Share

Bab. 6 bertemu dengan mertua

Naira yang merasakan sakit di pergelangan tangannya pun melihat wajah suaminya dengan penuh tanya. "Kenapa, Mas.  Marah?" tanya Naira.

"Aku itu suami kamu, harusnya kamu tidak berkata seperti itu!" Rendra tidak suka dengan keberanian Naira. 

Naira tertawa. "Kenapa aku tidak boleh berkata seperti itu, bukankah tadi kamu bilang sendiri, Mas. Jika aku tidak boleh mengharapkan kamu pulang. Lalu kenapa sekarang jawabanku salah."

"Aku adalah suamimu, harusnya kamu menghargaiku seperti istri yang lainnya. Kamu sangat berbeda dengan…." Rendra menggantung ucapannya. Hampir saja dia mengatakan Bianca sebagai istrinya di hadapan Naira. 

"Untuk apa aku menghargaimu, Mas. Jika kamu sendiri tidak mau menghargaiku sebagai istri. Lalu aku sangat berbeda dengan siapa?  kekasihmu? Tentu saja kami berbeda." Naira berusaha melepaskan diri dari cengkraman suaminya.

Rendra menghempaskan tangan Naira yang sudah memerah. "Sudahlah, aku tidak mau berbicara denganmu. Kamu itu wanita kampung dan sialan." Tidak ingin terus berdebat dengan Naira dan bisa saja membongkar statusnya sebagai suami orang. Rendra memutuskan untuk kembali saja ke rumah utama.

"Aku wanita kampung dan sialan, lalu untuk apa kamu memintaku untuk melayanimu. Melahirkan anak untukmu? Kenapa?" Naira marah dengan ucapan Rendra yang selalu saja mengatakan dirinya wanita kampungan. apa yang salah dengan wanita kampung seperti dirinya. Apakah wanita kota dan wanita desa itu berbeda. Lalu apa bedanya? Bukankah mereka sama-sama seorang wanita.

"Sudah aku katakan diam!" Rendra menaikkan nada suaranya satu oktaf. Meminta Naira untuk tidak membalas ucapannya.

"Kamu itu wanita yang terlalu banyak bicara. Aku sangat membenci wanita seperti itu!" Rendra memutuskan untuk kembali keluar dari paviliun itu. Dan memilih untuk pergi ke rumah utama.

Naira yang melihat itu, tidak peduli. Naira memutuskan untuk duduk di ranjangnya dan kembali menangis dengan nasibnya yang tidak beruntung karena memiliki suami yang tidak mencintainya.

"Assalamualaikum, Nona Naira."

Naira tidak mendengar suara Bi Nimah pun segera menghapus air matanya. "Bi Nimah…"

"Iya, Non." 

"Aku ingin makan sesuatu." Naira mengutarakan keinginannya yang sejak tadi ditahannya. Dia tidak berani mengatakan bahwa dia menginginkan buah mangga muda kepada Rendra suaminya.

"Nona ingin makan apa, biar Bibi buatkan."

"Naira tidak ingin makanan, Naira ingin mangga muda aja, Bi. Bolehkan Naira pergi keluar untuk nyari."

"Non, kenapa gak bilang sama Tuan Rendra saja. Kalau Non Naira ingin makan mangga muda. Mungkin Tuan Rendra bisa mencarikannya."

"Tidak, Bi. Naira tidak mau. Naira ingin  cari sendiri." Naira menolak jika harus memberitahu keinginannya yang ingin makan mangga muda pada suaminya yang arogan itu.

Bi Nimah gelisah mendengar keinginan Naira yang ingin keluar. Mungkin kalau Naira tidak hamil. Mungkin Bi Nimah akan melarangnya. Namun ini pilihan yang sulit karena wanita hamil sangat sensitif jika keinginannya tidak terpenuhi.

"Baiklah kalau begitu. Kita cari sama-sama mangga mudanya. Gak mungkin Bibi biarkan Non Naira pergi keluar sendiri. Nanti yang ada Tuan Rendra marah."

Naira merasa senang ketika Bi Nimah akan mengantar dirinya keluar untuk mencari mangga muda.

"Terimakasih, Bi. Hanya bibi di sini yang bisa membuat aku merasa senang!" ucap Naira sambil memeluk Bi Nimah.

"Ya sudah kalau begitu kita siap-siap sekarang."

Naira menganggukkan kepalanya. Naira pun segera berganti pakaian untuk pergi keluar. Saat Naira berganti pakaian. Bi Nimah pun tidak ingin membuat kesalahan dengan pergi begitu saja tanpa meminta izin tuanya.

Saat Rendra berada di kamarnya tepatnya di rumah utama. Rendra mendapat pesan dari asisten rumah tangganya yang khusus untuk menjaga Naira memberikan informasi jika saat ini Naira ingin pergi keluar untuk mencari mangga muda. Siklus ngidam yang biasa wanita hamil lewati.

"Merepotkan sekali," ucap Rendra. Ia segera membuka kancing kemejanya dengan capat lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Sementara Bi Ni'mah saat ini merasa gelisah karena belum mendapat balasan dari Rendra tentang mereka yang akan keluar untuk mencari mangga muda.

"Bi, Naira sudah siap. Kita bisa pergi kan sekarang. Naira udah gak sabar banget pengen makan mangga muda."

Bi Nimah dengan perasaan gugup akhirnya menganggukan kepalanya. "Ayo, Non."

Saat Naira untuk pertama kalinya keluar dari paviliun setelah beberapa waktu yang lalu tidak keluar karena tidak ada izin Rendra. Naira merasa senang karena bisa menghirup udara segar. 

Namun pada saat Naira berjalan untuk keluar lewat pintu gerbang belakang. Di sana sudah ada seorang wanita paruh baya berdiri di sana.

"Akhirnya, kamu keluar juga," ucapnya dengan sinis sambil berkacak pinggang.

Naira yang pertama kali berhadapan dengan ibu tiri Rendra pun merasa takut.  Naira pernah melihat ibu tiri Rendra tapi untuk berhadapan langsung ini adalah kali pertamanya.

"Nyonya…" Bi Nimah menunduk ketakutan ketika berhadapan langsung dengan Laras. Istri dari Tuan besarnya.

"Wanita murahan."

Deg

Hati Naira terasa perih ketika disebut sebagai wanita murahan. Memang dirinya wanita murahan karena mau saja menikah dengan laki-laki yang melamarnya dengan uang 100 juta tidak peduli jika  laki-laki itu sudah menikah atau belum.

"Wanita kampung yang tidak tahu diri!" hinanya.

"Apakah kamu yakin, jika anak yang ada di dalam kandunganmu itu adalah anaknya Rendra. Bisa jadi kamu menikah sama sudah hamil duluan. Terbukti dari kehamilan kamu lebih tua dari pernikahan kalian."

Perkataan Laras yang meragukan kehamilan Naira apakah benar yang dikandungnya adalah anak Rendra atau bukan membuat Naria  secara refleks mengelus perutnya. 

"Apa hak Ibu mengatakan itu kepadaku?" tanya Naira mencoba untuk berani melawan perkataan Laras.

"Pergi dari rumah ini!" perintah Laras mengacungkan tangannya keluar.

"Ibu tenang saja, tanpa Ibu minta pun. Aku akan keluar dari rumah ini."

Bi Nimah memegang tangan Naira sambil menggelengkan kepalanya. "Non, jangan dengarkan perkataan ibu."

"Tidak Bibi. Jika pemilik rumah ini tidak menginginkan Naira di sini, lalu untuk apa Naira di sini?"

"Non Naira itu istrinya Tuan Rendra. Non Naira berhak tinggal di sini bahkan tinggal di rumah utama bukan di paviliun."

"Berani sekali kau mengatakan hal itu. Bibi itu di sini cuman pembantu bukan pemilik rumah!" maki Laras pada Bi Nimah karena membela Naira.

"Maaf, Bu. Bi Nimah itu memang pembantu. Tapi bukan berarti Ibu bersikap seperti ini," bela Naira.

"Dasar wanita kurang ajar!" Laras mengangkat tangannya tangannya dan mengayunnya. Lalu terdengar suara tamparan keras terdengar. Laras menampar Naira dengan keras sampai membuat pipi putih Naira memerah. Tidak berhenti di situ saja. Laras pun mendorong Naira dengan keras. Andai tidak ada tangan besar yang menangkap tubuh Naira. Mungkin saat ini Naira sudah tersungkur ke tanah dan bisa saja membuat kandungan Naira dalam bahaya.

"Non Naira!" Bi Nimah berteriak kencang takut.

"Wanita tua sialan," geram Rendra menatap tajam ke arah Laras.

Sedangkan saat ini jantung Naira berdetak lebih kencang. Jujur saat ini lutut Naira terasa lemas ia tidak mampu berdiri tegak atas apa yang dilakukan Laras sama sekali tidak pernah Naira pikiran. Setegas apapun orang tuanya. Mereka tidak pernah memukulnya seperti ini.

"Bibi, bawa Naira kembali masuk ke dalam!" titah Rendra.

Little_susi22

Teman-teman jangan lupa follow dan baca cerita aku yang lain ya. Bisa klik profilnya. Follow akun Instagram aku untuk informasi cerita ini lebih lanjut. Untuk cast dan lainnya. @Susilawatia_22

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status