirinya. Setelah mencari restoran terdekat sekalian makan siang dan ini adalah untuk pertama kalinya mereka makan bersama sebagai pasang suami istri."Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Rendra ketika mereka sudah sampai di restoran. Sambil menunggu pesanan mereka sampai akhirnya Rendra memutuskan untuk bertanya apa yang ingin Naira bicarakan."Mas, aku tahu kamu tidak mencintaiku sebagai istri. Begitu juga dengan aku yang belum mencintaimu, aku tahu mas juga pernah
"Bi, buka pintunya!" seru Rendra. Dari luar. Bi Nimah yang mendengar itu pun berjalan tergopoh-gopoh membuka pintu untuk Rendra. "Bi, bagaimana dengan keadaan Naira?" tanya Rendra. "Non, Naira badannya panas terus saja memanggil Ibunya." Penjelasan Bi Nimah membuat Rendra menghembuskan nafasnya kasar. Lalu dia pun berjalan pelan menghampiri istri keduanya. Duduk di tepi ranjang, lalu memegang kening Naira yang ternyata panas. "Kita bawa ke rumah sakit aja, Bi. Tolong siapkan perlengkapannya. Takutnya nanti dirawat di rumah sakit." "Baik Tuan." Rendra langsung saja menggendong tubuh Naira dan di bawahnya keluar. Hal itu tidak luput dari perhatian dari Laras. "Ada apa dengan, istri kedua Rendra. Apakah dia sakit, kalau memang benar. Baguslah biar sekalian anak yang ada di dalam kandungannya mati," ucapnya tanpa perasaan. Rendra mendudukan Naira di belakang, tidak lupa Ia juga memakaikan seat belt untuk keamanan Naira. "Ibu…" "Naira tenanglah, kamu pasti baik-baik saja," ucap R
Seperti yang pernah di janjikan Rendra. Setelah pulang dari rumah sakit. Rendra akan memenuhi keinginan Naira yang ingin keluar dari pavilion, bebas tanpa larangan."Mas, Rendra nggak berangkat ke kantor?" Tanya Naira ketika mereka sampai di pavilion. Naira hanya dirawat di rumah sakit selama 2 hari dan selama itu. Rendra tidak pernah pulang ke apartemen Bianca."Hari ini aku akan menemani kamu, sesuai dengan permintaan kamu waktu di rumah sakit yang ingin keluar. Sekarang kamu sudah sehat, katakan kamu ingin ke mana?" tawar Rendra.Naira yang mendengar hal itu pun tersenyum semringah. "Terimakasih, Mas. Aku boleh nggak pergi ke taman jalan-jalan sebentar. Pagi-pagi kayak gini enak jalan-jalan di taman."Rendra mencoba menimbang-nimbang permintaan Naira, sebenarnya ada rasa takut dalam hati Rendra jika dirinya membawa Naira jalan-jalan keluar.Dirinya takut ada seseorang yang mengenali dirinya dan bertanya tentang siapa Naira. Bukan hal itu saja, Rendra juga takut jika ada orang yang
"Assalamualaikum, Ibu. Perkenalkan namaku Naira. Maaf baru sekarang menemui ibu." Naira yang mendengar pengakuan Laras pun tersenyum, lalu dengan sopan meraih tangan Laras untuk di salaminya. Akan tetapi respon Laras malah menarik tangannya. Enggan untuk bersentuhan dengan Naira. "Wanita murahan." Naira tidak tahu kenapa Laras mengatakan bahwa dirinya adalah wanita, padahal ini adalah kali pertama mereka. "Bu…" Belum sempat Naira bertanya kenapa Laras bisa mengetahui dirinya murahan, tapi Laras sudah mengangkat tangannya dan menatap Naira penuh ancaman. "Dengarkan ini, Jika kamu tidak ingin hidup kamu hancur. Lebih baik kamu pergi dari rumah ini sekarang juga, jangan pernah kembali ke sini. Pergi sejauh-jauhnya bersama anak kamu itu." tunjuk Laras ke arah perut Naira. Naira yang ditunjuk seperti itu pun secara refleks memegang perutnya. Jujur saja saat ini Naira merasa takut melihat Laras. Laras seperti wanita di film yang berperan mertua antagonis. "Tapi, Bu kenapa? Apakah kar
Suara jeritan kesaksian terdengar memilukan, Naira memegang perutnya yang terasa di tusuk ribuan jarum. Keringat dingin mengalir di pelipisnya sampai kerudung yang dikenakan Naira terlihat basah."Ya Allah, kenapa perut sakit banget." Naira terus saja merintih kesaktian. Ingin keluar meminta tolong pada Bi Nimah. Tapi dia tidak memiliki tenaga untuk berdiri."Tolong…""Bi Nimah…""Mas Rendra…""Ibu…" Naira menangis. Ia memanggil satu persatu orang yang dia sayangi.Namun tidak ada satupun dari mereka datang untuk menolongnya. Darah terasa mengalir deras di kakinya. Naira yang merasakan itu pun menggelengkan kepalanya."Tidak, ya Allah. Jangan ambil anakku…." Wajah Naira mulai pucat. Kepalanya sudah terasa sangat pusing. Pandangnya mengabur darah terus saja keluar tanpa henti. "Ya Allah, Non Naira!" jerit Bi Nimah menyangga kepala Naira yang hampir saja menyentuh lantai."Ya Allah, Non…." Bi Nimah berusaha membangunkan Naira. Akan tetapi Naira tak kunjung bangun. Hal itu membuat Bi Ni